Bali yang tabah. Bali yang dulu menggugah, kini harus tabah.
Sebutan pulau Seribu Pura, surga dunia, lambat laun berubah dengan sebutan yang mengelus dada. Pulau sampah, surge sampah, bahkan yang paling menakutkan kenyataan bahwa Bali akan atau menuju sebutan pulau plastik. Sebutan yang tidak main-main.
Jika di Korea sana, banyak orang ingin operasi plastik demi mempercantik diri, Bali justru kebalikannya. Sampah plastik yang tak bertuan membuat Bali kian memprihatinkan.
Pantai, sungai, bahkan parit mengabadikan setiap detik bagaimana sampah memenuhi semuanya. Sampah yang sengaja dibuang tuannya, sampah yang sengaja ditimbun, hingga tumpukan sampah plastik yang tak berkesudahan membuat banyak orang akhirnya menyerah. Pernah ditemukan sampah kemasan mie instan yang diproduksi 10 tahun silam masih utuh dan mengambang di lautan.
Bisa dibayangkan, bagaimana kokohnya sampah plastik itu meracuni lautan, sumber air, juga lingkungan di Bali?
Jika dahulu Bali dikenal dengan pantai yang airnya, pasirnya, aromanya, berbisik merdu. Kini, banyak yang mengeluh justru bisikan itu lagi-lagi soal sampah plastik yang mengotori pantai, sungai, tempat wisata, serta seluk beluk Bali.
Dari data Dinas Lingkungan Hidup, jumlah timbulan (volume sampah atau berat sampah yang dihasilkan)di Bali terus meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2015 timbulan sampah di Bali mencapai 10.266,40 meter kubik tiap harinya. Untuk tahun 2016 meningkat menjadi 12.892 meter kubik. Tahun 2017 timbulan sampah menjadi 13.351,13 meter kubik per hari.
Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar timbulan sampah di Bali. Dengan jumlah penduduk mencapai 880.600 jiwa, timbulan sampah yang dihasilkan Denpasar mencapai 3.719 meter kubik per hari. Klungkung menempati posisi kedua dengan timbunan sampah mencapai 2.893 meter kubik per hari.
Menyusul Buleleng dengan 1.923 meter kubik. Lalu Gianyar dengan 1.498 meter kubik, Jembrana 1.005 meter kubik, Tabanan 866 meter kubik, Badung 723 meter kubik, Bangli 559 meter kubik, dan terakhir Karangasem dengan 162 meter kubik per hari.
Indonesia adalah negara penyumbang sampah plastik ke laut kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok. Mengapa lantas kita berlomba-lomba menjadi pemenang dalam kategori mengecewakan?
Indonesia, khususnya Bali harus berbenah. Harus ada bukti nyata bagi anak cucu kita nanti bahwa Bali bukan pulau plastik, surga sampah. Bali, ya, Bali yang hijau, asri, indah, pulau surga senyatanya.
Di antara banyak orang yang pasrah dan menyerah, ada orang-orang peduli yang bergerak. Langkah sederhana dari desa untuk dapat mengurangi sampah plastik dan membantu pemerintah dalam menjalankan program Bali bebas sampah plastik. Kisah sekelompok warga yang peduli dan menamai diri Pego.
Sejumlah warga di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, membangun komunitas yang gencar memburu sampah plastik.
Komunitas yang menamakan diri Peliatan Ngogo, ini berburu sampah plastik di kawasan suci seperti pura hingga kuburan. Upaya ini diharapkan dapat mengilhami masyarkat luas, untuk tidak memanfaatkan sampah plastik saat ke pura. Langkah kecil yang berarti bagi desa Peliatan.
Tidak hanya kalangan muda, aparatur desa hingga tokoh masyarakat setempat pun ikut ambil bagian. Gerakan ini diharapkan semakin meluas dan terpenting mentradisi di masing-masing rumah tangga. Sebab, jika sampah rumah tangga sudah beres, tak ada persoalan sampah kota, sampah provinsi, apalagi sampah negara.
Komunitas Pego ini adalah wadah bagi warga Desa Peliatan, khususnya anak muda untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sekaligus sebagai solusi masalah kepedulian sosial. Dalam sepuluh tahun terakhir kondisi sungai di desa setempat cukup memprihatinkan. Selain limbah cair rumah tangga, juga bercampur limbah padat, yakni sampah plastik.
Mudah-mudahan dengan gerakan warga ini dapat menumbuhkan budaya malu kepada mereka yang selama ini membuang limbah ke sungai, begitu peringatan sang komando komunitas Desa Peliatan ini.
Bendesa Pakraman Peliatan, I Ketut Sandi mengakui, tidak hanya di perkotaan, kondisi air sungai di Peliatan juga mulai memprihatinkan. Kondisi ini juga yang mambuat krama setempat bergerak dengan aksi telusur sungainya. Mereka rutin dan menargetkan sungai yang mengalir di desa setempat kembali lestari.
Setelah sungai, Pego juga memastikan kawasan suci agar steril plastik. Bahkan mereka sudah mengeluarkan aturan untuk kalangan desa agar kegiatan persembahyangan hingga nunas Tirta dilarang menggunakan kantong plastik.
Alhasil beberapa bulan terakhir cukup efektif menumbuhkan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sejak dini. Buktinya, Pego yang didominasi oleh anak-anak muda ini dijadikan wadah berkreasi untuk kelestarian lingkungan. Komunitas ini juga dijadikan media informasi bagi pemuda terkait isu lingkungan, mengedukasi warga untuk peduli terhadap lingkungan dan utamanya melakukan aksi nyata demi penyelamatan lingkungan hidup.
Salah satu gerakan anak muda desa yang bisa menginspirasi desa lainnya untuk dapat mengurangi timbunan sampah plastik di Bali. Tentu, kabar baiknya, banyak pula warga desa yang secara sadar telah melakukan gerakan-gerakan serupa untuk membantu mengurangi plastik di lingkungannya masing-masing.
Mari kita gemakan gerakan positif ini agar tak berhenti di satu desa saja. Melainkan makin mewabah dan memberangus plastik dengan sendirinya.
Dua pejabat di Bali, Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Gubernur Bali Wayan Koster mulai 2019 pun tampak serius dalam “menyelamatkan” Bali. Aturan pengurangan dan pelarangan menggunakan plastic seklai pakai telah berjalan dan semoga lekas menjadi budaya. Menyelamatkan Bali dari sampah plastik adalah gerakan ambisius yang tentu tidak bisa diwujudkan sendiri.
Seperti Pego di desa Peliatan, siapapun bisa bergerak. Mari lakukan. [b]
Comments 3