Ana, teman yang baru tinggal di Bali, mengeluh tertinggal wacana film.
Teman itu lahir dan besar di Jakarta. Dia pernah bekerja di Timor Leste sebelum bekerja di Bali sejak sekitar Oktober lalu. Obrolan kami terjadi ketika kami diskusi kecil soal Slumdog Millionare, film pemenang delapan kategori di Oscar tahun ini.
Ketertinggalan wacana itu, kata Ana, karena kurangnya tempat diskusi di Denpasar. Dia sih membandingkan kondisi Bali dengan Jakarta. Kalau di Jakarta, ceritanya, mau diskusi soal seni misalnya bisa di Taman Ismail Marzuki (TIM). Atau, contoh lain, soal peluncuran buku bisa di Aksara, Kemang. Dan seterusnya..
Pendapat Ana ada benarnya. Salah satu yang membuat saya iri dengan kota seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta memang banyaknya tempat diskusi di kota-kota itu. Di tiap kota itu setahu saya banyak tempat untuk diskusi apa saja. Tema diskusinya juga bisa apa saja mulai dari yang paling kiri sampai paling kanan. Dari yang paling metal sampai paling alim.
Nah, di Bali memang kurang tempat diskusi. Saya pernah berpikiran bahwa itu semua karena tidak adanya orang yang membuat. Kurang lebih semua hanya mau terima ada diskusi tapi tidak ada yang memulai. Maka, saya pernah mencobanya. Membuat sebuah tempat ngobro di daerah Renon. Saya dan tiga teman lain pernah urunan menyewa rumah Rp 11 juta per tahun di kawasan tengah kota ini agar ada tempat untuk kumpul. Kami membuat beberapa agenda: diskusi, nonton film, juga warung kecil di sana.
Tapi memang tidak bertahan lama. Setahun berdiri, tempat itu kami tutup. Mahalnya biaya sewa dan kurangnya antusias orang untuk datang –juga mungkin karena kami kurang bisa promosi- membuat kami akhirnya menyerah untuk sementara. Menciptakan komunitas itu lebih banyak kami lakukan lewat dunia maya.
Pengalaman gagal membuat tempat diskusi itu sekaligus memberikan pelajaran: memang tidak mudah menciptakan kultur diskusi di Bali.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada tempat diskusi di Bali. Ada kok. Tapi memang tak sebanyak di Jakarta, Jogja, atau Bandung. Inilah sebagian tempat itu.
Taman 65
Alamatnya di Jl WR Supratman, Kesiman, denpasar Timur. Tempat diskusi ini berupa kompleks rumah keluarga besar Bali. Di bagian tengah beberapa rumah itu ada halaman luas, sekitar 10 x 8 meter persegi. Lapangan rumput ini yang selalu jadi tempat diskusi. Pembicara dan peserta selalu lesehan, duduk di tikar atau malah di atas rumput.
Diskusi terakhir yang saya ikuti adalah Jumat ( 27/2) lalu. Diskusi dari pukul 8 malam ini membahas soal Politik Jajak Pendapat dengan narasumber Bodrek Arsana, yang sering melakukan jajak pendapat dan quick count dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI).
Diskusi di Taman 65 itu dilakukan lesehan. Sangat santai meski temanya termasuk berat bagi banyak orang. Mungkin karena latar belakang keluarga besar di sini memang pemikir. Salah satunya adalah Degung Santikarma, Antropolog Indonesia yang sekarang mengajar di salah satu kampus di Amerika Serikat.
Tema diskusi di Taman 65 sangat beragam meski sebagian besar soal sosial politik budaya. Tapi pernah juga diskusi soal kesehatan reproduksi atau HIV dan AIDS, nonton film bersama, juga konser musik mini. Pembicaranya juga beragam. Marie Alkatiri, mantan perdana menteri Timor Leste, pernah jadi pembicara di sini juga. Pernah juga ada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Juga mantan tahanan politik di Pulau Buru.
Oh ya nama Taman 65 memang diambil dari peristiwa kekerasan pada tahun 1965. Beberapa anggota keluarga besar ini adalah korban kekerasan pada saat itu karena dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Nama Taman 65, kata Gung Alit, salah satu tetua di sini dalam satu kali obrolan santai, diambil untuk mengingat bahwa kekerasan itu memang ada dan harus diingat sebagai pelajaran agar tidak terjadi lagi. Rekonsiliasi, kata Gung Alit, tidaklah berarti melupakan apa yang pernah terjadi. Kurang lebih begitulah..
