Firman Supratman mengaku kaget.
Warga Jambi ini terakhir kali berkunjung ke Candi Muaro Jambi sekitar sepuluh tahun lalu. “Sekarang banyak sekali perubahannya,” katanya. Firman kembali berkunjung akhir Februari lalu.
Situs Candi Muaro Jambi berada sekitar 35 km dari Jambi, ibu kota provinsi dengan nama sama.
Secara administratif, situs ini masuk Desa Muara Jambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi. Dari Jambi hingga lokasi, sekitar 1 jam perjalanan, jalan raya lebar dan mulus. Bagus. Hanya sedikit jalan raya rusak apalagi jika dibandingkan dengan jalan-jalan di pedalaman provinsi penghasil kayu manis dan kelapa sawit ini.
“Padahal dulu masih rusak jalannya,” tambah Firman yang sekarang bekerja di Kerinci.
Lima tahun terakhir, Muaro Jambi memang berubah banyak. Tak hanya akses menuju tempat ini tapi juga penataan lokasi. Penataan tersebut terjadi seiring makin populernya situs Candi Muaro Jambi.
Situs ini berada di tepi Sungai Batanghari, salah satu jalur penting lalu lintas dan peradaban di Sumatera pada masa itu. Panjang situs ini membentang kira-kira 7,5 km sepanjang tepi sungai Batanghari.
Dulunya, ada kanal-kanal buatan manusia yang menghubungkan sungai ini dengan lokasi situs Muaro Jambi. Kanal-kanal itu menjadi urat nadi lalu lintas mereka yang datang dan pergi di Muaro Jambi.
Namun, kini kanal-kanal tersebut hanya menyisakan saluran-saluran yang bahkan tak lagi berisi air.
Berdasarkan catatan Unesco, luas kawasan Candi Muaro Jambi ini sekitar 2.062 hektar. Luasnya hampir 80 kali lipat luas kompleks Candi Borobudur di Jawa Tengah yang “hanya” sekitar 26 hektar. Catatan lain menyebutkan luas kompleks Candi Muaro Jambi dua kali lebih luas dari kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja. Karena itulah ada yang bahkan menyebut kompleks Candi Muaro Jambi merupakan yang terluas di Asia Tenggara.
Kompleks Candi Muaro Jambi ditemukan kembali oleh tentara Inggris SC Crooke yang melakukan pemetaan sepanjang sungai untuk kepentingan militer pada tahun 1824. Pada tahun 1975, beberapa sejarawan Indonesia mulai melakukan pemugaran beberapa candi di sini. Mereka menemukan semacam gundukan dari batu bata yang oleh warga setempat disebut menapo.
Menjaga
Secara turun temurun, warga setempat sudah menjaga menapo ini sebagai sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Meskipun menapo-menapo ini berada di wilayah pemukiman, warga tetap membiarkannya untuk menghormati leluhur. Menapo dan candi ini berdampingan hingga saat ini.
Candi Muaro Jambi makin dikenal setelah didaftarkan ke Unesco agar diakui sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2009 lalu. Meskipun hingga saat ini belum ditetapkan oleh Badan Kebudayaan PBB tersebut, namun situs Candi Muaro Jambi tak lagi hanya dikenal warga sekitar Muaro Jambi tapi juga para pelancong dan peminat sejarah.
Kompleks Candi Muaro Jambi pun berbenah. Mereka menyiapkan tempat ini sebagai budaya yang harus dikonservasi tapi juga terbuka untuk para turis. Pada tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan tempat ini sebagai kawasan wisata terpadu yang memadukan sejarah, religi, dan budaya.
Sebagai tempat wisata, menurut Firman, Candi Muaro Cambi saat ini terlihat lebih tertata. Dulu tidak ada tempat parkir ataupun pos tiket. Sekarang, tak hanya ada tempat parkir dan pos pembelian tiket tapi juga ada penyewaan sepeda, pemandu, dan warung untuk para pengunjung. Kini, semua ada untuk mempermudah pelancong.
Karena luasnya kawasan ini, pengelola menawarkan pengunjung berkeliling dengan sepeda. Banyak pilihan. Ada sepeda gunung, sepeda mini, dan lain-lain. Harga tiket hanya Rp 2.000 untuk anak dan Rp 3.000 untuk dewasa. Sewa sepeda Rp 10.000 untuk pemakaian sepuasnya.
Menggunakan sepeda pula, beberapa pengunjung berkeliling sebagian tempat di kompleks ini. Ada pula orang sedang membuat foto pre-wedding di candi-candi yang terbuat dari batu bata merah tersebut.
Beberapa pemandu siap mengantarkan pengunjung meski tidak diharuskan. Tapi, pemandu tentu akan lebih bisa menjelaskan cerita dan makna di balik candi-candi maupun menapo-menapo di kawasan ini.
