“Huuuu. Huuuu. Whaaaaa,” teriak Ni Wayan Soka.
Begitulah teriakan mengusir burung terdengar lantang setiap hari. Suara-suara itu berasal dari para penunggu sawah di daerah Desa Peguyangan, Denpasar Utara.
Mereka mengusir burung pipit pemakan padi (Javan Munia) yang mulai menguning. Burung bernama latin Lonchura leucogastroides itu suka memakan padi yang sudah berisi. Burung-burung kecil ini datang bergerombol dalam jumlah ratusan.
Ketika mereka datang, para petani pun berteriak lantang.
Maka, suara-suara itu akan terus terdengar setidaknya dua minggu ke depan. Kegiatan mengusir burung biasa dilakukan petani di Bali menjelang panen. Mereka akan berhenti ketika padi sudah dipanen dan burung-burung tidak ada lagi.
Namun, seperti juga Soka, pada umumnya petani Bali tak hanya mengusir burung-burung pipit dengan suara. Petani juga menggunakan berbagai media seperti pindekan, kepuakan, lelakut, dan semacamnya.
Ada pula bahan-bahan lebih modern seperti tali yang dibuat untuk melindungi padi atau bahkan bendera partai ataupun tim sepak bola di Piala Dunia.
Para penunggu padi akan berkeliling di sawahnya yang rata-rata seluas 25-50 are. Sambil berkeliling mereka membawa plastik-plastik bekas yang diikat pada tongkat kecil dan mengayun-ayunkannya.
Petani akan bekerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 petang. “Tergantung banyak tidaknya burung. Kalau sedikit bisa pulang lebih cepat,” kata Wayan Sukadana, petani lain.
Ketika burung banyak, mereka akan terus di sawah dan tetap berteriak keras, “Heeeeee. Heeeee… Haaaaah!” Suara mereka memberi pertanda bahwa sawah di pinggiran kota masih ada meski tinggal sisa-sisa. [b]