“Semoga, ya, pagi ini lebih cerah dari pagi kemarin. Mungkin bisa bangun lebih dini ‘tuk bergegas siapkan diri.”
Seperti kutipan lirik lagu Gunawarma Kupit, kebanyakan manusia menjalani hidup penuh harapan dan rencana. Namun, hidup berjalan dengan banyak kejutan. Banyak hal di luar harapan maupun rencana yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.
Jika hidup ialah permainan dadu, maka di masa pandemi ini kocokan dadu oleh bandar terasa jauh lebih cepat. Banyak hal tak terduga. Banyak yang dulunya samar semakin terang benderang. Rencana dan prediksi berubah total.
Hidup manusia berputar bolak-balik lebih cepat. Hal yang tadinya terlihat mapan tiba-tiba jatuh tersungkur atau sebaliknya. Saking cepatnya, putaran itu membuat isi perut manusia di sekitar kita seakan keluar lebih cepat dan nampak jelas.
Situasi itu tentu mempengaruhi banyak hubungan dan pandangan sosial antarmanusia. Teman bisa semakin dekat, tetapi bisa juga mendadak menjadi lawan. Musuh semakin dibenci, tetapi bisa juga menjadi sekutu. Yang tidak banyak berubah hanya kekuasaan yang sering semena-mena.
Anggap saja hubungan sosial itu seperti orang sedang memasak di atas api, lalu wajan tiba-tiba hilang atau terbalik. Jika yang dimasak mengandung udara, maka api akan seketika padam. Namun, api akan semakin berkobar jika yang dimasak mengandung minyak dan sesuatu yang mudah terbakar. Atau, sederhananya lagi, kondisi ini semacam bagaimana gawai kita yang tak terkunci jatuh di tangan pasangan tanpa filter dan sensor.
Pada tahun-tahun belahan dunia mengalami pandemi ini, memang kejutan datang bak letusan meriam di masa perang. Misalnya, di awal masa pandemi ini, saya sebagai penggemar hiruk-pikuk persepakbolaan dunia sangat merasakan kehilangan ketika sang maestro Diego Maradona berpulang. Algoritma media sosial saya menyajikan ungkapan duka, kehilangan, romantisme kehebatan Sang Bintang, dan segala berita yang terkait tentang Maradona.
Getaran Sama
Ini memang akan jauh dari kata sebanding. Namun, setidaknya getaran sama saya rasakan di status Cokorda Bagus yang tiba-tiba mengumumkan pengunduran diri dari band Nosstress. Tidak hanya di area Cok, sapaan akrabnya, halaman media sosial Nosstress pun tak luput dari bermacam ekspresi tertulis para penggemarnya.
Walaupun sebagai penjudi ekor buntut, saya perhatikan keluarnya Cok bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa petanda. Seperti ekor angka dua yang keluar setelah semalam bermimpi tentang seekor ular. Misalnya, konser Nosstress terakhir tanpa Cok. Petanda lumayan terang ialah setelah terbitnya album kedua dan beberapa lagu tunggal (single). Bukan album Nosstress ketiga yang hadir, tetapi malah semacam karya refleksi bertajuk Ini Bukan Nosstress. Karya yang menurut saya memberi pesan Nosstress lumayan merasakan mati gaya sebagai trio, tapi tidak sebagai musisi pribadi.
Namun, sekuat apapun petanda itu, ibarat angka ekor tepat, tetapi angka kepala meleset, dia tetap saja menghadirkan kekecewaan, kesedihan dan penyesalan bagi para penggemar yang melihat bagaimana kemesraan trio ini selama bertahun-tahun. Bagaimana mereka berproses dari awal seperti tanpa terpisahkan. Memberikan karya dan penampilan yang menyentuh relung relung jiwa banyak manusia.
Tentu segala ekspresi pascakeluarnya Cok dari Nosstress ialah sesuatu yang sah dan wajar.
