Apakah revolusi industri 4.0 memberikan solusi atau menambah masalah ketenagakerjaan?
Setiap 1 Mei, buruh seluruh dunia merayakan Hari Buruh Sedunia (May Day). May Day adalah seremonial pekerja dalam menuntut hak kemanusiaannya terhadap tenaga yang sudah diserahkan kepada pemilik modal.
Rasa menuntut hak yang harus diberikan secara layak dan manusiawi inilah yang dapat kita nilai gerakan buruh sebagai gerakan kemanusiaan agar manusia terbebas dari perbudakan atau penghisapan tenaga oleh manusia lainnya. Melihat makna peringatan May Day ini kembali terkuak pertanyaan mengenai tugas pokok gerakan buruh di era sekarang: bagaimana nasib buruh di revolusi industri 4.0?
Kaum Buruh adalah kaum yang kehilangan akses kepemilikannya atas alat produksi. Akibatnya buruh terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada pemilik modal untuk ditukarkan dengan upah. Karenanya upah dapat disebut sebagai harga dari tenaga kerja.
Tenaga kerja dalam sistem kapitalisme disamakan dengan komoditas yaitu sejumlah kebutuhan (makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain) yang harus dipenuhi seorang buruh untuk melanjutkan hidupnya.
Era revolusi industri 4.0 melahirkan banyak teknoindustri yaitu industri berbasis sistem kerja komputer. Ini menyebabkan tenaga buruh semakin terekploitasi dengan adanya sistem kerja yang terkomputerisasi.
Perintah pekerjaan tak lagi melalui perantara manajer atau bagian pengembangan sumber daya manusia (SDM) melainkan melalui aplikasi sistem kerja komputer yang dibuat perusahaan. Perusahaan hanya memasukan perintah dalam komputer. Buruh cukup menekan tombol persetujuan perintah di hape atau komputer yang telah disediakan oleh perusahaan.
Hilangnya Perundingan
Akibatnya, jika buruh bekerja tidak sesuai target dari perintah sistem, sistem komputer saat itu langsung memberikan perintah suspend atau PHK saat itu juga. Tidak ada lagi yang namanya buruh mendapat ruang perundingan mengajukan pembelaannya. Hilangnya ruang perundingan sudah merupakan bentuk perampasan kemanusiaan secara sepihak dan dilakukan secara tidak langsung oleh si perusahaan
Konsep kerja melalui komputerisasi juga membentuk suatu hubungan kerja yang fleksibel, tetapi juga menghilangkan nilai kemanusiaan dalam pemberian upahnya. Salah satu hubungan yang terbentuk seperti yang kita lihat sekarang adalah hubungan mitra kerja tapi cita rasa pekerja lepas (freelance).
Padahal, seperti kita tahu bahwasanya hubungan freelance lebih menekankan kepada capaian target ketimbang waktu kerja (dalam hubungan perburuhan). Yang membedakan adalah adanya pembagian keuntungan (profit sharing) dalam hubungan mitra kerja yang tidak ada dalam hubungan freelance.
Konsep profit sharing ini pun ukurannya bias dan hanya diberikan pada persepektif perusahaan. Tidak ada juga ruang perundingan oleh perusahaan kepada mitra kerjanya dalam menentukan nilai profit sharing yang memenuhi standar nilai kemanusiaan kepada si mitra kerjanya
Modernisasi sistem kerja dalam Revolusi Industri 4.0 telah menghilangkan konsep perundingan yang wajib dilakukan pemilik modal dengan buruh. Hal ini menyebabkan semakin mundurnya pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan ketenagakerjaan.
Maka, sebenarnya salah jika perbudakan sudah menghilang seiring canggihnya teknologi. Malahan, perbudakan itu sendiri juga ikut mengalami modernisasi yang menghilangkan atau mengalihkan tanggungjawab kemanusiaan yang seharusnya wajib diberikan perusahaan. Tanggung jawab itu justru ada pada sistem komputer.
Akibatnya revolusi industri 4.0 yang sering digaungkan pemerintah saat ini secara tidak langsung juga merupakan bentuk penggaungan juga terhadap perbudakan modern atau bisa kita sebut itu sebagai perbudakan modern 4.0.