Bahasa Ibu akan menjadi bahasa asing di kemudian hari.
Penyebabnya karena semakin banyak generasi muda Bali tidak lagi menggunakan Bahasa Bali sebagai media berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan sering ditengarai paling dekat berkerabat dengan bahasa Jawa. Namun, hal ini tidaklah demikian. Bahasa Bali paling dekat dengan bahasa Sasak dan beberapa bahasa di pulau Sumbawa bagian barat. Kemiripannya dengan bahasa Jawa hanya karena pengaruh kosakata atas bahasa Jawa karena aktivitas kolonisasi Jawa pada masa lampau, terutama pada abad ke-14 Masehi. Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi. Bahkan dalam keluarga Austronesia, secara fonologis bahasa Bali lebih mirip bahasa Melayu daripada bahasa Jawa.
Layaknya Bahasa Inggris yang mempunyai Grammar, Bahasa Bali juga memiliki sor singgih atau tingkatan bahasa yaitu bahasa Bali Kesamen (biasa) dan Bahasa Bali Alus. Bahasa Bali Kesamen digunakan saat berkomunikasi dengan teman akrab, teman seumuran dan status sosial yang sederajat.
Bahasa Bali Alus digunakan pada saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, jabatan lebih tinggi, serta pada saat moment tertentu misalnya sangkep atau pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang kebanyakan(jaba) dengan berkasta lebih tinggi serta orang yang patut dihormati.
Nah, yang membuat generasi muda enggan untuk berbahasa Bali adalah, adanya sor singgih bahasa ini.
Kenapa dengan adanya sor singgih bahasa mereka jadi enggan? Iya karena mereka tidak bisa bahasa Alus yang mesti mereka gunakan, meskipun tahu bahasa Alusnya tapi mereka masih takut salah, apalagi kalau sedang berbicara dengan atasan atau di saat berbicara di pesangkepan.
Jadi, dari pada salah lebih baik menggunakan Bahasa Indonesia yang unniversal.
Terlebih dengan adanya empat tingkatan bahasa lagi dalam Bahasa Bali Alus yaitu: Alus Sor, Alus Madia, Alus Mider, dan Alus Singgih. “Ini akan semakin membuat generasi muda enggan berbahasa Bali,” ungkap Dewa Yogantara seorang guru Bahasa Bali dan pelestari budaya bali di Kabupaten Klungkung.
Alus Sor dan Alus Madia sering digunakan saat bawahan berbicara dengan atasannya, di mana Alus Sor ini digunakan untuk menggambarkan kerendahkan diri si bawahan. Alus Madia digunakan untuk menggambarkan bahwa kedudukan si atasan lebih tinggi dari si lawan bicara yaitu bawahannya.
Contoh, istri dalam Bahasa Bali adalah Kurenan, Somah, dan Rabi. Kalau si bawahan menyebut istrinya dengan sebutan somah, dan kalau si bawahan menyebut istri atasanya adalah dengan kata rabi, karena kata rabi lebih halus dari pada kata somah. Kalau ada orang ketiga yang mendengar percakapan tersebut seharusnya si orang ketiga ini tahu mana atasan dan mana bawahan.
Namun, karena kurang paham tingkatan bahasa Alus dalam Bahasa Bali banyak orang tidak bisa membedakan mana atasan mana bawahan hanya dengan mendengar percakapan mereka.
Itu baru Alus Sor dan Alus Madia, sudahkan Anda bingung? Kalau tidak bingung, jempol buat Anda karena Anda generasi yang akan melestarikan Bahasa Bali. Kalau bingung? Ini yang bahaya, karena Anda calon-calon yang kemungkinan besar akan menyumbang kepunahan Bahasa Bali.
Oke, ada dua tingkatan bahasa lagi, yaitu Alus Mider dan Alus Singgih. Alus Mider itu bahasa Bali Alus yang digunakan saat merendahkan diri dan menghormati lawan bicara. Bahasa Alus Mider ini bahasa Alus yang khusus, maksudnya khusus di sini adalah ada beberapa kata Kesamen yang hanya memiliki Bahasa Alus cuma satu. Contohnya uang dalah bahasa Bali Kesamennya adalah pipis dan bahasa Alusnya adalah Jinah. Karena cuma satu bahasa alus dari pipis yiatu jinah maka jinah itu adalah bahasa Alus Mider.