Familiar
Subrata, salah satu pemandu, memulai penjelasan tentang situs Candi Muaro Jambi dengan menunjukkan papan peta. Brata menyebut beberapa nama atau istilah yang familiar di telinga saya dan langsung membuat saya teringat pada Bali. Misalnya Jambi, Astano, Kedaton. Secara pengucapan, kata-kata itu agak berbeda, tapi saya yakin asal katanya sama saja dengan bahasa Bali.
Jambi, misalnya. Nama provinsi sekaligus ibu kota tersebut memang berasal dari kata jambe. Dalam bahasa Bali, jambe berarti pohon pinang. Dan, asal mula nama Kota Jambi memang dari pohon pinang yang dulu banyak sekali di tepi sungai Batanghari. Dalam bahasa Bali, jambe pun berarmakna sama, pohon pinang.
Di Bali, Jambe pun pernah jadi nama bagi beberapa raja, seperti Dewa Agung Jambe, penguasa Kerajaan Klungkung pada 1686-1722 atau Dewa Agung Jambe II yang berkuasa pada tahun 1903 – 1908.
Apakah memang Jambi dan Jambe ini terkait satu sama lain? Saya belum menemukan referensi yang bisa menjawab.
Kata lain yang bermakna sama adalah “Astano”, yang kemungkinan besar berasal dari kata “Astana”. Dalam bahasa Bali, kata ini berarti istana, sama halnya dengan dalam Bahasa Melayu Jambi.
Di kompleks Candi Muaro Jambi, Astano merupakan salah satu nama candi dari 84 candi di sini. Candi Astano termasuk yang sudah dipugar selain candi-candi lain seperti Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, dan Kembar Batu. Dari 84 candi, baru 8 yang sudah dibongkar dan diberi nama.
Candi-candi yang sudah dipugar dan dipelihara ini terbuat dari batu bata merah yang dibuat dengan cara dibakar menggunakan tanah liat di daerah tepi Sungai Batanghari. “Ini menunjukkan leluhur kita dulu menggunakan bahan-bahan lokal untuk membangun candi,” kata Subrata.
Rusak
Istilah lain yang sama antara Bali dengan Candi Muaro Jambi adalah mandala atau ruang. Menurut Subrata, candi-candi di Muaro Jambi memiliki beberapa mandala atau ruang. Namun, karena rata-rata sudah tak terlalu diurus atau rusak, maka mandala tersebut tidak terlalu kentara. Berbeda dengan di Bali di mana aturan tentang mandala ini masih sangat kuat diterapkan.
Di Bali, pada umumnya tata ruang pura atau banguna suci lain menggunakan zonasi berdasarkan mandala ini. Zona paling luar atau Nista Mandala adalah pintu masuk dari luar. Biasanya berupa lapangan atau taman. Zona tengah atau Madya Mandala biasanya untuk pertemuan atau pertunjukan ketika ada upacara. Zona paling inti disebut Utama Mandala, tempat untuk sembahyang di mana terdapat pelinggih, tempat untuk menghaturkan persembahan.
Pengaturan ruang itu tak terlalu terlihat di kompleks Candi Muaro Jambi. Candi-candi yang tersisa sebagian besar sudah tidak utuh. Sebagian malah hanya tinggal pondasi batu bata merah yang rata dengan tanah.
Beberapa kesamaan antara Candi Muaro Jambi dengan Bali tentu melahirkan pertanyaan, kenapa dua tempat berjarak sekitar 2.500 km ini bisa memiliki kesamaan yang begitu dekat?
Subrata sendiri tidak tahu. Dia hanya bisa menduga-duga. Muaro Jambi pada abad ke-7 hingga ke-13 merupakan pusat studi Budha dan Hindu. Jejak-jejak di situs ini menunjukkan kuatnya interaksi orang dari berbagai tempat tak hanya Nusantara tapi juga kawasan Asia. Ada jejak China, Persia, dan India dalam manik-manik yang ditemukan di sana.
Dengan interaksi global tersebut, maka sangat mungkin pengaruhnya juga terasa hingga Bali yang hingga saat ini masih menjadi pusat peradaban Hindu di Indonesia.
Sejarawan Universitas Udayana Nyoman Wijaya juga tidak mau berspekulasi tentang hubungan antara Jambi dengan Bali ini. “Saya belum pernah meneliti atau membaca perihal hubungan tersebut,” ujarnya.
Menurut Wijaya, pada masa itu, pengaruh Budha dan Syiwa memang luas di kawasan regional, tak hanya Nusantara. Karena itu, sangat mungkin jika ada persamaan istilah di beberapa tempat termasuk di Jambi dan Bali.
Tapi, sekali lagi Wijaya menegaskan, perlu ada penelitian lebih lanjut tentang hubungan tersebut. [b]