Desember nanti, Bali akan dipenuhi 10 ribu hingga 15 ribu orang.
Ribuan orang: aktivis LSM, pejabat, penjahat (lingkungan), menteri, sampai presiden dari 180 negara akan tumplek blek di Nusa Dua, bagian selatan Bali. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) alias Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim itu akan berpusat di Bali International Convention Centre (BICC) Nusa Dua, sekitar 20 km selatan Denpasar.
Banyak suka cita, terutama masyarakat Bali. Ini ibarat rezeki nomplok karena konferensi besar itu akan jadi promosi gratis buat pariwisata Bali. Ya, tentu saja. 10 ribu orang tidaklah sedikit. Apalagi isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) sedang laris manis jadi wacana global. Maka, itu tadi, Bali pun akan mendapat imbas pencitraan.
Bali akan dicitrakan sebagai tempat konferensi yang menyenangkan. Lalu akan makin banyak wisatawan datang ke Bali. Karena itulah, nyaris tidak ada yang bersikap kritis pada masalah ini.
Tapi, tetap saja ada catatan yang harus diingatkan, terutama dari sisi lingkungan. Sebab isu yang akan didiskusikan nanti kan soal lingkungan.
Sebagai tempat konferensi, Bali jelas akan kena dampak. Kita lihat dari soal-soal sepele saja. Misalnya sampah sisa makanan, sampah isi perut dan kantung kencing :), air yang dihabiskan untuk mandi para peserta, bahan bakar minyak kendaraan (pesawat, mobil, sepeda motor) yang dihabiskan dst, dst.
Saya bukan ahli hitung menghitung. Tapi saya yakin jumlahnya tidak sedikit.
Ironi paling jelas adalah soal rencana kompensasi atas dampak buruk konferensi itu. Dari dua teman aktivis LSM di Bali, saya mendapat info kalau panitia dari Jakarta akan melakukan penghijauan di Taman Nasional Bali Barat sebagai bentuk timbal balik dampak buruk konferensi. Kabarnya panitia akan membangun toilet dan menebang hutan untuk jalan masuk ke hutan.
Ini sih sepertinya sinting. Tapi sangat mugkin memang terjadi. Coba pikir: 10 ribu orang datang ke tengah hutan? Atau ya paling sedikit lah 1000 orang. Jelas susah. Gimana kalau 1000 orang itu pengen kencing? Tidak enak kan kalau semua lalu membuka celana dan cuuur di tengah hutan seenaknya. Maka dibuatlah toilet itu tadi.
Begitu juga dengan menebang hutan. Kalau hanya satu dua orang yang masuk sih gampang saja. Tidak usah menebang hutan. Cukup lewati jalan setapak atau di sela semak-semak. Lha kalau 1000 orang masuk hutan, meski lewat sela semak-semak ya tetep saja hutan akan rusak. Mungkin karena itu pohonnya ditebang untuk bikin jalan. Sebab hutan yang gundul itu adanya memang di tengah, bukan di pinggir.
Inilah puncak dari semua logika yang tidak logis. Hehehe. Masa mereka menebang pohon untuk menanam pohon baru. Gimana kalau pohon barunya tidak tumbuh? Rusak sih pasti, perbaiki belum tentu. [b]
lucu juga apa yang dilakukan panitia, menebang hutan untuk membuat jalan bagi 1000 orang dan membangun toilet. sementara di luar bali kita rame-rame galakkan penanaman pohon. saya kira ini adalah sebuah proyek yang dapat menghasilkan untung bagi pihak tertentu. dan seharusnya 1000 orang yang akan masuk itu tahu bahwa hutan bukanlah tempat wisata yang memiliki fasilitas yang nyaman.