Klungkung tak cuma punya kain endek dan serombotan. Ada juga dokar.
Hari Minggu enaknya jalan-jalan setelah enam hari membanting tulang. Kali ini saya memilih menjalankan hobi saya bersepeda, menelusuri jalanan. Saya mulai dari Desa Besan, Kecamatan Dawan, Klungkung.
Jadi selama perjalanan pemandangan yang saya lihat adalah hamparan sawah dan perkebunan
Kurang lebih 60 menit mengayuh sepeda saya berhenti di beberapa poin. Ada jembatan ex Galian C untuk melihat sunrise serta sungainya. Kemudian saya menuju kearah utara menuju Desa Gelgel, desa yang zaman dulu merupakan desa kerajaan serta Desa Kamasan yang terkenal dengan lukisan wayangnya.
Sampailah saya di poin selanjutnya yaitu pasar seni Klungkung. Pasar yang bersebelahan dengan Kertagosa ini objek wisata peninggalan kerjaan Klungkung yang kian jarang dikunjungi wisata. Sembari melihat orang lalu lalang di Pasar Seni Klungkung yang terkenal dengan pusat kain endeknya saya melihat ada tongkrongan alat transportasi yang sudah hampir punah yaitu dokar.
Dokar di Kabupaten Klungkung sekarang sangat memperhatinkan. “Hanya tersisa empat buah dari 130an buah di zaman saya masih muda,” tutur Made Padang seorang kusir dokar dari Desa Senggoan.
Made Padang sudah menekuni pekerjaannya jadi kusir dokar sejak umur belasan tahun dan kini umurnya sudah 80 tahunan. ”Tiang dados kusir sampun uling zaman Belanda nyajah Bali. Lantur Jepang kanti madan Indonesia merdeka tiang dados kusir. Kanti mangkin tetep dados kusir,” tambah Made Padang.
Tarif naik dokar cuma Rp 5.000 – Rp 10.000 untuk jarak dekat, yaitu dari Pasar Seni Klungkung sampai Puri Klungkung atau alun-alun Klungkung. Biasanya untuk jarak dekat pelanggannya turis domestik dan orang-orang yang mau membuat foto prewedding. Jarak jauh bayarnya Rp 20.000 kurang lebih 5 km. Pelanggannya adalah ibu-ibu yang sudah lahir di zaman Indonesia baru merdeka.
Sepertinya seru. Kemudian saya mencoba rute pendek bersama seorang Ibu yang umurnya kurang lebih 3 kali umur saya. Dia bersama cucunya yang berumur 8 tahun. Namun sayang tak boleh difoto takut disebarluaskan karena belum mandi.
“Sudah sampai niang,” teriak cucu Ibu Tjok.
Sembari menyodorkan dua lembar lima ribuan saya membantu Ibu Tjok turun dari dokar. Saya tahu namanya Ibu Tjok karena beliau salah satu keluarga Puri Klungkung yang masih lebih suka naik dokar daripada mobil.
“Naik Dokar enak. Tidak keluar asap cuma bau kotoran kuda namun tetap polusi organik. Tak apalah, Dik,” tutur ibu Tjok di tengah perjalan menuju Puri Agung Klungkung.
Saya pun kembali menuju pasar seni Klungkung bersama Made Padang untuk nongkrong lagi bersama kudanya dan saya mengambil sepeda saya.
Keliling naik dokar dan sepeda di Klungkung membuat perut saya lapar. Saya memilh sarapan jaje bali di Pasar Seni Klungkung.
Jadi kalau mau mencoba cara jalan jalan berbeda di Klungkung daratan, cobalah naik sepeda dan naik dokar. Lebih ramah lingkungan. [b]