Ditulis oleh Edward Speirs (21 Januari 2022)
Diterjemahkan oleh Dwi Ermayanthi (30 Oktober 2023)
Perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan, dan perubahan bukanlah hal yang baru untuk Bali. Bali sudah tak asing dengan pembangunan dan pengembangan, dan juga tak asing dengan kemerosotan dan kerusakan. Yang mengatur apakah perubahan yang tak terelakkan ini positif atau negatif ialah mereka yang turut terlibat di dalamnya, yang turut berkontribusi terhadap perubahan itu sendiri dan yang mendorong terjadinya hal tersebut.
Sejak Walter Spies melukis pemandangan sebuah pulau yang indah dan eksotis pada tahun 1930-an, reputasi sebagai surga telah membayangi Bali. Pengharapan akan surga ini telah bertahan selama beberapa dekade, memberi tekanan pada pulau ini untuk menjaga agar elemen kehidupan di sini tidak berubah. Dengan hadirnya berbagai bangunan dan merek internasional, setiap sawah telah diaspal, keunggulan Bali yang asli kian perlahan menghilang.
Dapat dipahami bahwa di satu sisi ada keinginan untuk melestarikan unsur-unsur masa lalu Bali yang indah, sekalipun romantis, di sisi lain ada keinginan bagi Bali untuk melepaskan “beban reputasi” yang mungkin dapat menghambat kemajuan. Kota Denpasar, misalnya, adalah sebuah pusat kota yang berkembang pesat, pusat dari berbagai mall, waralaba berbagai makanan Korea dan Jepang serta berbagai kedai kopi yang buka hingga larut malam. Ini tentu saja bukan Bali yang dibayangkan dari luar negeri — tetapi bukankah setiap masyarakat berhak mendapatkan kesempatan untuk merangkul modernisasi?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, “ya, tentu saja”, namun mungkin pertanyaan yang lebih penting bagi Bali apakah modernisasi menyiratkan lunturnya identitas, nilai dan cara hidup yang asli. Lebih jauh dari itu, haruskah ‘perkembangan’ selalu mengadopsi cara hidup kosmopolitan yang terinspirasi dari kota? Dari perubahan yang terlihat pada lingkungan yang dibangun Bali, tampaknya memang sudah mengarah ke sana, bahkan terjadi di luar kawasan perkotaan yang telah ditentukan. Mencoba untuk memahami perubahan sosial budaya yang meluas itu sulit dan seringkali rumit, tetapi alih fungsi lahan di pulau ini dapat membantu kita memahami betapa meratanya transformasi menuju modernisasi ini: urbanisasi sebagai perwujudan nyata dari kehidupan modern.
Alih fungsi lahan merupakan faktor penting, karena tidak hanya memiliki efek samping (sering tak terduga) terhadap masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya; mengapa dan bagaimana alih fungsi lahan ini terjadi juga mengungkapkan kekuatan yang mendorong di balik banyaknya perubahan pada Bali, yang pada akhirnya mempertanyakan ‘Siapa yang sebetulnya mengendalikan segala perubahan yang kita lihat ini?’ Ini adalah pertanyaan penting bagi sebuah pulau yang begitu menjaga ‘pesonanya’, bisa dikatakan, karena terlalu banyak perubahan yang dapat mendorong Bali menjadi sama sekali berbeda dari Bali yang dikenal saat ini.
Cantik Itu Luka
Mungkin salah satu sisi perubahan yang paling ironis di Bali adalah menyaksikan bagaimana daerah-daerah bertransformasi, dan sering kali mereka yang meratapi perubahan itu secara bersamaan menjadi bagian darinya.
Kuta, kawasan yang menggebrak ‘citra’ pariwisata di akhir tahun 70-an dan awal 80-an, merupakan daerah bagi para peselancar dan backpacker, di mana yang dibutuhkan hanya daya tarik dari jalan tanah dan losmen beratap jerami (wisma). Popularitasnya menyebar pesat, dan dengan cepat berubah, kini dipenuhi dengan hotel, dunia malam, restoran, dan toko. Pengunjung yang ke Kuta di masa awal, kemungkinan besar tidak tertarik lagi dengan versi baru dari sebuah destinasi yang sebelumnya mereka anggap sebagai tempat pelarian dengan jalan bertanah. Perkembangan Canggu juga merupakan kisah yang serupa, urbanisasi yang terjadi bahkan lebih cepat dari Kuta.
Sekitar lima tahun lalu saya pernah bertanya kepada teman tentang apa yang mereka sukai dari lingkungan seperti Umalas dan Canggu, jawabannya selalu dengan nada yang sama: bahwa daerah ini masih sepi dan hijau, kehidupan terasa lebih lambat, seolah-olah waktu pun tergoda oleh kedamaian itu. Namun setiap orang menginginkan hal yang serupa untuk diri mereka sendiri, atau berusaha untuk memanfaatkannya, sehingga rumah dan bisnis tumbuh, mengambil alih lahan semak dan sawah petak demi petak. Modernisasi memberikan pengaruh besar dan hal yang kita cintai, alam yang damai, tidak ada lagi. Kita pada akhirnya mendapati gentrifikasi lainnya, urbanisasi lokal namun tidak memberi makna apapun pada akarnya. Kemudian proses ini terulang lagi di tempat lain.
Dalam ekonomi ada fenomena yang dikenal sebagai kutukan sumber daya, “kegagalan daerah kaya sumber daya untuk mendapatkan keuntungan penuh dari sumber daya alamnya.” Jika keindahan adalah sumber daya Bali, maka itu juga kutukannya. Kecantikan adalah daya pikat yang otentik namun sekaligus menjadi korban: “Cantik itu Luka”, seperti yang dikatakan oleh penulis Indonesia Eka Kurniawan.
