Jamban adalah tempat khusus untuk buang hajat: tinja, kencing dan sampah perut lainnya.
Ih, jijik! Jangan jijik dulu! Kalau semua sampah perut itu tidak keluar dengan baik, pastinya hidup manusia akan sangat menderita, dari diare hingga sembelit alias ambeyen. Bahkan lebih fatal lagi, konon jika tidak berhajat dengan baik akan mengancam jiwa alias bikin orang mati. Pasien yang paling gawat sekalipun dikontrol dokter dengan memeriksa feces (kotoran perut) dan memastikan pasiennya kentut.
“Udah kentut apa belum?”. Itu akan jadi pertanyaan dokter kepada pasien yang sama pentingnya dengan pertanyaan malaikat kepada tubuh manusia,”Masih hidup, apa sudah mati?”.
Jamban menerima segala penderitaan, kotoran sebagai ekses dari pola konsumsi manusia dan menjadi ruang yang paling pribadi dari manusia modern Bali.
Jamban orang Bali pada masa kini mengalami penyempitan ruang dan makna. Dulu jamban memiliki ruang yang luas: sepanjang aliran sungai, seluas ladang yang membentang. Ruang luas itu memanjakan orang-orang Bali untuk berhajat secara merdeka. Jambanisasi pada era 1980-an merubah konsepsi manusia Bali tentang ruang berhajat di tempat terbuka menjadi kamar khusus untuk Buang Air Besar (BAB).
Ruang berhajat yang sebelumnya di ruang terbuka itu, mungkin punya fungsi yang juga luas juga untuk memupuk kebun atau untuk konsumsi hewan ternak celeng yang pada masa itu masih berkeliaran di halaman rumah.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Bali, tahun 2013 lalu masih ada sekitar 12 persen warga Bali yang tak terakses jamban sehat. Masyarakat yang tidak terakses ini masih buang air besar di saluran air seperti sungai dan tegalan. Menurut Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinkes Bali, I Wayan Yogianti, capaian akses jamban sehat di seluruh Bali sekitar 88 persen. Angka ini melampaui target 85 persen dan di atas rata-rata nasional yang menargetkan angka 62,37 persen.
Sekarat
Kini, jamban berada di ruang sempit dan gelap dan bau anyir tak bisa ditutupi dengan pintu yang kadang engselnya telah mencantel dengan kondisi sekarat. Kapur barus di lantai tak kuat menutupi semua bau-bauan tak sedap dari jamban yang berkerak, berlantai keramik tapi berlumut dan tembok yang berkelabang. Jamban duduk model terbaru yang dipajang di toilet perkantoran, tutupannya sering basah berwarna kuning bekas tetesan pipis seseorang.
Jamban model baru ini memang lagi tren, tapi tidak banyak yang tahu bagaimana memakainya. Mestinya bantalan itu dipakai untuk perempuan. Bantalan jamban duduk mestinya disandarkan pada tangki airnya, sebelum digunakan untuk pipis oleh laki-laki, sehingga setelah digunakan ditidurkan kembali pada dudukannya agar tidak tampak lagi tetesan kencing yang bau anyir itu.
Pada abad ke-21 ini, “jamban duduk” di mall-mall masih tampak bekas telapak sepatu yang artinya ada yang jongkok di atasnya. Entah, karena kebiasaan, tidak mengerti memakainya atau jijik karena kotor?
Sekolah, kampus, rumah sakit, gedung pemerintahan, perkantoran bahkan bandara interansional ngurah Rai di Bali anehnya memiliki jamban seperti itu. Bupati Jembrana pun sempat murka karena menemukan toilet di kantor Dikporaparbud Jembrana digunakan sebagai gudang menyimpan komputer bekas. Mimih ratu betara! Ini sudah alih fungsi yang luar biasa!
Pada KTT APEC tahun lalu yang dihadiri sejumlah tamu negara penting, Bali harus menghadapi kenyataan toilet di daerah kunjungan wisata Bali jauh dari kata layak pakai karena kotor dan rusak. Kebersihannya tidak beda jauh dengan kualitas hiegenisnya jamban pasar, terminal dan pompa bensin (terkadang airnya juga berminyak). Tak bisa dibayangkan wajah profesor, doktor, sarjana, pejabat, pegawai, tamu Negara duduk di atas jamban seperti itu. Entah kenapa jamban dibiarkan anyir, bau dan kotoran dibiarkan mengambang karena salah cara menginstalasinya.
