
Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), akan digelar untuk ke-22 kalinya pada 29 Oktober hingga 2 November 2025. Festival tahunan ini menghadirkan lebih dari 70 penulis, seniman, dan intelektual lokal Bali yang akan berkolaborasi dengan lebih dari 250 pembicara internasional dari 20 negara.
Para penulis dan akademisi Bali bersiap menyemarakkan panggung UWRF 2025. Mereka tak hanya akan berbagi karya, tetapi juga menyuarakan pemikiran kritis tentang pelestarian budaya dan kearifan lokal di tengah modernitas. Ni Nyoman Ayu Suciarti, salah satu penulis yang memanfaatkan festival ini untuk meluncurkan buku berjudul Tutur Tantri. Ia mengaku terinspirasi dari keprihatinannya bahwa cerita-cerita Bali kini jarang didengar anak-anak. “Saya ingin mengalihwahanakannya ke dalam bentuk buku agar tetap hidup dan dapat diwariskan kembali,” ujar Suciarti.
Jero Penyarikan Duuran Batur, seorang ahli sastra Jawa Kuno. Ia menyoroti masalah urgensi dalam memahami ulang ritual di Bali. “Sesungguhnya ritual-ritual di Bali sangat beririsan dengan alam. Sayangnya, banyak yang sudah lupa akan hubungan antara hulu dan hilirnya. Kita perlu kembali memahami situasi Bali yang kini berjalan apa adanya, padahal makna kedekatan dengan alam sesungguhnya sangat erat dengan dinamika sosial dan budaya.” tegasnya. Dalam festival nanti, ia akan mengisi program yang membahas kosmologi Bali dan hubungannya dengan seni kontemporer, serta panel tentang ritual air yang mengaitkan tradisi dengan pelestarian lingkungan.
Sementara itu, seniman sekaligus mantan dekan ISI Denpasar Wayan Karja, akan membagikan pandangannya tentang makna ritual. “Orang Bali mewarnai hari-hari mereka dengan ritual. Namun, bagaimana jika ritual hanya dimaknai sebagai rutinitas belaka? Upaya saya adalah mengembalikan kesadaran di balik ritual itu, bahwa di dalamnya ada nilai, makna, dan upaya manusia untuk terus terhubung dengan yang sakral,” jelas Karja.
UWRF juga menawarkan beragam hiburan dan acara seni. Sanggar Kerta Art akan membuka pesta festival dengan pertunjukan tari bertema Maliang Liang, sementara Komunitas Seni Lemah Tulis dari Singaraja akan memeriahkan malam penutup. Untuk pecinta buku, festival ini juga akan menyelenggarakan Los Buku yang berkolaborasi dengan patjarmerah.
Bagi yang ingin menikmati festival tanpa mengeluarkan biaya, UWRF menyediakan ratusan kegiatan gratis. Mulai dari Climate Day yang mengangkat kearifan leluhur untuk masa depan Bali, Festival Club di sore dan malam hari, pemutaran film, pertunjukan teater, pembacaan puisi, hingga lebih dari 35 sesi peluncuran buku baru bisa diakses oleh publik.
Tak dapat dipungkiri, kegiatan ini merupakan kesempatan berharga yang sayang untuk dilewatkan. Festival ini bukan sekadar ajang pertemuan para pecinta sastra, melainkan sebuah momen langka untuk menyelami pergulatan pemikiran terdepan dari para narasumber lokal maupun internasional.
Bagi masyarakat Bali khususnya generasi muda, ini adalah peluang merawat identitas budaya di tengah arus global, sekaligus menginspirasi lahirnya karya-karya baru yang tetap berakar pada kearifan lokal. Keberagaman program yang ditawarkan menjadikan UWRF lebih dari sekadar festival, juga ruang belajar, berdialog, dan merayakan kebudayaan.
toto slot toto slot toto slot cerutu4d situs toto situs toto cerutu4d cerutu4d cerutu4d slot resmi cerutu4d










