Membincangkan kemiskinan memang lebih mudah daripada menyelesaikannya.
Begitu pula di kegiatan Stand Up: Take Action, End Poverty Now, Minggu kemarin. Di tempat diskusi beralas karpet merah, tiga pembicara dengan satu moderator itu pun asyik mendiskusikan tentang kemiskinan. Ni Made Sumiati, anggota DPRD Bali, menegaskan bahwa, “Bali memang masih memiliki warga-warga miskin terutama di Karangasem.”
Sumiati, terpilih dari Daerah Pemilihan Kabupaten Karangasem yang juga dikenal sebagai daerah paling miskin di Bali, menyatakannya tanpa ekspresi yang bisa terbaca. Kaca mata hitamnya, yang lebih mirip selebritis dibanding anggota dewan, terlalu lebar sehingga menutup matanya.
Ngurah Karyadi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bali yang kadung dikenal sebagai tukang jago diksusi, menambahkan. “Kaum miskin tidak mau merepresentasikan kelompok di ruang-ruang politik,” kata Gembrong, panggilan akrabnya.
Gembrong kemudian menawarkan jalan keluar yang terlalu disederhanakan. “Kaum miskin harus merebut ruang-ruang politik untuk mempengaruhi kebijakan yang lebih memihak mereka. Misalnya kaum miskin merebut sarana produksi agar bisa mewujudkan kedaulatan pangan,” ujarnya.
Merebut ruang politik? Kaum miskin masih suntuk mengurus kebutuhan utama, pangan. Politik sesuatu yang terlalu tak jelas bagi mereka. Terlalu jauh untuk didiskusikan apalagi direbut dari entah siapa.
Maka, Ketut Putra hanya memandang dari jauh pada mereka yang sedang berdiskusi di depan. Pemulung sampah plastik berpenghasilan per hari antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000 ini seperti merasa berjarak dari orang-orang yang sedang mendiskusikan kemiskinan tersebut.
Ketika diskusi berjalan siang itu, Ketut tak masuk dalam sekitar 20 peserta diskusi yang hampir seluruhnya dari kalangan aktivis LSM tersebut. Ketut terlihat agak kumuh dengan baju kumalnya. Karungnya sudah setengah berisi plastik-plastik bekas minuman, entah gelas entah botol.
“Bapak itu benar. Orang miskin seperti kami memang tidak pernah diberikan kesempatan untuk bicara,” katanya merujuk pada Ngurah Karyadi.
“Termasuk dalam diskusi sekarang ya, Pak?” sahut saya.
Dia hanya tersenyum. Inilah ironisnya. Bahkan diskusi yang dilaksanakan LSM sebagai upaya mendesak pemerintah agar segera menuntaskan kemiskinan pun ternyata ini pun setali tiga uang. Tidak ada ruang untuk orang miskin seperti Putra. Padahal apa susahnya mengajak pemulung, pedagang acung, dan seterusnya untuk bercerita tentang kemiskinan yang mereka alami. Jadi kemiskinan tidak akan menjadi sesuatu yang dibicarakan oleh aktivis LSM, yang jelas-jelas elite tersendiri bagi orang miskin.
Parahnya lagi, kadang-kadang orang miskin itu pun tidak diakui. Setidaknya itu terjadi di Bali. “Banyak orang malu kalau dibilang miskin, termasuk pemerintah sendiri,” kata Degung Santikarma, antropolog yang jadi pembicara ketiga dalam diskusi.
Saya mengartikannya bahwa pemerintah Bali memang malu mengakui bahwa di pulau ini masih ada orang miskin. Makanya Bali termasuk salah satu provinsi yang rajin menolak kalau ada program pengentasan kemiskinan.
Degung menyatakan, pemerintah Bali juga terus menggenjot berbagai pembangunan fisik demi pariwisata meski tak jarang pembangunan itu menggusur warga lokal dan melahirkan kemiskinan baru. Ini semua akibat sistem ekonomi pasar bebas yang dianut Indonesia saat ini.
“Fundamentalisme pasar lebih berbahaya dibanding fundamentalisme agama. Pasar bebas lebih berbahaya dibanding UU Pornografi,” kata Degung.
“Kemiskinan selama ini hanya jadi konsumsi politik,” tambahnya.
Begitulah. Kemiskinan lebih mudah untuk didiskusikan daripada diselesaikan. Sementara mereka yang miskin sendiri terlalu sibuk dengan urusan perut. Ketut Putra pun begitu. Ketika saya menawarkan padanya untuk bicara di diskusi, dia tiba-tiba mengangkat kembali karungnya yang berisi barang-barang bekas itu. “Saya pergi dulu. Cari makan lagi,” katanya lalu pergi meninggalkan diskusi. [b]
Ssungguhnya cukup sderhana dlm mnyelesaikn prsoalan Kemiskinan Masyarakat di Indonesia dan Seluruh Negara..! Prsoalannya.. Apakh Kita Serius utk ingin Mnyelesaikannya..?! Cukup dgn Konsep ¤ KEBERSAMAAN ¤