Ditulis oleh Alistair G. Speirs (15 Juni 2023)
Diterjemahkan oleh Dwi Ermayanthi (30 Oktober 2023)
Terdengar seperti sebuah pabrik pengolahan makanan, bukan?
Namun bukan itu yang saya bicarakan; ini tentang destinasi yang amat kita cintai, namun tidak terawat, di sini di Indonesia dan secara luas, di seluruh dunia.
Saya pernah berada di bisnis asuransi, kami menghabiskan banyak waktu melakukan pengelolaan risiko, mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi pada sebuah bisnis lalu menentukan apakah kami bisa menghilangkan, meminimalkan, meminitgasi, mengelola atau harus menerima dan mengatasinya. Dalam upaya kita untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan, menurut saya kita harus mulai berpikir dengan cara yang sama, dan tiga kata pada judul, yang terdengar tidak menyenangkan itu, adalah tiga risiko yang kita hadapi ketika mencoba membangun destinasi yang berkelanjutan. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama homogenisasi – yang secara sederhana artinya adalah semua menjadi sama – dan ini adalah apa yang kita lakukan pada banyak destinasi di Asia. Baru-baru ini, saya berbicara di sebuah Konferensi Perjalanan Internasional dimana saya mempresentasikan sebuah seri gambar dalam dua kelompok: berbagai foto pantai, kolam, spa, bar, restoran dan kamar hotel di Bali, Penang, Phuket, Hong Kong, KL, Singapore, bahkan Dubai. Tak ada satupun yang dapat membedakan dari destinasi mana foto-foto tersebut diambil – bahkan yang bekerja di sana! Itulah homogenisasi dan itulah yang menyebabkan sulitnya menjual berbagai destinasi berdasarkan nilai keunikannya masing-masing.
Saya kemudian menjelaskan betapa besarnya keuntungan yang dimiliki oleh destinasi yang memiliki keunikan tersendiri, mengaitkan destinasi tersebut dengan keunikan identitasnya, dan disinilah Indonesia, khususnya Bali, mendapat nilai yang sangat tinggi, dengan pura, persawahan, upacara, tradisi, tarian, arsitektur, seni, artefak, masakan lokal, gunung, pantai, dan laut.
Namun di sini di mana risiko kedua hadir: Dilusi. Seiring dengan kita mengembangkan destinasi, pertama membangun hotel, lalu menambah restoran, spa, bar, klub, mall dan taman hiburan, tanpa kendali dengan cepat kita akan merasa kewalahan, menutupi dan sering kali mengaburkan secara keseluruhan, aset inti dari destinasi tersebut sampai kebanyakan orang tidak lagi datang untuk pura atau seni tari, namun hanya untuk minum-minum dan berjoged.
Ini yang saya sebut sebagai “delusi destinasi” dan risiko kedua dengan cepat memperkuat risiko pertama di mana keunikan dari sebuah destinasi menghilang dengan cepat dalam kerumunan berbagai klub bergaya Ibiza, restoran vegan gaya California dan berbagai toko merek Internasional.
Tidak hanya ritual upacara, arsitektur dan tradisi menjadi perlahan menghilang, namun juga dikalahkan dan bahkan benar-benar dilenyapkan oleh berbagai hiburan yang datang dari segala penjuru dunia. Dan nampaknya semua orang berbahagia asalkan uang tetap berdatangan. Namun saya tidak. Metode seperti ini tidak akan bertahan selamanya dan ketika tradisi hilang, ia tidak akan pernah kembali, meninggalkan DJ, para barista dan mixology menguasai akarnya. Terhomogenisasi dan terdilusi, destinasi indah kita hanya akan menjadi tempat bermain sementara bagi kaum muda pencari kesenangan semata.
Lebih parah dari itu, pembangunan yang amat cepat kerap kali tidak terkontrol, terzonasi, dibatasi dan didisiplinkan dengan baik, para pengusaha dan developer mengambil lahan terbaik yang tersedia di area yang populer, membangun beton dan besi di antara lahan hijau dan pertanian, merusak seluruh keseimbangan alam.
Sementara pembangunan oleh sektor swasta berkembang pesat – dan jangan salah sangka – seringkali memiliki kualitas yang sangat tinggi, apa yang dilakukan sektor publik? Ya, seringkali, tidak cukup dan tidak cukup cepat, sehingga tercipta destinasi dengan lalu lintas dan parkir yang buruk, kekurangan listrik dan air, masalah sampah, masalah kualitas udara, gangguan terhadap masyarakat dan perampasan budaya. Inilah risiko ketiga: Disorganisasi: dimana koordinasi antara dinas di pemerintahan gagal, antara pemerintah dan pelaku industri wisata gagal, dimana penduduknya (yang memiliki destinasi) tidak diperhatikan dan kenikmatan pengunjung sangat terganggu oleh faktor yang dianggap sukses oleh pemerintah: pariwisata yang berlebihan – terlalu banyak pengunjung.
Jadi bagaimana kita mengelola risiko ini? Seperti yang saya sebutkan di awal, pertama kita harus mengidentifikasi secara benar (dan identifikasi tersebut harus diakui/diketahui oleh dinas terkait di pemerintahan yang justru seringkali enggan mengakui bahwa mereka memiliki masalah), kemudian melihat apakah kita dapat mengeliminasi, meminimalisir atau memitigasi.
Di Bali kita dapat mengidentifikasi dengan jelas: lalu lintas, parkir, sampah, hilangnya lahan pertanian dan keasrian alam, pengikisan nilai budaya, kehilangan identitas arsitektur, zonasi yang buruk dan perilaku turis yang buruk sebagai faktor risiko utama. Namun Anda mungkin tidak menyadari bahwa ada juga krisi air, ketergantungan berlebih pada sumber listrik tenaga batu bara, kurangnya fasilitas daur ulang dan kompos, dan banyak dari populasi penduduk masih hidup dalam kemiskinan.
Untuk mengeliminasi ini dibutuhkan kedisiplinan: melarang sepeda motor, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, melarang penggunaan plastik sekali pakai, menggalakkan 100% pemilahan dan daur ulang sampah, menurunkan baliho raksasa dan bangunan ilegal, melarang (lagi!) pembangunan di atas lahan pertanian atau lahan hijau, menegakkan peraturan parkir, mendorong terjadinya perubahan ke energi terbarukan, dan membuat organisasi yang mampu mengatur, mengawasi dan menegakkan semua peraturan ini. Ini merupakan hal yang sulit, namun jika kita tidak melakukan hal ini, akan berakibat pada disorganisasi yang selanjutnya akan berakibat pada homogenisasi dan dilusi yang hendak kita hindari.
Ini merupakan hal yang sulit, namun jika kita tidak melakukan hal ini, akan berakibat pada disorganisasi yang selanjutnya akan berakibat pada homogenisasi dan dilusi yang hendak kita hindari.
Artikel original dalam Bahasa Inggis dapat diakses di sini
situs mahjong