MEN COBLONG akhirnya memiliki waktu berkumpul dengan keluarga.
Formasinya lengkap: ibu, bapak, dan anak. Khusus untuk satu hari rasanya perlu juga sesekali berkumpul dengan keluarga. Menikmati hari-hari, karena kantong pas-pasan apa salahnya.
Sesekali bolehlah menjadi turis domestik di negeri sendiri. Tepatnya orang yang tinggal di Bali sesekali menikmati wisata yang disodorkan pariwisata Bali.
“Kita tidak kelihatan, kok, seperti orang yang tinggal di Bali?” kata anak lelaki semata wayang Men Coblong serius. Men Coblong tersenyum.
“Waktu beli makanan siap saji dan mengantre, ada cewek cantik bertanya padaku, sedang berlibur ya? Aku mengangguk saja,” lanjut anak lelaki Men Coblong sambil menggelar makanannya di karpet hotel di kawasan Sanur.
“Sesekali piknik gratisan begini enak juga ya. Minimal kita bisa menikmati Bali. Memang enak jadi turis, bayarnya yang tidak enak.” Anak lelaki Men coblong berkata sambil mengernyitkan alis kepada Men Coblong.
Men Coblong terdiam sambil menikmati suasana kamar hotel setinggi sembilan lantai itu. Kebetulan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menggelar Seminar Internasional Sastra Indonesia 2019 di Bali. Temanya Sastra, Lingkungan, dan Kita (Words, Earth, and Us). Acara yang juga berbahasa Inggris Bali International Literary Symposium 2019) itu berlangsung pada 10 – 13 Oktober 2019.
Men Coblong pun bisa sedikit bermewah-mewah. Menikmati fasilitas yang diberikan pemerintah Bali. Menginap di hotel, makan pagi, makan siang, dan makan malam berkumpul dengan para seniman-seniman hebat dari Bali juga pemerhati bahasa Indonesia dari Australia Prof. Pam Allen dan pecinta bahasa Indonesia dari Korea Prof. Koh Young Hun.
Acara seminar itu terasa guyub. Men Coblong merasa senang berada di tengah teman-teman di Bali yang selama ini makin dikenalnya lewat status-status mereka di media sosial. Status-status yang membuat Men Coblong merasa untuk bermain dan berjuang di wilayah literasi memang harus banyak belajar. Belajar apa saja untuk memperkaya karya-karya yang diciptakan.
Men Coblong takjub dan menjadi pendengar yang baik. Karena, jujur saja sebagai penulis yang masih perlu belajar banyak modal, Men Coblong hanya mendengarkan. Karena menyimak untuk masa-masa kini adalah persoalan yang rumit. Orang lebih banyak bicara. Jika sudah banyak orang bicara apa salahnya Men Coblong menjadi pendengar.
Yang membuat Men Coblong terharu bagaimana para profesor-profesor dalam diskusi itu benar-benar memperjuangkan agar bahasa Indonesia bisa dikenal lebih luas lagi. Lalu bagaimana faktanya?
Kadang-kadang Men Coblong berada di Indonesia juga merasa bukan berada di Indonesia. Karena semua hal, terutama di Bali ini “dijual”, sehingga kebutuhan turis yang dinomorsatukan dibanding kebutuhan penduduk lokalnya. Bahkan kadang-kadang suami Men Coblong tersenyum geli melihat Baliho besar-besar dipasang dalam bahasa Inggris yang menurut suami Men Coblong yang sedikit khatam bahasa Inggris maklum magister jurusan Sastra Inggris.
“Banyak bahasa yang terpajang di baliho itu ada kok padanannya dalam bahasa Indonesia,” sahut suami Men Coblong, “kenapa harus pakai bahasa Inggris sih?”
Bukan hanya di tempat umum, bahkan di dunia literasi juga terjadi hal-hal ajaib. Editor baru buku Men Coblong saat ini adalah seorang perempuan muda, tamatan universitas ternama. Ketika penerbit menawarkan editor baru untuk Men Coblong, Men Coblong sempat menolak, dan memilih editor sendiri dengan risiko harus mengeluarkan uang sendiri.
Men Coblong ragu dengan editor baru yang ditawarkan penerbit bukunya. Karena sebagai perempuan yang sudah berumur Men Coblong merasa sulit sekali berkomunikasi dengan anak-anak muda. Men Coblong merasa kadang-kadang anak-anak muda itu memiliki inovasi-inovasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi Men Coblong.
Maklum jika urusan editor buku, Men Coblong memiliki komitmen yang tidak bisa diganggu gugat. Bahasa harus rapi dan mudah dipahami. Itulah kesetiaan Men Coblong pada bahasa Indonesia.
Membuat sebuah buku itu perlu perjuangan panjang. Sebagai penulis perempuan di Indonesia, Men Coblong harus pandai-pandai mengelabui waktu, agar waktu 24 jam bisa terisi dengan semaksimal mungkin. Keluarga pun tidak morat-marit. Karena sebagai buruh pers, ibu, dan istri Men Coblong memiliki tanggungjawab domestik dan sosial yang tinggi. Semua harus beres, semua harus lancar.
“Editor baru ini bagus, Mbak. Minimal bisa regenerasi untuk masa depan,” itu kata-kata editor senior.
Men Coblong mengakui bahwa generasinya kadang-kadang memang agak sulit berbaur dengan anak muda. Padahal anak-anak muda tidak semuanya memiliki gaya hidup semaunya tanpa memimirkan masa depan.
Mau contoh? Demo yang dilakukan kalangan mahasiswa beberapa waktu lalu itu menunjukkan, betapa para anak muda itu peduli pada negara. Bahkan mereka sedang mempersiapkan unjuk rasa lanjutan jika tuntutan utama mereka ke Presiden Joko Widodo, yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perppu KPK tidak dilaksanakan.
Ini menunjukkan generasi muda tidak hanya bisanya main games dan hura-hura. Mereka sudah sadar berpolitik dan benci dengan beragam gaya koruptor. Dengan melihat ketulusan dan gaya mahasiswa berdemo itu pun Men Coblong sadar, alangkah pentingnya komunikasi dilakukan dengan baik tanpa ada sekat yang satu lebih tinggi dari yang lain.
Dan yang membuat Men Coblong makin jatuh hati pada editor barunya yang baru saja menyelesaikan gelar S1nya adalah, “Saya heran banyak sekali penulis muda menggunakan bahasa Inggris untuk judul buku mereka. Padahal, ketika saya tanya apa mereka membuat buku berbahasa Inggris? Jawaban mereka, mereka menulis bahasa Indonesia juga untuk publik Indonesia. Ketika judul mau saya ganti bahasa Indonesia. Mereka tidak terima. Bahkan, mengatakan saya tidak tahu gaya, bahasa dan selera anak muda. Pemikiran yang aneh.”
Begitu gerutu editor Men Coblong yang rendah hati. Selain masih muda, lulus dengan nilai memuaskan, editor itu pun menguasai dua bahasa asing.
Lalu kalau bukan kita yang mencintai bahasa Indonesia, siapa lagi yang harus merawat dan mencintai bahasa? Masih malu menggunakan bahasa Indonesia? [b]