Baru-baru ini Bali dinobatkan sebagai pulau terindah di Dunia.
Keindahan tempat menjadikan pulau ini selalu diincar para pelancong. Namun di tengah arus wisata yang deras, kita tak sadar bahwa hasil Bumi di Bali semakin tak mengimbangi penduduknya.
Ambil contoh dari sektor perikanan. Banyak orang mengira penghasil ikan terbesar di Bali adalah dari daerah Kusamba, Klungkung terutama hasil tangkapan tongkol. Padahal, sebenarnya hasil asupan tongkol banyak sekali diperoleh dari daerah Seraya, Karangasem.
Daerah ini memang tidak seterkenal daerah lainnya seperti Kuta, Sanur, Seminyak bahkan tetangganya di Amed. Namun, siapa kira daerah kering dengan bukit bukit batu justru dianugerahi akan hasil lautnya.
Dari alam daratnya yang tidak menjanjikan, maka orang-orangnya hijrah ke mana-mana. “Ada yang ke Lombok, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan daerah lainnya,” ungkap Pak Surya salah satu warga di Dusun Tukad Tiis, Seraya.
Orang-orang Seraya sangat unik. Dari logat bahasanya sepintas tidak seperti bahasa Bali. Hal ini saya saksikan sendiri ketika kawan saya yang sesama Bali baru merasa bahwa bahasa Seraya adalah bahasa Bali juga. “Hal ini karena orang Seraya adalah orang pesisir,” ungkapnya.
Namun nelayan selalu saja mengalami masa masa sulit melaut. Seraya pada saat musim hujan seperti sekarang ini semua bisa tumbuh. Komoditas andalan adalah tanaman jagung, singkong, ubi jalar, kelapa, serta lontar. Dari tanaman lontar daerah ini juga menghasilkan tuak yang berkualitas.
Kebanyakan orang Seraya hidup dari mencari ikan di laut. Dalam satu minggu rata-rata hanya tiga hari nelayan mendapatkan ikan. “Oleh karena itu para nelayan harus berkelompok agar bisa saling membantu satu sama lain,” ungkap I Wayan Perten Ketua Kelompok Nelayan Segara Abadi Indah.
“Jadi nelayan selalu was was,” tambahnya.
“Untuk itu generasi kita nanti ingin agar anak cucu kami bekerja di tempat lain. Beberapa saudara saya memilih jadi kru kapal pesiar sampai ke luar negeri,” sambungnya.
“Untuk itu generasi kita nanti ingin agar anak cucu kami bekerja di tempat lain. Beberapa saudara saya memilih jadi kru kapal pesiar sampai ke luar negeri,” sambung I Wayan Perten.
Jadi bayangkan saja, jika Tukad Tiis yang mengalami produksi ikan yang lebih baik dari daerah lain saja hidupnya seperti ini.
Pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem selama ini berupaya bersama sama kelompok nelayan membangun.
Sebelumnya Dinas melakukan pelatihan pengolahan ikan asap. Namun, sampai sekarang tidak dilanjutkan nelayan. “Hal ini karena pengolahan ikan asap membutuhkan biaya produksi yang lebih banyak dibandingkan pemindangan,” ungkap Eko salah seorang staf Dinas.
Ditambahkannya lagi bahwa Dinas Perikanan Kelautan telah membangun tiga mesin pendingin di tempat berbeda. Hal ini untuk menaikan nilai tawar nelayan. Pada saat nelayan mendapatkan ikan awan atau tongkol berlimpah maka harganya turun, berkisar Rp 700 per ekor.
“Mesin pendingin ini diperuntukkan bagi nelayan yang tangkapannya berlimpah sehingga bisa mengendalikan harga. Pada saat harga ikan tinggi barulah ikan-ikan dikeluarkan dari mesin tersebut untuk dilempar ke pasar,” pungkasnya.
Semoga ke depan nelayan serta Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan bisa bersinergi demi kesejahtraan Bali yang semakin baik. [b]
weit, fotonya luung ajan. mas, kalau ke seraya di mana cari tongkol panggang plus sambel matahnya? *yummmm….
Main saja ke Tukad Tiis di Seraya Timur, bertemu dengan Pak I Ketut Perten Ketua Kelompok Nelayannya, kebetulan beliau juga pengepul ikan. Makan ikan,sambel mentah, nasinya diganti jagung Seraya tambah maknyuuss. Namun kebetulan sekarang bukan musim yang pas untuk mencari ikan. Hasil tangkapan ikan mereka sedang kosong.
Nice article Fadlik! Semangat terus untuk menulis.
Terima kasih Bu.