Definisi kelayakan hidup saat ini cenderung pada gaya hidup.
Bukan lagi berfokus pada kondisi lingkungan yang lestari, artinya cukup air bersih, dan tanah tidak terkontaminasi. Udara bersih dan pemandangan indah adalah keniscayaan jika tiga hal tadi masih terjaga.
Definisi layak yang menyesatkan bisa dilihat pada banyak majalah lifestyle, sekalipun menampilkan kehidupan di pantai atau tempat-tempat alami dan enak dipandang mata. Semata-mata masih pada level eksploitasi dan privatisasi tempat-tempat yang masih alami, kemudian dimodifikasi dengan tambahan hunian atau tempat istirahat yang dianggap mewah atau beradab, kemudian dikomersilkan.
Untuk mencapai hidup “layak” dan nyaman seperti pandangan umum yang beredar saat ini, sudah pasti memerlukan lebih banyak pengorbanan dan uang. Memang banyak sekali yang dikorbankan demi hidup yang layak dan nyaman, bahkan termasuk keselamatan hidup manusia itu sendiri.
Contoh, beberapa properti mewah terletak di tebing pantai selatan di Bali menawarkan pemandangan alam berharga jutaan dolar. Kemampuan teknologi manusia saat ini mampu mengubah topografi alam yang menantang. Mampu mengubah kondisi yang awalnya mustahil untuk dijadikan hunian.
Namun satu hal yang luput dari pengamatan adalah sudahkah mereka pelajari konsekuensi dari keputusan membangun hunian di tempat seperti itu?
Benteng Bali
Salah satu peneliti di Balai Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bali memaparkan bahwa tebing pantai tersebut telah menyelamatkan Bali pada tahun 1980-an ketika terjadi tsunami di Banyuwangi. Tebing setinggi rata-rata 170 meter tersebut dalam tata ruang tradisional Bali merupakan areal konservasi. Tidak boleh diubah topografinya.
Mereka memiliki fungsi sebagai benteng/penahan pada saat terjadi bencana alam salah satunya tsunami.
Setelah dibangun dan properti tersebut telah menghasilkan keuntungan bagi pemodal, akan bertahan berapa lamakah properti tersebut? Apakah pemodal mampu bertanggung jawab terhadap konsekuensi keputusannya seperti potensi bencana alam? bagaimana keselamatan penghuni properti dan masyarakat di sekitarnya?
Di lain pihak, pemerintah setempat, apakah betul betul paham akan pulaunya sendiri? Pahamkah akan potensi, kekuatan dan kelemahan pulau Bali? Agar mereka tak hanya paham potensi ekonomisnya.
Dalam skala lebih mikro, contohnya, berapa banyak orang termotivasi bekerja keras untuk membeli mobil? Banyak juga yang menjual tanah untuk membeli mobil, apa yang dikorbankan? Kesejahteraan generasi penerus.
Berapa lama mobil bisa dimanfaatkan, sedangkan setiap tahun, mobil baru selalu keluar di pasaran dan celakanya produk teknologi komersil rata-rata memiliki masa pakai yang singkat. Adakah produk teknologi tinggi yang umurnya bisa mencapai ratusan tahun dan masih berfungsi dengan sangat baik?
Pesawat ulang alik ke bulan pun tidak bisa dipakai dua – tiga kali. Bangkai mobil, polusi udara, konsumsi energi dan ruang publik (macet menyita banyak ruang, waktu dan uang. Belum lagi fenomena masih banyaknya jalan umum yang dipakai sebagai garase kendaraan). Mereka menyita perhatian pemerintah, menimbulkan konflik di masyarakat karena keputusan yang sifatnya hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek.
Jarang sekali ada demo menuntut penyediaan layanan transportasi publik yang layak.
Lingkaran Setan
Ada kecenderungan untuk berfokus pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan pada kepemilikan pribadi sebagai penanda pencapaian dan status sosial, di luar fungsi ekonomis. Hanya itu sebenarnya akar dan faktor pemicu kerusakan lingkungan, baik itu alam tempat kita berpijak maupun lingkungan sosial kita, terutama di perkotaan dan daerah-daerah yang dilalui jalur wisata.
Fenomena seperti ini membuat hidup menjadi banyak tekanan. Sedikit sekali saya kira bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan terutama yang tidak mengeluh tentang kondisi saat ini. Bagaimana dengan banjir? Ah sudahlah, bisa beratus ratus halaman jika terus menerus mengemukakan masalah.
