Bagi masyarakat Bali, kidung bukan hanya penyempurna upacara.
Kidung juga seni yang harus dilestarikan sekaligus coba dikembangkan dalam berbagai ragam. Terkait itu, Bentara Budaya Bali bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar dan Komunitas PAGARi (Pengkajian Agama, Budaya, Pariwisata) akan menyelenggarakan Workshop Kolaborasi Kidung dengan Tari dan Lukis.
Workshop akan diadakan pada Sabtu, 25 Januari 2014, Pukul 18.30 Wita di Jalan Prof. Ida Bagus Mantra 88A, By Pass Ketewel.
Para pembicara yakni Dr. Ketut Tanu, M.Si dan Made Surada akan mengulas perihal kidung sebagai warisan budaya yang di satu sisi memiliki arti penting bagi umat, namun seiring perubahan zaman, terjadi kemandegan kreativitas dalam mencipta genre kidung baru, di mana generasi muda cenderung mengabaikannya.
Menurut Dr. Ketut Sumadi, M.Par, Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar (Pjs) workshop ini juga menawarkan upaya memperluas apresiasi seni kidung melalui aneka kegiatan seni yang kontekstual dengan kekinian. “Untuk itu, sebentuk pertunjukan kolaborasi akan turut digelar dalam kegiatan ini,” ujarnya.
Pertunjukan tersebut melibatkan seniman-seniman kidung dan seniman tari, serta pelukis Putu Sudiana Bonuz. Mengambil topik “Contemporary Genre Kidung Art and Line Dance”, diharapkan dapat diwujudkan satu proses penciptaan yang memungkinkan lahirnya kidung-kidung bersemangat kekinian. “Kendati demikian, seni kidung tersebut kiranya tetap berakar pada nilai-nilai luhur kearifan lokal Bali,” kata Putu Aryasthawa, staf Bentara Budaya Bali.
Sebagaimana disinggung di awal, kidung sejatinya tidak hanya penanda perihal ritual yang tengah berlangsung di lingkungan sekitar, sekaligus juga kesempatan untuk meresapi vibrasi magis spritualitas, dan mengukuhkan pula ikatan persaudaraan atau manyamabraya.
Tembang kidung telah diwariskan dari generasi ke generasi, berikut kreativitasnya yang kerap mengejutkan, melahirkan beragam pola irama sejalan dengan dinamika perubahan zaman. Proses transformasi kreativitas ini melahirkan aneka tembang kidung dengan irama yang unik sesuai dengan kekhasan masing-masing desa di Bali.
Akan tetapi, terjadinya percepatan perubahan, disebabkan kemajuan teknologi informatika, melahirkan fenomena perubahan tata nilai dan pola kebiasaan masyarakat. Perubahan tersebut dinilai telah turut mengkondisikan tidak berkembangnya seni kidung terutama di kalangan generasi muda.
Tembang-tembang Kidung yang sering dilombakan lewat utsawa dharmagita dan secara terbatas ditembangkan dalam wadah pesantian saat piodalan dalam waktu sangat singkat selama prosesi ritual, cenderung lebih dipahami sebatas penyempurna upacara, di mana filosofi dan nilai-nilai luhur (local wisdom) yang terkandung di dalamnya kurang mendapat perhatian atau pendalaman.
Kegiatan ini menghadirkan seniman kidung dan penari arja, Anak Agung Nuradi dan Ni Wayan Karti yang kini tengah menekuni kuliah di Program Studi Brahmawidya IHDN Denpasar, Dewa Ketut Wisnawa, S.Sn, M.Ag (seniman tari dan karyasiswa Program Doktor Pascasarjana IHDN Denpasar), Dr. I Made Surada, MA (pakar Kidung dan Pembantu Dekan Fakultas Brahmawidya IHDN Denpasar), perupa Putu Sudiana Bonuz, seniman lukis yang juga dosen ISI Denpasar, Dr. I Wayan Sukayasa, M.Si. (pakar Kidung dan Ketua Program Doktor UNHI Denpasar), I Wayan Sujana, S.Sn, M.Sn (Suklu), Dr. I Ketut Tanu, M.Si. (pakar pendidikan dan Sekretaris Program Doktor Pascasarjana IHDN Denpasar), Dr. Ketut Sumadi, M.Par (pencinta kidung dan Direktur Program Doktor Pascasarjana IHDN Denpasar), dan I Made Arista, S.Ag., M.Ag. (penekun kidung dan Assesor Tri Hita Karana Awards). [b]