
Terjebak macet di Peliatan menjadi agenda tak terhindarkan, apalagi ketika menuju Alun-alun Peliatan. Kendaraan dari berbagai sisi tak mau mengalah, akhirnya sama-sama diam tak bergerak.
Di depan Alun-alun Peliatan sore itu (26/08), tepatnya di Kantor Desa Peliatan, ramai oleh orang-orang yang tengah mempersiapkan diri menjelajahi Ubud. Acara tersebut merupakan jelajah inovasi sebagai rangkaian Pekan Iklim Bali. Jelajah inovasi hari itu memperkenalkan inisiatif dekarbonisasi transportasi Ubud. Dekarbonisasi merupakan proses mengurangi dan menghilangkan emisi gas rumah kaca.
Tiba di Kantor Desa Peliatan, peserta jelajah inovasi disambut oleh Jero Kartika, Sekretaris Desa Peliatan. Jero Kartika memperkenalkan sejumlah inovasi yang dilakukan oleh Desa Peliatan untuk mengurangi emisi, salah satunya adalah Pego, Peliatan Ngogo. Program ini dibentuk pada tahun 2019 ketika sungai-sungai di wilayah Peliatan masih kumuh.
“Kita inisiatif untuk membentuk Pego, untuk membersihkan bantaran sungai,” ujar Jero Kartika. Pego merupakan program bersih sungai karena sampah plastik kerap mengalir ke sungai di Desa Peliatan. Hasilnya dapat dilihat dari kembalinya tradisi pernikahan di Desa Peliatan, yaitu ritual mandi. Ritual mandi yang sebelumnya dilakukan di kamar mandi karena sungai kotor, kini kembali dilakukan di sungai yang telah bersih.
Ada pula program Sejuta Biopori dan Teba Modern, pengelolaan sampah organik di Peliatan. Uniknya, Desa Peliatan memiliki aturan tersendiri untuk mencegah masyarakat tidak memilah sampah, yaitu sanksi berupa 100 kg beras.
Selain inovasi menjaga lingkungan sekitar, Desa Peliatan juga memiliki inovasi dekarbonisasi transportasi. Jero Kartika menjelaskan bahwa masyarakat Peliatan sudah banyak yang menggunakan kendaraan listrik. Kebiasaan penggunaan kendaraan listrik ini dibantu oleh adanya fasilitas umum berupa charging station kendaraan listrik.

Charging station ini berlokasi di Alun-alun Desa Peliatan. Para peserta diajak menengok charging station tersebut. Rak-rak seperti loker berjejer, setidaknya ada tiga rak yang kami lihat saat itu. Rak-rak tersebut ternyata menyimpan baterai di dalamnya. Salah satu staf BTI Energy menjelaskan ada tiga perusahaan penyedia baterai di sana.
Cara kerjanya, pengguna kendaraan listrik cukup memasukkan baterai kendaraannya yang kosong ke salah satu loker. Kemudian, pengguna bisa memilih baterai yang diinginkan dengan melihat jumlah daya baterai di masing-masing loker. Melalui cara tersebut, pengguna tidak perlu menunggu baterainya terisi penuh karena di dalam loker sudah ada baterai yang terisi.
Charging station ini sudah berdiri satu tahun, yaitu sejak 17 September 2024. Skema bisnis yang digunakan adalah Business to Business. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Peliatan menyewakan lapak kepada penyedia baterai tukar dengan kontrak 1-5 tahun. Dalam skema bisnis tersebut, BUMDes memastikan pelayanan diberikan sesuai dengan perjanjian kerja sama. Menurut penuturan staf BTI Energy, charging station Desa Peliatan banyak didatangi pengemudi ojek online yang menggunakan kendaraan listrik.
Puas bertanya-tanya tentang charging station, kami diajak merasakan jalan kaki dari Alun-Alun Peliatan menuju Jalan Sugriwa di Desa Padangtegal. Trotoar sempit, rusak, dan dijadikan tempat parkir motor merupakan pemandangan lumrah yang kami lihat sepanjang jalan.

Namun, begitu memasuki Jalan Sugriwa di Desa Padangtegal, kami merasakan perbedaan yang cukup besar. Trotoar di sisi utara lebih lebar dibandingkan trotoar yang kami lalui sebelumnya, cukup untuk berjalan berdampingan. Sayangnya, saat itu ada upacara adat, sehingga banyak motor yang parkir di badan jalan.
Kami menemui I Made Parmita, Bendesa Adat Padangtegal. Ia menjelaskan perluasan trotoar tersebut merupakan inovasi Desa Padangtegal untuk menawarkan kenyamanan pada pejalan kaki. Ketika trotoar diperluas, jalan pun menjadi sempit, sehingga arus lalu lintas dijadikan satu arah.
Perluasan trotoar dilakukan dengan dana milik desa. Pemilihan bahan pun dilakukan dengan teliti. Hal ini terlihat dari penutup lubang trotoar yang tidak menghilangkan fungsi guiding blocks. Trotoar tidak serta merta menghilangkan pohon peneduh di Jalan Sugriwa. Sebaliknya, Desa Padangtegal melakukan penanaman pohon sepanjang jalan agar pejalan kaki merasakan teduh, bukan panas.
Setelah perluasan trotoar dilakukan di sepanjang Desa Padangtegal, Parmita merencanakan adanya shuttle yang bisa mengantarkan wisatawan maupun masyarakat keliling Ubud.

Perjalanan berlanjut menuju Jalan Goutama. Berjalan sekitar 10 menit, kami memasuki sebuah gang. Di depan gang tersebut terdapat tanda larangan masuk untuk mobil, hanya kendaraan motor yang bisa masuk ke gang tersebut. Gang tersebut adalah Jalan Goutama yang viral di media sosial karena memiliki suasana seperti di luar negeri, yaitu banyak pejalan kaki dan sepi kendaraan.
Sayangnya, kendaraan bermotor masih bisa masuk ke Jalan Goutama, sehingga beberapa kali pejalan kaki harus menepi. Area tersebut memang dipadati pejalan kaki. Kedai-kedai makanan di sana pun rata ramai oleh pengunjung.

Dari Jalan Goutama, kami menuju Lapangan Astina Ubud. Di depan Lapangan Astina Ubud ternyata beberapa peserta yang tergabung dalam Forum Diskusi Transportasi Publik Bali (FDTPB), Transport for Jakarta, dan World Resources Institute (WRI) Indonesia melakukan pemasangan wayfinding Trans Metro Dewata (TMD) di bus stop.
Menutup jelajah inovasi hari itu, peserta lain mendapatkan Panduan Transportasi Umum Bali yang dibuat dari hasil kolaborasi sejumlah organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemasangan wayfinding diharapkan mampu membantu para pengguna TMD, sekaligus mendorong agar transportasi publik di Bali semakin berkembang.
https://www.english.focaravajuce.org/ kampungbet legianbet legianbet legianbet