Gadget atau perkakas seperti tablet, pad, smartphone dan semacamnya diiklankan sebagai alat untuk mempermudah hidup dan simbol masyarakat modern. Modern itu apa? Mempermudah hidup siapa?
Jarang yang tahu bahwa sumber bahan baku smartphone seperti timah melibatkan eksploitasi alam di Bangka Belitung yang sangat merusak kualitas hidup masyarakatnya. Properti mewah berbahan marmer, batu batu alam, pasir, dari mana semua itu berasal dan bagaimana kondisi masyarakat di tempat semua bahan baku berasal.
Sesekali jalan jalanlah ke Kintamani, Karangasem dan Klungkung. Lihatlah bagaimana kondisi masyarakat dan lingkungan di sekitar tambang pasir di sana. Terlalu banyak yang berfokus pada peningkatan ekonomi, hitung-hitungan angka tanpa memperhatikan keselamatan hidup manusia itu sendiri.
Sepertinya selama yang menghitung perekonomian di atas kertas adalah orang lain dan yang mengerjakan orang lain dan dampaknya dirasakan orang lain lagi, masalah ini akan terus berputar-putar karena pelaku tidak merasakan konsekuensi dari keputusan yang dibuatnya.
Logika berpikir yang menghasilkan keputusan akan pemenuhan kebutuhan jangka pendek ini (lingkaran setan) sangat dilanggengkan oleh program-program televisi. Mereka dibuat oleh orang miskin yang ingin hidup atau “berhasil” hidup ”layak dan nyaman”. Kemudian dia menjadi contoh bagi orang miskin lainnya yang ingin mencapai kehidupan yang sama. Dalam istilah sosiologi-antropologi, hal ini disebut dengan demonstration effect.
Logika berpikir yang kemudian mewabah bagai virus, menciptakan sistem cacat. Lingkaran setan ini sebenarnya tidak susah untuk diputuskan. Matikan saja televisinya. Selamatkan anak-anak yang masih polos dari kontaminan seperti ini dan berupayalah merombak pola pikir kita sendiri.
Cacat
Sayangnya tidak hanya televisi saja yang membawa virus pola pikir ini, media online, media cetak yang masuk kategori mainstream (arus utama) juga merupakan struktur pendukung logika berpikir yang cacat.
Tapi memang agak susah berhadapan dengan euforia orang-orang miskin yang jumlahnya fenomenal karena definisi miskin di sini, termasuk di dalamnya adalah orang yang tidak paham apa arti cukup.
Istilah-istilah “layak”, “beradab”, “canggih” perlu pendefinisian ulang. Bagi saya, bukan canggih namanya jika masa pakai dan daya gunanya hanya berkisar puluhan tahun, tidak menjamin kesinambungan justru merampas kesejahteraan generasi penerus. Euforia terhadap penemuan baru dan produk teknologi “tinggi” yang diderita masyarakat negara berkembang (cenderung miskin) membuat lupa akan akar budaya adiluhungnya masing-masing.
Justru sudah terbukti selama ratusan bahkan ribuan tahun menjaga kelestarian dan keselamatan hidup manusia jangka panjang. Seperti Subak di Bali, yang ditemukan pada abad ke-6, hingga sekarang masih eksis.
Subak merupakan salah satu organisasi tua yang masih berjalan hingga saat ini, sistem irigasinya patut diberikan predikat teknologi canggih selain merupakan produk kearifan lokal. Adapun banjar merupakan organisasi tertua di Bali sangat unik. Pada dasarnya tanpa campur tangan pemerintah pusat, Bali sudah mampu mengurus dirinya sendiri karena memiliki banyak organisasi yang sangat sistematis dan masih relevan hingga saat ini.
Dua hal ini, semakin lama kian pupus maknanya dari alam Bali.
Penemuan baru, sistem dan produk teknologi baru yang tidak dapat mendukung kelestarian alam, lambat laun akan merampas kehidupan manusia itu sendiri. Produk berupa barang sangat mudah untuk diciptakan dan dilenyapkan, namun tidak halnya dengan sistem.
Bali memiliki banyak sistem yang berumur ratusan bahkan ribuan tahun, mengapa tidak belajar dari leluhur kita dan meneruskan sistem yang sudah kokoh tersebut? [b]