Akhirnya perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2020 kembali digelar.
Tepatnya 15 Juni 2020 lalu gong tanda dilanjutkannya tahapan Pilkada telah dibunyikan. Tentu penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah kembali fokus dengan apa yang harus mereka kerjakan. Begitu juga dengan bakal pasangan calon yang bersiap untuk berkontestasi dalam perhelatan demokrasi ini.
Ada satu hal lagi yang harus ditekankan dalam perhelatan Pilkada kali ini, yakni penerapan protokol kesehatan dalam setiap aktivitas oleh pihak penyelenggara, pengawas, maupun peserta pemilihan. Hal itu juga sudah tertuang dalam seabrek aturan yang sudah dibuat oleh pihak berwenang.
Sebagai masyarakat yang memiliki hak pilih tentu saja saya sangat menanti gebrakan yang dibuat oleh peserta pemilihan kali ini. Melihat cara-cara yang digagas dalam menjalankan roda pemerintahan meski di tengah pandemi, tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat meski di tengah pandemi, intinya yang terbaik untuk masyarakat karena hal itulah yang utama.
Kini pasangan calon sudah jelas terlihat. KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sudah menetapkan pasangan calon yang ikut berkontestasi pada 23 September 2020 sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Khusus di Bali, enam kabupaten/kota menyelenggarakan pesta demokrasi meski di tengah pandemi.
Ada cerita menarik yang ingin saya bagi di tengah perhelatan demokrasi di tengah kondisi yang jauh dari kata normal akibat pandemi COVID-19 ini. Pertengahan September lalu umat Hindu merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Tentu banyak masyarakat yang tinggal di perantauan pulang kembali ke kampung halaman, termasuk saya. Sudah menjadi kebiasaan saat hari raya Galungan saya menghabiskan waktu di kampung halaman.
Nah, dalam perjalanan pulang, saya menemukan hal yang sesungguhnya sudah biasa dilakukan oleh pasangan calon pada perhelatan demokrasi seperti sekarang ini. Yaps, puluhan bahkan ratusan baliho dan spanduk terpasang di pinggir jalan selama saya menyusuri jalan pulang ke kampung halaman. Tak sedikit pula saya melihat beberapa pasangan calon menyewa billboard untuk memasang wajah mereka.
Saya sempat merasa kaget karena setelah selesainya masa pendaftaran pasangan calon pada 4 s.d 6 September lalu, semua pasangan calon dengan sigapnya membuat alat sosialisasi diri dan memasangnya di titik-titik strategis. Tentu tidak salah apa yang mereka lakukan, tapi menurut saya pribadi rasanya hal semacam ini kurang pas dilakukan di tengah kondisi masyarakat yang kesulitan akibat dihantam pandemi. Mengingat data terbaru pada bulan September menunjukkan bahwa terdapat 76.940 orang pekerja formal yang dirumahkan dan 3.024 orang pekerja yang di-PHK dari 1.430 perusahaan[1].
Kenapa kurang pas? Mari saya ajak teman-teman untuk berhitung sejenak.
Tentu untuk mengadakan alat sosialisasi berupa baliho, spanduk, dan menyewa billboard membutuhkan dana yang tak sedikit. Mari kita sepakati jumlah baliho, spanduk, dan billboard yang dipasang oleh pasangan calon, oke kita anggap saja baliho 10 buah, spanduk 15 buah dan billboard 5 buah. Setelah itu mari kita hitung biaya pembuatannya, satu baliho dengan ukuran standar (3x4m) harganya Rp180.000 dan spanduk ukuran standar (3x1m) harganya Rp45.000 dengan asumsi harga per meternya Rp15.000. Setelah kita kalikan, jumlah dana yang dibutuhkan untuk membuat 10 buah baliho dan 15 buah spanduk sebesar Rp2.475.000.
Eits, belum selesai.
Mari kita hitung sewa 5 titik billboard, setelah saya cari di mesin pencarian ternyata harga sewa untuk billboard mulai dari Rp20.000.000 s.d Rp40.000.000. Mari kita ambil tengah-tengahnya yakni Rp30.000.000. Kembali kita kalikan, maka kita menemukan nominal sebesar Rp150.000.000. Jika kita totalkan semua, jumlahnya sebesar Rp152.475.000. Besar juga ternyata ya uang yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon untuk menyosialisasikan diri.
Angka itupun baru untuk satu pasangan calon saja. Akan semakin bertambah besar nilainya apabila jumlah calon di suatu daerah semakin banyak. Kalau ambil contoh di Bali, jumlah pasangan calon paling banyak hanya dua pasangan calon saja, jadi nominal tersebut tinggal kita kalikan dua saja. Jadi totalnya Rp304.950.000 “hanya” untuk mengenalkan diri kepada masyarakat yang merupakan pemilik hak pilih.
Poin yang ingin saya sampaikan sebenarnya begini, di masa krisis kesehatan dan ekonomi saat ini tentu alangkah lebih baik jika uang sebesar itu dialihkan untuk membantu masyarakat yang saat ini sedang kesulitan.
“Terus kalau uang itu dialihkan untuk membantu masyarakat, gimana kami mengenalkan diri ke masyarakat?”
Tenang, para pasangan calon tentu masih sangat bisa untuk mengenalkan diri ke masyarakat. Melakukan kampanye bahkan dengan lebih efektif dan dirasakan pula manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini juga sudah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana NonAlam Corona Virus Disease (COVID-19) pada Bab VI tentang Kampanye Pasal 57 huruf d yang membolehkan penyebaran bahan Kampanye kepada umum tentu dengan mengedepankan protokol kesehatan.
Alangkah lebih bijak apabila pasangan calon yang merupakan calon pemimpin daerah memperlihatkan sense of humanity di tengah pandemi seperti sekarang ini dengan mengalihkan dana sebesar itu ke masyarakat dalam bentuk sembako atau alat pelindung diri seperti masker, hand sanitizer, slop tangan, sampai alat cuci tangan. Andai uang sebesar Rp304.950.000 digunakan untuk menyalurkan sembako ke masyarakat, kira-kira berapa paket sembako yang bisa disalurkan? Kalau kita asumsikan satu paketnya Rp100.000 seperti apa yang sudah saya pernah lakukan bersama teman-teman, maka paket sembako yang bisa disalurkan sebanyak 3.049 paket.
Pertanyaan saya selanjutnya, berani nggak semua pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPU bisa beralih ke metode kampanye yang lebih memberikan manfaat bagi masyarakat? Atau masih bertahan dengan metode lamanya yang hanya menebar janji-janji tentu sudah tidak efektif lagi di tengah krisis kepercayaan seperti sekarang ini. Ehh, maksud saya krisis kesehatan dan ekonomi. [b]
[1] “Wagub Cok Ace Minta Perusahaan dan UMKM Konsisten Laksanakan Jamsostek, Media Bali, 16/01/Tahun 2020, 7 Oktober 2020, hal. 4