Kemudian berselang sehari setelah pengumuman yang mengejutkan dari Cok, Luh De Suriyani dari BaleBengong melakukan wawancara dengan Angga perihal keluarnya Cok. Jika dibaca dengan saksama, sebenarnya hasil wawancara itu sudah cukup menjelaskan kenapa dan bagaimana Cok keluar. Dalam wawancara itu, Angga pun seperti memberikan isyarat pertemanan mereka, seperti halnya Nosstress, akan tetap baik-baik saja.
Turun Deras
Namun, entah budaya membaca kita yang tak kunjung membaik atau goncangan pascakeluarnya Cok memang terlalu dahsyat, saya perhatikan wawancara itu seperti tidak banyak berguna. Meski mulai dengan ungkapan-ungkapan penyemangat, tetapi arus pertanyaan dengan frekuensi sama pun masih turun deras di halaman media sosial Nosstress.
Beberapa minggu berselang, Nosstress pun seperti ingin menunjukkan sebetapa besar rasa cinta mereka terhadap para penggemar, teman dan Nosstress itu sendiri. Kabar resmi dari halaman Nosstress pun hadir dengan sangat apik. Jauh dari sensasi drama selebritis televisi. Pengumuman itu hadir dalam bentuk karya dalam judul dua kata yang sejatinya sangat diperlukan dan sering kita lupakan, Terima Kasih.
Inilah karya yang kemudian tidak hanya tentang Cok. Melalui musik, lirik dan video klipnya, saya tangkap bagaimana Nosstress ingin memberi penghargaan pada siapa saja yang pernah dan masih ada sehingga Nosstress bisa menjadi seperti hari ini. Ibarat kapal, Nosstress akan masih terus berlayar dengan segala yang tersisa.
Awalnya saya kira “Terima Kasih” itu bisa menjadi pijakan untuk semua lapisan pada Nosstress untuk memahami. Bahwa, hendaknya hidup selalu tentang kebebasan memberi pilihan dan memilih sepanjang tidak mengambil hak yang lain. Yang ada dan pernah ada akan selalu memberi makna yang sebaiknya diterima dengan objektif dan lapang dada.
Namun, sungguh di luar perkiraan saya. Saya perhatikan pertanyaan tentang Cok yang sebenarnya sudah dijawab berulang-ulang dengan berbagai cara dan perspektif masih saja muncul di berbagai ruang komentar Nosstress. Bahkan, beberapa bulan berselang pasca Nosstress mulai mengeluarkan beberapa karya digital tanpa Cok, Instastory Man Angga memperlihatkan tentang orang-orang yang mempertanyakan orisinilitas band ini tanpa Cok.
Menceritakan Tragedi
Akumulasi fenomena itu mengingatkan saya pada buku parenting Denish Way. Buku itu menjelaskan Hans Christian Anderson merupakan penulis Denmark yang dikenal dalam sejarah. Anderson penulis dan moyang dari sekian banyak dongeng, seperti The Little Mermaid, The Ugly Duck dan The Emperor’s New Clothes. Mereka adalah kisah yang sudah diceritakan berulang-ulang di dunia. Namun, banyak orang tidak sadar bahwa dongeng asli Anderson tidak memiliki akhir seperti kisah dongeng yang kita harapkan.
Dongeng-dongeng Anderson menceritakan tragedi. Putri Duyung Kecil, misalnya, tidak mendapatkan pangeran. Dia malah berubah menjadi buih lautan karena kesedihan. Banyak dongeng Anderson diubah dari bagaimana selama ini kita sering disuguhkan dan disesuaikan dengan idealnya bagaimana sesuatu seharusnya terjadi. Seorang putri duyung kecil yang akhirnya hidup dengan pangeran. Percintaan dua tokoh yang akhirnya menikah dan hidup bersama setelah menghadapi berbagai rintangan.
Melalui dongeng kita sering kali digiring melihat kebersamaan ialah sesuatu akhir yang ideal.