Museum Sidik Jari
Tempat diskusi ini ada di Jl Hayam Wuruk, Tanjung Bungkak, Denpasar Timur. Sebenarnya tempat ini adalah museum lukisan-lukisan yang dibuat menggunakan sidik jari. Selain ruang pamer, ada pula wantilan. Nah, diskusi digelar di wantilan belakang museum ini. Peserta lesehan di lantai, begitu pula pembicaranya.
Tema diskusi umumnya soal budaya, khususnya sastra. Bisa jadi karena salah satu penggagas diskusi ini adalah komunitas Sahaja, komunitas anak-anak muda –sebagian masih sekolah di SMU dan mahasiswa semester baru- yang bergiat di bidang sastra dan budaya.
Warih Wisatsana, penyair di Bali, salah satu orang yang intens mengadakan diskusi bersama anak-anak didiknya di Komunitas Sahaja ini. Dia sering jadi moderator pula dalam diskusi-diskusi di sini.
Seperti penggagasanya, peserta diskusi juga rata-rata pelajar dan mahasiswa. Diskusi terakhir yang saya ikut di sini adalah soal buku karya Christine Jordis, penulis dari Perancis. Diskusi pada pertengahan Desember lalu itu dihadiri penulisnya langsung dengan moderator Darma Putra, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali. Karena Pak Darma, begitu saya biasa menyebut dia, ini pula saya ikut diskusi itu.
Penyelenggara diskusi di sini macam-macam. Selain Komunitas Sahaja, kadang juga Yayasan Lembaga Indonesia Perancis atau Alliance Française Denpasar yang mengadakan diskusi ini. Toko buku Toga Mas, yang berada di bagian depan dari museum ini juga sering menjadi penyelenggara diskusi tersebut.
Selain tempat diskusi di Taman 65 dan Museum Sidik Jari, ada juga beberapa komunitas diskusi di Denpasar. Dua di antaranya adalah Soup Chat dan aliansi lembaga swadaya masyarakat (Alase) Bali.
Soup Chat
Komunitas ini salah satu dari banyak komunitas di Bali yang rajin menggelar diskusi. Dan ajeg. Maksudnya bisa berjalan secara konsisten sejak pertama kali diadakan pada November 2006. Tiap bulan komunitas ini menggelar diskusi dengan tempat yang berpindah-pindah.
Menurut website mereka, komunitas ini berangkat dari semangat berbagi dan keinginan untuk mengenal serta menghargai berbagai macam manusia dengan latar belakang cinta profesi dan hidup yang berbeda. “Sungguh pada masa itu kami rindu dengan suasana komunitas. Suatu suasana di mana sekumpulan manusia saling mengenal dan peduli satu sama lain. Komunitas yang heterogen dan saling berinteraksi pada suatu lingkungan,” tulis mereka di websitenya.
Seperti namanya, Soup Chat memang berdiskusi sambil nyeruput semangkuk sup. Untuk bisa menyantap semangkuk sup nikmat ini, peserta cukup membayar Rp 10 ribu. Namun sup hanya jadi menu pembuka. Menu utama mereka adalah tema diskusi itu sendiri. Ada kisah jalan-jalan, karya arsitektur, pengamatan kota tua, dan lain-lain. Ini sebagian yang sudah penah didiskusikan: sulap, logika ilusi, kefir, kehidupan koral Indonesia, feng shui, Tejakula, demo sushi, belajar origami, ilustrasi komik, soup market, demo menyambung adenium, nonton film bersama, dan dongeng untuk anak.
Intinya tema diskusi sangat beragam. Saya hanya pernah satu kali ikut diskusi ini. Itu pun sebagai cheerleader untuk Arief Budiman alias Kang Ayip, pencetus Bali Creative Community, yang menyajikan tema tentang potensi industri kreatif Bali. Diskusi pada Agustus tahun lalu ini juga menghadirkan tema paragliding. Metode diskusi sangat santai. Ada yang bisa lesehan, berdiri, nungging –Hehe-, dan lain-lain. Pokoknya suka-suka peserta.
Oh ya, diskusi ini terbuka untuk umum. Siapa saja boleh ikut. Selain punya website, mereka juga punya mailing list, yang sayangnya kurang aktif. Kalau mau ikut agenda diskusi, silakan gabung di sana.
