Oleh Dewa Kresnanta

Tulisan ini menjadi sebuah kilas balik tentang perjalanan saya mengikuti kegiatan Melali ke Banjar Pekarangan, Desa Ngis, Karangasem, bersama BaleBengong. Di tengah riah riuh studi independen dan pekerjaan paruh waktu, saya memutuskan untuk ikut kegiatan ini sembari melepas penat, hunting foto, serta melihat yang belum pernah saya kunjungi.
Kegiatan dimulai sekitar pukul 10 pagi. Pertama, kami diajak ke kebun aren untuk panen tuak jaka. Bersama Pak Nengah Sumerta, kami dijelaskan mengenai pentingnya habitat pohon aren dan diajak mencicipi langsung tuak lau yang baru saja dipanen dari pohonnya—pengalaman pertama bagi saya. Rasanya? Enak, manis, segar! Uniknya, kami meminumnya dengan tekor atau alas dari daun pisang—agar terkesan menyatu dengan alam, katanya.

Kemudian, kami melanjutkan trekking menuju Bukit Bayem. Agak kaget saat mendengar kata “mendaki” bagi remaja jompo seperti saya ini. Mungkin terkesan melelahkan karena kurang persiapan pribadi berupa topi di bawah teriknya matahari kala itu, tapi ternyata tidak se-melelahkan itu. Menyusuri jalanan menanjak dikelilingi pepohonan dan perkebunan warga, kami mampir dahulu di rumah Pak Nengah Sumerta bersama istrinya, Bu Wayan Walastri, untuk belajar proses pembuatan tikar pandan.
Sambil praktik langsung, kami diajari cara panen pandan berduri dari teknik memotong, menggulung, mengeringkan, merendam, hingga menganyamnya. Untuk kesekian kalinya saya merasa kagum dengan proses tersebut, penuh tantangan dan lika-liku untuk menghasilkan karya yang berguna. Kami diberi suvernir tikar mini dan tak lupa berpose dalam foto bersama sebelum melanjutkan perjalanan.

Selang beberapa menit kemudian, pemandangan laut mulai terlihat. Tampak Pelabuhan Padang Bai di kejauhan serta hamparan pepohonan (kebanyakan pohon kelapa) membentang menutupi Desa Ngis yang terlihat rimbun dari atas bukit.
Kami pun sampai di Bukit Bayem, istirahat sebentar di pondok sambil menikmati panorama dan sejuknya hembusan angin. Kesan pertama setelah sampai puncak: ingin rebahan karena se-nyaman itu! Kami lanjut menikmati makan siang dengan menu tradisional khas Karangasem; pepes ikan, sate ikan, sayur urab kacang, dan palem udang. Di tambah minum air kelapa muda, lengkap sudah definisi good food with a view, such a great combo.

Selesai makan, kami lanjut berbincang-bincang dengan para anak kampung sini “akamsi”. Banyak fakta unik yang baru kami ketahui selama diskusi ini, mulai dari sulitnya akses air karena sungai yang mulai mengering hingga mulai langkanya tradisi megenjekan (hiburan rakyat khas Karangasem) di tengah majunya hiburan modern.
Sayangnya, di kesempatan kali ini kami tidak bisa melihat pertunjukan genjek yang “sebenarnya” karena kurang personil—juga megenjekan memang biasanya diadakan pada malam hari saat berpesta sambil meminum tuak. Di lain kesempatan, mungkin saya akan berkunjung lagi ke Desa Ngis termasuk Bukit Bayem untuk sekadar menikmati panorama ataupun menyaksikan pertunjukan tradisional khasnya.
Secara keseluruhan, perjalanan ini menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Bertemu banyak kawan baru hingga melihat aktivitas masyarakat pedesaan yang ditemani lingkungan asri nan menyejukkan—satu hari penuh dengan kesan “wah”. Semoga ke depannya akan ada lebih banyak lagi kegiatan Melali bersama BaleBengong dengan pilihan daerah dan kegiatan yang bervariatif. Terima kasih untuk segalanya!
situs mahjong