Tekanan pandangan budaya itu sering sekali membuat banyak kita masih mengenang Kartini dengan memaksa jejeran anak-anak berpeluh didandani sanggul kebaya dan konde. Di sisi lain narasi tentang Kartini seperti berhenti pada perjuangannya tentang emansipasi.
Kita seperti melupakan realitas sejarah bahwa pandangan akan kasih sayang dan budaya menghasilkan Kartini yang “kalah”. Dia dinikahkan menjadi istri kedua oleh lingkaran feodalisme.
Kita sering lupa tragedi dan kejadian menyedihkan adalah hal yang seharusnya terus kita bicarakan juga. Penting kita akan belajar dan mengetahui semua aspek kehidupan. Karena itu lebih nyata dan akan menumbuhkan empati serta rasa hormat lebih dalam untuk kemanusiaan dan pilihan manusia. Bagaimana kenyataan sebaiknya diterima seperti kutipan status Nosstress perihal pemaknaan keluarnya Cok.
“Memang ini kabar yang menyedihkan, tapi bukan kabar buruk.”
Kemudian di skala lebih besar tentang bagaimana semboyan yang mengakar dari generasi ke generasi tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI Harga Mati. Doktrin itu seperti memaksa kita melihat kehidupan berbangsa yang ideal haruslah dilandaskan dengan terus menjadi negara yang besar. Kesatuan seakan ialah kultus dan takdir yang sudah harga mati.
Padahal, sedari awal, dunia ini diciptakan tanpa sekat. Sederhananya, sepengetahuan saya, tujuan dasar perjuangan revolusi membentuk Negara ini ialah karena persamaan nasib dan cita-cita keluar dari penjajahan serta memiliki hak untuk memilih. Bahkan dalam perjalanan NKRI yang besar hari ini juga ada referendum yang disangsikan transparasinya. Hanya karena seribuan suara yang dipilih menentukan nasib sumber daya alam dan sumber daya manusia yang begitu kaya.
Kebebasan Memilih
Jadi, semboyan NKRI Harga Mati itu sering kali menjadi doktrin nasionalisme yang cukup membabi buta. Seperti mengubah makanan pokok yang beragam setiap pulau untuk menjadi sama. Semboyan itu seperti mengajarkan bahwa segala sesuatu telah final. Secara tidak langsung seperti mengingkari aspek kemerdekaan itu sendiri yaitu kebebasan memilih.
Sering kali sesuatu yang mulai mempertanyakan persamaan nasib atau esensi bernegara dan kemanusiaan yang adil dan beradab sering dicap separatis. Sering kali ketika ada gaung untuk mempertanyakan pilihan di luar ide NKRI akan dicap tidak mampu mengelola dirinya sendiri atau dicap negatif lainnya.
Saya rasa pandangan tentang NKRI Harga Mati itu cukup mempengaruhi bagaimana kita melihat hidup keseharian di sisi sisi lain. Misalnya, norma manusia yang bahagia nan sejahtera semacam diwajibkan harus menikah dan ada di keluarga yang utuh. Memilih berpisah atau sekadar tidak menikah akan distigma kehancuran. Padahal, dalam kenyataan, pilihan untuk tetap bersama atau tidak sangatlah kontekstual.
Maka, menurut saya akan sangat mengerikan kalau melihat Nosstress dari perspektif nasionalisme bagaimana kita melihat Negara. Apalagi, Negara selebihnya tentang politik yang mengerikan. Keberadaan negara sering kali membunuh siapa yang membidaninya, mewajibkan memusuhi bahkan kadang menghabisi siapapun yang beda haluan. Sekalipun dia mungkin dulu teman satu kos seperguruan, seperti kisah Soekarno dan Kartosuwiryo. Terlebih lagi akan amat amat menyedihkan kalau kita melihat pengunduran diri Cokorda Bagus dari Nosstress dengan kaca mata NKRI harga mati tersebut.