Alase Bali
Aliansi LSM se-Bali (Alase Bali) memang baru terbentuk sekitar tiga bulan lalu. Namun cikal bakalnya sudah lama. LSM sering kali mengadakan diskusi bersama di Bali. Atau setidaknya diskusi oleh satu LSM tapi dihadiri LSM lain. LSM di Bali yang ikut pun tak jauh dari yang itu-itu juga: Walhi Bali, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Kalimajari, Yayasan Wisnu, Mitra Bali, dan seterusnya.
Sebenarnya aliansi LSM ini pernah punya satu tempat nongkrong sekalian untuk diskusi. Tempatnya di –dulu disebut- JIKA, singkatan dari Jaringan Informasi Kerja Alternatif dengan Ngurah Karyadi sebagai tukang kompornya. Lokasinya di Jl Tjok Agung Tresna, Renon. Kantor ini pada awalnya sekalian jadi semacam sekretariat bersama beberapa LSM seperti Walhi, PBHI, Linmas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar. Tapi kini tempat itu sudah jarang dipakai diskusi karena ruangan tempat diskusi sudah jadi kantor pengacara.
Tema diskusi tidak jauh dari tema lingkungan dan politik. Sangat serius. Misalnya tentang kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan seterusnya. Salah satu tema diskusi yang saya ikut terakhir kali, Jumat (20/2) lalu, adalah soal dinamika politik dalam perspektif HAM di Hotel Inna Jalan Veteran Denpasar. Tema diskusi ini menarik tapi sayang sedikit yang hadir. Dari sekitar 50 peserta yang hadir ya sebagian besar kalangan aktivis LSM yang itu-itu saja. Ibaratnya 4L, lu lagi lu lagi..
Selain tempat dan komunitas diskusi di atas, ada juga beberapa diskusi yang digelar secara insidentil. Tempatnya tidak pasti. Begitu juga temanya. Bali Blogger Community (BBC), di mana saya jadi salah satu anggotanya, beberapa kali bikin diskusi juga. Bahkan kini kami berencana membuat diskusi rutin tiap bulan sekali. Silakan tunggu saja undangan selanjutnya. [b]
makanya, posting dong agenda acara mereka semua itu…
Alase bergulir dari ‘desa’ mengepung ‘kota’ -ala Mao he…
Sayangnya, tidak dari hutan satu ke hutan lain, namun cuma belantara isue. Thanks atas catatan, mudah2an menyejarah, bukan menjajah he..he..
ngurah karyadi kabarnya mau pension jadi aktivis..makanya pergi jauh ke gunung hehhehehhe
sinisme bung anton aku harap menjadi bahan refleksi buat kawan2. temapat dan tema diskusi bagi sebagian besar kalangan tidak terlalu menarik untuk di hadiri. tradisi diskusi dan menulis emang harus selalu digerakkan…tak ada alasan peserta sedikit ato banyak. ngomongin tradisi garakan harus multi suport, tidak hanya teman2 LSM, teman2 yang bergelut di MEDIA “alternatif” juga mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk membangun tradisi intelektual di Bali.
Anton bagus genjing….
Terima kasih, sudah menulis topik menarik untuk kita tentang tempat diskusi. Bolehlah saya tambahkan.
Yang diperlukan pertama-tama bukanlah tempat diskusi, tetapi orang yang senang atau sudi diskusi. Kalau ada orang yg suka ngobrol, pasti kemudian menemukan tempat, entah di warung, ruko, tepi jalan semacam Malioboro. Sebaliknya, kalau tempat ditetapkan dulu, belum tentu ada orang mau datang, makanya tak heran kalau sampeyan dkk rugi ngontrak ruko buat lokasi diskusi.
Jangan lupa, bahwa sejak dulu kelompok diskusi selalu ada di Denpasar dan sekitarnya dan oleh karena itu tempat diskusi senantiasa juga ada, walau lokasinya pindah-pindah. Tahun 1970-an/1980-an, Pak Sukada (dosen sastra Unud, mantan redaktur sastra Bali Post) sering ngadain diskusi mingguan di Arta Centre atau Gedung Merdeka, diikui penggemar sastra dan teater. Kelompok ini juga baca puisi di radio-radio, RRI dan Menara. Kadang diskusi dilaksanakan di rumah Sukada, di rumah Boyke Karang, di rumah Abu Bakar. Seniman yang hadir juga bermutu, seperti Nh Dini dan Putu Wijaya. Sesekali, rombongan pergi ke Toyabungkah berdiskusi dengan Sutan Takdir. Sepanjang jalan dari Kedisan ke Toyabungkah (karena belum ada kendaraan), di lembah Batur yang sunyi senyap sore menjelang petang anggota rombongan baca puisi, seolah si Batur adalah penontonnya. Mungkin itu namanya narsis, istilah yang belum populer saat itu.