Di Bali, Bahasa Alus Singgih lebih sering digunakan saat berkomunikasi dengan sulinggih atau pendeta, serta pejabat tinggi setara bupati dan DPR mungkin president juga kalau si presiden mengerti bahasa Bali. Jadi Alus Singgih adalah bahasa Alus yang digunakan untuk menghormati orang yang kasta dan jabatannya lebih tinggi saat bertutur kata.
Mau berbicara saja harus mengikuti sor-singgih yang mungkin sangat ribet bagi sebagian besar generasi muda Bali saat ini. Tidak bisa dipungkiri lagi kenapa banyak Generasi Muda Bali yang meninggalkan bahasa ibunya dan memilih bahasa lainnya seperti bahasa Indonesia bahkan bahasa gaul atau Alay.
Dari sudut pandang lain, sor singgih bahasa ini merupakan pengkotakan derajat manusia di Bali. Layaknya Kasta yang dulu digunakan untuk memecah persatuan rakyat Bali oleh penjajah. Kemudian timbul pertanyan, kenapa kita harus berbicara dengan tingkatan bahasa yang berbeda? Semua manusia kan sama di mata Tuhan?
“Sopan santun, rasa menghormati dan rendah diri lah jawabanya. Semua manusia memang sama di mata Tuhan, namun rasa saling menghormati, sopan santun dan rendah diri seseorang itu akan terlihat dari caranya berbicara. Cara anak berbicara ke orang tuanya, cara umat berbicara kepada sulinggihnya, cara karyawan berbicara dengan bos-nya,” jawab Dewa Yogantara.
Alangkah baiknya apabila kita bisa berkomunikasi dengan Bahasa Bali Alus dengan semua orang Bali tanpa melihat jabatan ataupun kastanya. Namun bahasa Bali yang unik ini mengajarkan kita untuk rendah diri, hormat dan santut terhadapat lawan bicara. Dengan telah dibukanya Jurusan Bahasa Bali diberbagai Universitas di Bali semoga generasi muda Bali bisa tetap melestarikan budaya Bali terutama bahasa Balinya. [b]
Masalahnya bahasa Bali jarang dipakai dalam ragam formal yang berhubungan dengan modernitas, misalnya pembukaan perusahaan, pengajaran matematika di sekolah, peresmian restoran baru, dan sebagainya. Salah satu alasannya adalah karena kurangnya kosa-kata modern dalam bahasa Bali. Orang Jepang dan Korea, tahu kapasitas lidahnya terbatas, dan ketika mereka menciptakan kosa kata modern, mereka mengambil bahasa Inggris hanya saja dimodifikasi dengan cara pelafalan mereka. Contoh bahasa Jepang (saya pernah tinggal di Tokyo): komyunikeeshon (komunikasi), foowaado (forward — dalam e-mail), intabyuaa (interviewer), intaanshippu (internship), dan sebagainya. Mereka tidak malu dan justru bangga. Apakah tidak sebaiknya bahasa Bali menciptakan kosa kata modern baru sesuai dengan lidah kita? Misalnya: Slobenia (negara Slovenia), grawiti (gravity — gravitasi), kroswok (crosswalk — zebra cross, penyebrangan), dan sebagainya.
Contoh di atas hanya sebagai ilustrasi saja.
Maaf, hanya bisa mengomentari tanpa bisa memberikan solusi,
Saya tidak terlalu suka
kenapa bahasa bali harus ditinggalkan oleh generasi muda???? padahal kalau bukan kita siapa lagi coba yang akan melestarikan bahasa bali??? sebaiknya kita sebagai generasi muda bali harus melestarikan bahasa bali!!!!!!!!!!!!
gimana mau ajeg bali kalau bahasa bali aja punah???