Sembilan belas perempuan pegiat media komunitas berkumpul di Desa Candirejo.
Perempuan-perempuan tersebut datang dari beberapa wilayah di Indonesia. Mereka berkumpul di desa wisata yang asri di dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah tersebut.
Tidak hanya perempuan pegiat media komunitas, pengelola media komunitas pun juga turut hadir. Mereka disatukan topik yang sama, menyuarakan dan mengangkat isu kesetaraan gender di wilayahnya.
Kegiatan tersebut adalah temu perempuan pegiat media komunitas. Temanya “Berdaya dengan Media”. Saya turut hadir atas nama Sloka Institute, pengelola media jurnalisme warga BaleBengong.
Dalam diskusi pada 11-13 April lalu itu, kami mendiskusikan bagaimana teknologi informasi berperan besar untuk mengangkat isu-isu perempuan melalui media.
Perkembangan teknologi informasi membuat semuanya menjadi lebih mudah. Tidak hanya akses informasi, masalah gender pun menjadi menarik. Perempuan lebih bisa berperanan untuk memberdayakan kaumnya, termasuk melalui media.
Media menjadi sarana penting dalam penyampaian isu kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Perempuan dari Sabang sampai Merauke memiliki posisi dan peran sama dalam menyuarakan aspirasinya. Melalui komunitas mereka menjadi pegiat yang kini semakin eksis.
Selama pertemuan itu, beberapa pegiat pun berbagi pengalaman dan inspirasi.
Marsinah FM, radio komunitas buruh perempuan di Jakarta Utara, misalnya. Marsinah menjadi nama radio ini sebagai bentuk perjuangan mereka untuk merebut kesejahteraan dan kesetaraan bagi kaum buruh terutama buruh perempuan.
Persoalan-persoalan buruh pada umumnya adalah representasi persoalan buruh perempuan di Indonesia. Berdiri tahun 2012, radio menjadi sarana advokasi Marsinah FM untuk mendorong buruh perempuan berani berbicara.
Selain radio, seni pun menjadi media alternatif suara perempuan. Apalagi perempuan sering direpresentasikan sebagai objek dalam seni. Perjuangan atas kesetaraan dan advokasi hak-hak perempuan tidak hanya melalui gerakan publik yang berbasis sosial media. Adat dan budaya daerah menjadi salah satu bahan dalam perjuangan melalui seni.
Nurhayati Kahar, seorang aktivis Radio Suara Perempuan Padang menyebutkan kearifan lokal budaya Piaman (Sumatera Barat) lebih memudahkan dalam menyampaikan informasi dalam celoteh Piaman. Kolaborasi antara seni dan budaya dalam radio akan memudahkan penyampaian makna di balik cerita.
Mereka mengkritisi adat yang merugikan perempuan di Piaman, salah satunya dalam bentuk sandiwara radio. Hierarki gender yang dianggap memarjinalkan perempuan membuat para aktivis perempuan gerah.
Kolaborasi antara seni dan budaya dalam radio akan memudahkan penyampaian makna di balik cerita.
Revolusi Digital
Tak dipungkiri tekanan pemerintah maupun masyarakat yang tidak sependapat menjadi tantangan dalam gerakan.
Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan dalam tulisan “Seksisme, Pink Collar Ghetto, dan Brand-Building dalam Media” mengungkapkan revolusi digital memberikan setidaknya ruang baru dalam representasi suara perempuan yang diciptakannya sendiri.
Perempuan juga mulai menguasai dan menciptakan teknologi dalam media.
Sebuah revolusi baru dalam dunia digital saat ini. Perempuan tidak hanya diidentikkan dengan sesuatu yang lemah, sekunder bahkan marjinal. Masih ada stigma terhadap perempuan dalam media misalnya liputan perang yang berbahaya untuk perempuan, sistem patriarki media dan kesenjangan karier antara jurnalis laki-laki dan perempuan.
Isu-isu perempuan dan pergerakannya oleh para perempuan tidak hanya terjadi di wilayah barat Indonesia. Wilayah paling timur Indonesia yaitu Papua pun demikian. Budaya patriarki masih melekat di Papua. Perempuan menghadapi masalah yang didominasi dengan buta aksara dan akses dalam pendidikan.
Sosok R.A Kartini pun menjadi relevan jika teringat akan tulisan dalam karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang. Ibarat menjadi lentera kaum perempuan akan persamaan hak untuk memperoleh pendidikan. Emansipasi terhadap perempuan pun kemudian muncul terutama dalam pendidikan.
Media alternatif berupa video dokumenter digunakan kawan dari Tiki Papua untuk sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan. Video dipandang universal, dapat diterima oleh masyarakat berbagai kalangan. Tampilan audio dan visual memudahkan penyampaian pesan baik kepada buta aksara sekalipun.
Akses informasi yang semakin cepat karena teknologi informasi yang berkembang pesat pula, semuanya terasa setara.
Pengangkatan isu perempuan dalam film menjadi bentuk revolusi baru dalam penggunaan media sebagai sarana pengungkapan realitas sosial. Media cetak dirasa kurang efektif dalam menularkan spirit perjuangan mereka. Dengan adanya akses informasi yang semakin cepat karena teknologi informasi yang berkembang pesat pula, semuanya terasa setara. Serupa dengan perjuangan perempuan komunitas yang menggaungkan kesetaraan dan kesejahteraan bagi perempuan lain. [b]