Madu kelulut membantu nelayan bertahan ketika pandemi menyebabkan menurunnya pendapatan.
Situasi pandemi COVID-19 sempat membuat pendapatan nelayan di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat menurun. Tangkapan nelayan tak banyak yang laku. Jika pun laku harga turun drastis. Utamanya pada hasil tangkapan untuk ekspor.
Kondisi itu disebabkan permintaan dari luar negeri juga terganggu. Sebagai contoh ikan bawal putih. Ikan ini memiliki harga tinggi. Per kg bisa mencapai Rp200 ribu. Ketika pandemi kemarin harganya turun drastis menjadi Rp80 ribu. Lalu udang wangkang. Saat situasi normal harganya Rp80 ribu per kg. Ketika pandemi harga turun menjadi Rp40 ribu per kg.
Situasi seperti itu sempat berjalan selama tiga bulan. Tak banyak pengepul datang untuk membeli tangkapan nelayan. Namun, masyarakat masih mampu bertahan. Sebab, selain memiliki pendapatan utama sebagai nelayan, masyarakat juga memiliki pendapatan tambahan. Salah satunya dari ternak madu kelulut.
Hampir sebagian besar masyarakat melakukan budidaya ini. Bahkan jumlah log yang dimiliki untuk satu orang juga tak sedikit. Ada yang mencapai seratus log.
Potensi ternak madu kelulut karena melihat kondisi geografis Desa Sebubus. Desa dengan hutan yang di dalamnya banyak sarang lebah madu kelulut. Selain madu, Desa Sebubus juga dikenal sebagai sentra lada, padi dan kelapa, ikan dan udang.
Adanya ternak madu kelulut itu, dinilai bisa membantu pendapatan masyarakat. Apalagi saat pandemi COVID-19. Ia mencontohkan jika dirata-rata total panen madu kelulut dari seluruh peternak di Desa Sebubus mencapai satu ton untuk satu kali panen.
Bagaimana kisah warga bisa membudidayakan madu kelulut, selain juga melaut dan melestarikan penyu di perbatasan Indonesia – Malaysia tersebut? Penerima beasiswa Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 20210, Novantar Ramses Negara, melaporkannya secara mendalam di laporannya, Pejuang Konservasi di Batas Negeri. [b]