Teks dan Foto Anton Muhajir
Selasa ini, ribuan koin seberat 18,5 kg telah saya kirimkan lewat jasa titipan kilat Tiki Denpasar. Dari sisi nominal, koin itu mungkin tak banyak, Rp 1.955.776 plus 2 dollar dan 40 cent Singapura. Namun lihatlah maknanya: kami semua peduli pada orang-orang kecil korban peradilan..
Ribuan koin itu mengalir dari berbagai kelompok di Denpasar. Anak-anak SD dan guru, pemuda partai politik, mahasiswa, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), ibu rumah tangga, blogger, dan lain-lain. Mereka mengumpulkannya melalui beberapa simpul antara lain Sloka Institute, Bali Orange Communication, Manikaya Kauci, dan lain-lain.
Ide pengumpulan koin itu muncul begitu saja setelah Prita Mulyasari divonis denda Rp 204 juta oleh Pengadilan Tinggi Banten hanya karena dia mengeluhkan buruknya layanan Rumah Sakit Omni Internasional. Pada saat yang sama, gerakan ini juga muncul di Jakarta melalui Koin Keadilan. Maka gayung bersambut..
Luh De Suriyani, -yap, dia istri saya- mengkoordinir pengumpulan koin tersebut. Dia menjadi simpul pengumpulan koin itu di Bali. Di luar itu teman-teman lain juga punya inisiatif yang sama. Pada saat diskusi peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional di Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) 10 Desember lalu misalnya, kotak itu juga beredar.
Beberapa teman yang dimotori Saichu Anwar juga mengadakan ngamen sosial untuk mengumpulkan koin tersebut. Di tempat lain, Santy Sastra mengumpulkan koin di kantornya. Dan begitu semuanya berjalan.
Lalu, Sabtu malam lalu semua koin dari berbagai simpul itu dihitung di angkringan, Sanglah Denpasar. Saichu dan beberapa teman ngamen sementara teman-teman dari Bali Blogger Community (BBC) dan Bali Outbond Community (BOC) menghitung recehan tersebut koin demi koin. Malam itu terkumpul Rp 1.859.551.
Beberapa koin masih berdatangan sampai akhirnya resmi ditutup Senin sore. Hasilnya ya itu tadi, hampir Rp 2 juta.
Lalu apa makna ini semua?
Pertama, ketidakpercayaan masyarakat pada peradilan. Orang yang divonis bersalah oleh pengadilan biasanya menjadi pesakitan. Tapi ini tidak berlaku pada kasus Prita Mulyasari. Ketika dia divonis bersalah oleh pengadilan, simpati untuknya justru datang bertubi-tubi. Dengan suka rela mereka mengumpulkan koin untuk Prita.
Salah satu alasan menyentuh dari orang-orang yang bersimpati ini adalah bahwa Prita hanyalah simbol dari orang-orang kecil yang sering kali jadi korban ketidakadilan orang-orang yang disebut sebagai penegak hukum.
“Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” kata salah satu pemulung di Jakarta yang ikut nyumbang untuk Prita pada Kompas.
Kedua, inilah bukti bahwa teknologi informasi bisa mempercepat perubahan sosial. Tanpa adanya email, blog, jejaring sosial, saya tak yakin solidaritas sosial untuk Prita akan sedemikian masifnya. Tentu saja ini didukung pula oleh media massa yang terus menerus tak hanya memberitakan Prita tapi juga “membelanya”.
Hanya dalam hitungan detik, orang bisa dengan mudah mendukung Prita meski hanya lewat dunia maya. Menariknya, dukungan di dunia maya itu kemudian juga diwujudkan dalam aksi nyata, koin. Koin untuk Prita adalah bukti bahwa solidaritas sosial itu semakin kuat dengan dukungan jejaring sosial..
Makna lainnya, biarkan koin yang bicara.