Melihat Nosstress pascakeluarnya Cokorda memang sebaiknya memberikan jarak dari bagaimana aroma Negara yang teramat memberikan banyak gurat rasa pesimistis di masa ini. Kemudian lampu sorot diarahkan ke Nosstress sebagai sebuah kapal yang sepertinya akan terus berlayar. Entah sejauh apa kapal itu akan berlayar ketika dinakhodai Kupit dan Angga.
Kehilangan Pagar
Untuk mendapatkan sedikit keniscayaan, saya coba menanyakan pandangan musisi yang paling dekat dengan Nosstress yaitu blues man kebanggaan Denpasar sekitar, Made Mawut. Made mengatakan ketiadaan Cokorda Bagus dalam tubuh Nosstress, setidaknya akan membuat Angga dan Kupit kehilangan pagar nyeninya.
Setelah itu Made seperti enggan atau lumayan berat menjelaskan lebih lanjut. Saya pun mencoba memahami omongan itu dengan menelisik lebih dalam peranan-peranan Cokorda Bagus selama di Nosstress. Bisa jadi tafsiran saya keliru, jika saya perhatikan bagaimana Cokorde dianggap “pagar nyeninya Kupit dan Angga” ialah selama ini dibandingkan lagu-lagu Kupit dan Angga yang lebih banyak berbicara tentang realitas di luar diri lingkungan sosial pemerintah dan lain, lagu-lagu cok iklimnya lebih membawa kita melihat ke dalam diri sendiri, memaknai alam sebagai diri dan mengajak lebih ke refleksi sebagai insan manusia.
Dan, masih mengacu pada omongan Made, saya juga merasakan dalam karya-karya Nosstress sebagai trio. Lagu-lagu Cok seperti memberi sentuhan pop lumayan kental di luar karya-karya Angga dan Kupit yang getaran folknya begitu kuat. Bisa jadi, jika karya-karya Nosstress sebelumnya ialah kebun, karya-karya Kupit dan Angga adalah tumbuhan folk yang menjalar liar dipagari sentuhan Cok sehingga menjadi satu kesatuan yang lebih teratur sehingga mampu tumbuh dan berlayar sejauh hari ini. Atau, ketika Angga terlalu banyak berbicara di panggung dan Kupit sering menjadi sasaran, senyuman dan tabuhan kajun Cok seperti mampu menjadi koma yang sunyi untuk ke poin selanjutnya.
Jadi akan sangat menarik melihat Nosstress pascakeluarnya Cokorda dengan lebih realistis dan optimis. Secara hitungan Matematika, misalnya, ketika ada anggota yang turun dari kapal dengan muatannya, maka artinya ada ruang lebih yang disisakan di kapal itu. Dengan kata lain ada hal lain yang bisa diisi, dibangun atau mendapatkan ruang lebih untuk tumbuh.
Menarik kita tunggu bagaimana kebun folk itu akan mampu menjalar lebih liar sekaligus menjadi pagar dengan cita rasa lebih folk atau malah akan menjadi kebun dengan tumbuhan-tumbuhan usang karena tanpa pagar sebelumnya.
Apakah dengan ruang lebih yang ditinggalkan Cok maka Nosstress akan bisa menjadi lebih produktif atau malah mati gaya karena volume mereka tidak mampu mengisi ruang lebih tersebut. Lalu, apa yang akan diisi oleh Angga dan Kupit, mungkin saja album dengan kuantitas hitungan angka lebih liar dan bangunan fisik semacam pelabuhan pribadi serta mercusuar untuk Nosstress lebih bersinar.
Terang saja sebagai penggemar Nosstress semua itu menjadi sesuatu yang sehat untuk ditunggu. Lebih sehat dari menunggu angka ekor buntut tentunya.
Kemudian tentang bagaimana kualitas Nosstress sebagai sebuah band tanpa Cok itu akan menjadi sesuatu yang relatif. Seperti kebenaran di media sosial hari ini yang semua serba relatif. [b]
Memang sangat menginspirasi ??