Tersembunyi
Di desa, masih banyak yang menggunakan jamban jongkok. Itupun diletakkan di ruang tersembunyi yang kecil, gelap, pengap dan pastinya tetap anyir. Airnya di bak tampak keruh penuh kotoran cecak, jentik nyamuk, air keruh, dan bekas sabun batangan dan pasta gigi lengket di tepian bak air. Dekorasi toilet ramai dengan pakaian kotor yang digantung dan direndam di ember.
Coba saja meminjam kamar mandi di perkampungan di Bali, tidak sedikit pemilik rumah akan minta maap kepada peminjam, karena kamar mandinya kotor. Tapi anehnya, keadaan kotor itu tidak segera diperbaiki.
Jelas terjadi pembiaran, padahal itu kan sumbernya berbagai penyakit? Tampak terjadi ketidaksesuaian apa yang dipikirkan pemilik tentang kamar mandi yang seharusnya digunakan “tamu” (mestinya bersih) dengan kamar mandi yang digunakan mereka untuk sehari-hari (sudah biasa kotor).
Jamban bagi orang Bali itu tempatnya di zone “nista” alias rendahan, jadi membersihkan jamban di rumah sendiri dianggap sebagai pekerjaan hina. Tapi anehnya, orang Bali tidak keberatan bekerja membersihkan WC hotel agar turis bule bisa buang hajat dengan nyaman, tentram dan damai. Bahkan, untuk ini mereka harus bersekolah khusus menjadi cleaning service selama bertahun-tahun dengan biaya mahal.
Kebayang kan jika kamar mandi di perumahan di kampung merupakan kamar mandi umum yang digunakan beberapa anggota keluarga? Mulailah konflik muncul, “Siapa yang paling pantas membersihkan jamban?” Karena semua merasa tidak pantas, maka tidak ada satupun yang berniat membersihkan kamar mandi apalagi jambannya yang salome, satu lobang dipake rame-rame.
Penting
Orientasi orang Bali memosisikan jamban sungguh berbeda dengan “Nak Jawa” alias orang-orang di Jawa. Kamar mandi di tempat-tempat pemberhentian truk sepanjang perjalanan dari Ketapang menuju Surabaya tampak kinclong. Minimal airnya jernih, lantainya masih kesat dan jambannya bersih.
Mengapa? Karena kamar mandi bagi mereka memegang peranan penting yang digunakan untuk mendukung ibadah, berwudhu. Bahkan saking bersihnya, untuk mandipun bisa digunakan.
Kapankah orang Bali bisa memiliki WC yang hegienis? Minimal WC yang di areal tempat suci (pura) yang juga digunakan untuk pariwisata juga bersih dan nyaman agar tidak diprotes delegasi tamu penting seperti kejadian sebelumnya. Bukankah kebersihan adalah ibadah?
Bagaimanapun, jamban itu merupakan instrumen penting bagi kelangsungan hidup manusia. Jambanisasi sejak era 80-an ini tentu bukan hal yang mudah. Perlu transformasi yang nyata untuk membuat program jambanisasi dan kebersihan kamar mandi.
Lagipula, penduduk Bali sampai saat ini masih banyak yang belum menikmati jamban di rumah-rumah mereka. Dan transformasi jamban jongkok ke jamban duduk tidak disertai pemahaman tata cara menggunakannya. Selain itu masyarakat juga perlu diajarkan untuk membersihkan kamar mandi dan jambannya secara teratur. Sehingga, kenyamanan berhajat tidak melulu diperuntukkan untuk bule, orang Bali juga bisa kalau mau.
Semoga pemerintah Bali dapat mendorong perubahan outlook atau tampilan Jamban di Bali menjadi lebih higienis. [b]
Mungkin perlu perubahan cara pandang tentang jamban sehingga jamban/wc/kamar mandi bisa mendapat tempat yang lebih layak.