Teks dan Foto Anton Muhajir
Tentu saja saya kesal. Saya sudah mempersiapkan perjalanan ke Timor Tengah Utara (TTU) Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut jauh-jauh hari. Mengatur jadwal, menghubungi narasumber, sewa mobil untuk jemput dari bandara, dan seterusnya. Namun semua jadwal yang sudah rapi jali itu jadi berantakan karena pesawat Garuda yang akan saya tumpangi batal berangkat.
Parahnya, informasi pembatalan itu pun baru diberikan terlambat sekitar 30 menit dari jadwal yang tertulis di kartu check in. Maka saya harus memberitahukan itu ke semua orang yang sudah saya hubungi sebelumnya terkait dengan rencana liputan tersebut. Pembatalan itu membuat saya kerepotan.
Salah satu hal yang menyebalkan dari pembatalan ini adalah karena saya sudah pesan mobil untuk menjemput di bandara. Mobil ini berangkat dari Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU ke Kupang hanya untuk menjemput saya. Jarak dari Kefamenanu ke Kupang sekitar 200 km. Perlu waktu sekitar empat jam karena jalan yang berkelok-kelok. Eh, jauh-jauh ke Kupang, ternyata penjemputan ini batal.
Saya memaklumi pembatalan ini karena memang bukan kesalahan Garuda. Pembatalan ini terjadi karena pengelola Bandara El Tari di Kupang belum bisa meminggirkan pesawat Merpati yang sehari sebelumnya tergelincir di landasan. Maka seluruh penerbangan ke Kupang pun batal, termasuk Garuda.
Tapi saya masih sebal karena tidak ada informasi yang jelas apalagi permintaan maaf dari pihak Garuda. Cuma ada informasi bahwa penumpang dipersilakan menghubungi konter check in Garuda. Ketika saya tanya ke konter pun tidak ada informasi jelas. Saya disuruh tanya ke salah satu petugas yang lain. Sudah jadi korban pembatalan eh masih dipingpong.
Untungnya Garuda menebus pembatalan itu dengan imbalan yang tak hanya menghilangkan kekesalan tapi juga meninggalkan kesan tentang pelayanan yang memanjakan pelanggan.
Dari bandara semua penumpang yang batal terbang, termasuk saya, dibawa ke Hotel Sanur Beach di kawasan Semawang, Sanur. Hotel bintang lima ini memang milik grup Garuda Group. Kami diinapkan di hotel mewah ini untuk menunggu sampai ada kejelasan kapan akan berangkat.
Kami pun mendapat pelayanan layaknya tamu hotel biasa. Tidak ada bedanya antara tamu yang “terpaksa” diinapkan di sana dengan tamu yang lain. Saya misalnya mendapat satu kamar Superior yang saya cek harganya di internet mencapai US $ 150 atau sekitar Rp 1,5 juta.
Kamar itu untuk saya sendiri. Wah, tentu saja penggantian yang luar biasa. Jadi saya bisa panggil anak istri untuk menginap gratis malam itu di hotel bintang lima. Hehe..
Di hotel, kami juga bisa menikmati semua fasilitas seperti halnya tamu lainnya, termasuk menikmati sajian tari api (fire dance) yang baru kali ini kami tonton.
“Kalau bukan karena pembatalan penerbangan, belum tentu kita bisa menikmati hotel semewah ini,” kata salah satu penumpang. Betul, Pak.
Saya hitung-hitung biaya untuk menginap itu berarti hampir dua kali lipat dari biaya yang saya bayar untuk beli tiket seharga sekitar Rp 800 ribu. Artinya kalau dihitung secara ekonomi, Garuda jelas rugi akibat pembatalan apalagi dengan penggantian layanan ini.
Nyatanya Garuda mengambil kerugian itu demi kepuasan pelanggan. Ya memang masih ada beberapa masalah, antara lain tidak adanya pernyataan minta maaf akibat pembatalan tersebut serta acak adutnya pelayanan check in esok harinya. Tapi bagi saya penggantian yang sudah diberikan lebih layak dikenang daripada masalah-masalah itu..