Tahun 1980-an, Debra Yatim pernah bikin Kine Club Bali, kerjanya mutar film-film berbagai negeri. Pernah mereka putar film Jepang yang menarik, Tokyo Monogatari, tempatnya di Hotel Bali Hyatt, wah mewah…ah. Peserta dimhonkan donasi semampunya. Setelah itu, pindah dari satu hotel ke hotel lain, darisatu tempat ke tempat lain, dan bubar karena orang yang diskusi nggak ada, padahal tempat banyak. Lalu ada kelompok Sanggar Minum Kopi awal 1990-an, diskusi di kantor Kompas Gatsu atau di sebuah rumah di Batan Moning (Jl Wahidin), juga ada Sanggar Posti tempat ngumpul-ngumpulnya seniman/budayawan di bilangan Sanglah. Warung Budaya kemudian dibuka oleh para seniman/kartunis di Art Centre, sesekali diskusi malam, siang seniman juga nongkrong, tapi tidak lama. Warung Budaya itu pun tak berfungsi, closing down.
Popo menyediakan Verandahnya juga untuk diskusi, bedah buku, dll menampilkan berbagai pembicara penting dari Rendra sampai GM Sudharta. Rumah pelukis Wianta juga sempat menjadi tempat ngumpul, pernah disinggahi penyair Sitor Situmorang dan gajah-gajah seniman lainnya. Seperti Anton telah tulis, Museum Sidik Jari juga jadi lokasi diskusi-diskusi dan aktivitas seni lainnya. Darga Galery sempat jadi lokasi sesekali juga. Tak pernah sunyi, walau mungkin tak semeriah di Jakarta.
Orang yang suka diskusi tidak akan pernah habis, generasi akan berganti, maka dari itu tempat diskusi akan selalu ada. Hanya saja siklus hidupnya pendek-pendek, tapi jangan khawatir, hilang satu akan diganti kelompok lain dengan tempat diskusi lain, gaya diskusi lain, tema diskusi lain, motiviasi diskusi lain. Sepanjang ada orang yg suka diskusi, sepanjang itu lokasi akan muncul. Makanya, kalau Anton dkk ada uang, jangan menyewa ruko untuk diskusi secara permanen, sebaiknya uang itu untuk membiayai diskusi, tempat bisa nomaden…sehingga intel (pentium) repot melecaknya.
salam
-komentar diambil dari milis bali-bali@yahoogroups.com
Waaaah, sip info dan review dari Anton tentang tempat-tempat diskusi di Denpasar. Dan memang bener juga sih, orang yang mau diskusi itu yang jadi soalnya, meskipun dimana tempatnya. Yang juga jadi soal adalah budaya diksusi kita di Bali. Yang penting “ngomong” setelah itu pergi dan tanpa peduli kata orang. Ya, lebih banyak yang mau ngomong daripada mendengarkan.
Sing keto asane…?
Rahajeng…
ngurah suryawan
tempat diskusi yang diatas mungkin terlalu berat untuk manusia seperti saya dengan kapasitas otak dan pemikiran yang pas-pasan(bahkan kocek hehhehehe maklum mahasiswa bayar kuliah makin mahal). Ada suatu tempat yang mungkin lebih ringan dan bersahaja. tepatnya warung gotnya pak harun yang mepet pagar nias 13.
Sayang…..pak harun tergusur dan kafilah pun berlalu(asal ngutip entah dari novel sapa)Disana untuk manusia seperti saya yang suka akan serba sejarah, seni dan budaya seakan punya wacana baru tiap harinya(walaupun besoknya pas kuliah di jimbaran sering ketiduran sampe ngiler2)bahkan stengah teler.
disana bukan sekedar tempat diskusi, tapi juga suatu tempat hiburan n ngumpul2 cara kere. tanpa mengeluarkan banyak kocek(paleng beli kopi duank 1000 perak/gelas)kita bisa nongkrong selama lamanya disitu malah ada live musicnya lagi(sumber suara dari balik tembok antara warung pak hasan n nias 13). terakhir aku tahu bahwa yang suka genjreng2 n bersuara indah itu namanya saichu.(itu berlaku kalo ngga lagi nyanyi lagu dangdut)
sungguh2 tempat diskusi cara kere n modal dewe……
waktupun berlalu dan itu kini hanya kenangan………….
memang untuk sekedar diskusi dengan cara lebih hemat lg bisa dgn media facebook bahkan gratis(kalo pake smart).