Membaca Perubahan
Perubahan yang dialami beberapa daerah di Bali – terutama di Bali Selatan, dari Kuta ke Canggu hingga Uluwatu – sebagian besar dimotivasi oleh daya tarik finansial dari pariwisata. Ini termasuk ratusan vila, segudang kafe, ruko, dan lainnya yang memenuhi jalanan. Meskipun orang dapat berargumen bahwa penduduk setempat lah yang mengizinkan perubahan tersebut, dinamikanya tidak sesederhana itu: pariwisata tidak sepenuhnya diatur oleh orang Bali sendiri! Pemerintah Indonesia, investor luar, dan industri perjalanan internasional memiliki pengaruh yang kuat terhadap bagaimana infrastruktur pariwisata dan gaya hidup dari luar telah memengaruhi pembangunan pulau ini.
Sementara pariwisata telah menjadi tambang emas dan anugerah bagi Bali dan orang Bali selama beberapa dekade, industri yang hampir runtuh ini telah membuat banyak orang merenungkan kapasitas pariwisata untuk masa depan. Hal-hal sudah berubah ke arah yang baru; cetak biru untuk kompleks perumahan besar sedang diiklankan, hal yang sama untuk lebih banyak mal dan beach club berskala besar. Akankah Bali menjadi rumah bagi penduduk baru? Apakah akan menjadi taman bermain akhir pekan untuk orang dari kota-kota besar Indonesia, dari mana investasi terbesar berasal? Pembangunan pasti condong ke arah ini, tetapi sangat sedikit dibicarakan tentang apa efek tidak langsung dari lanskap dan demografi perkotaan baru ini terhadap suasana, budaya, yang paling penting terhadap penduduk setempat di mana pembangunan itu terjadi.
Dalam fase baru kebangkitan Bali ini, ke mana pun arahnya, menyadari kekuatan yang ada menjadi semakin penting. Siapa yang mengendalikan perubahan di pulau ini, apakah mereka datang dari ‘dalam’, dan apakah mereka benar-benar memiliki kepentingan jangka panjang yang baik di Bali?
Melupakan Dewi Sri
Ini bukan hanya tentang masalah visual. Alih fungsi lahan memiliki efek domino yang mendalam karena alam, manusia dan para dewa saling berhubungan di Bali. Banyak tradisi lahir dari masyarakat agraris pulau ini, dengan pura dan ritual tertentu yang khusus untuk pertanian, terutama pertanian padi. Di daerah perkotaan, pura tertentu seperti Pura Ulun Swi telah dihapus dan ritualnya ditinggalkan, tidak lagi diperlukan di dunia perdagangan yang berputar saat ini. Bagaimana perasaan Dewi Sri, Dewi Padi dan Kesuburan, yang terlupakan?
Sistem Subak yang dilindungi dan begitu dikenal di Bali juga terancam. Kita seringkali menikmati dengan cuma-cuma indahnya hamparan sawah. Sawah terasering yang membutuhkan kerja keras yang melelahkan bagi para petani untuk memahat, mengolah, menanam dan memanen. Bagi mereka yang tidak bekerja di bawah terik matahari, hamparan sawah hijau ini terlihat seperti alami, padahal sebenarnya tidak. Mereka adalah hasil dari hubungan simbiosis antara manusia dan alam di pulau ini; dengan panggilan modernisasi, semakin sedikit petani yang akan menjaga hubungan ini dan pemandangan sawah yang disukai oleh semua orang ini akan mulai berkurang. Lalu bagaimana dengan citra Bali yang kita pikir akan ada untuk selama-lamanya? Ini bahkan belum menyentuh efek yang akan ditimbulkan pada sektor lainnya seperti kedaulatan pangan atau habitat alami.
Lalu bagaimana Bali menemukan keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian? Bagaimana pulau ini dapat memastikan bahwa modernisasi tidak dicapai dengan mengorbankan nilai yang sudah ada — dan siapa yang memutuskan apa sebenarnya nilai yang ada saat ini? Alam dan budaya sejak lama telah menjadi landasan yang melekat pada pulau ini dan ini telah, setidaknya secara retoris, ditegakkan melalui filosofi seperti Tri Hita Karana (menciptakan keseimbangan antara Tuhan, alam dan manusia). Hal ini selalu menjadi visi yang baik, titik yang tepat untuk memulai, tetapi tiga kata ini tidak akan cukup untuk mengekang pola pikir yang berubah dengan cepat dari sebuah pulau, yang mana, seperti sebagian besar dunia, ditarik oleh keriangan, ambisi, dan kecanduan pada daya pikat cara hidup kontemporer.
Sebagian besar dari kita menyukai Bali yang ada saat ini, di mana kenyamanan kehidupan modern berdampingan dengan lingkungan yang alami, baik itu pantai yang indah, hamparan lahan pertanian atau lereng gunung dan dataran tinggi yang menakjubkan. Merupakan sebuah hasrat manusiawi bagi kita untuk ingin menjadi bagian dari keindahan ini, untuk menikmatinya, tetapi juga merupakan hasrat manusiawi yang kuat untuk menguasai dan mengendalikannya. Hal ini sering kali berakhir menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Jadi, secara kolektif, kita menjadi bagian dari pembangunan yang perlahan menggerogoti pemandangan alam yang katanya kita cintai.
Oleh karena itu, cara untuk melestarikan Bali ialah sangat penting untuk mempertahankan nilai yang terkandung di dalamnya – nilai yang dimiliki oleh semua orang. Zona hijau harus ditetapkan secara tegas, insentif dan subsidi untuk industri pertanian harus diberikan, pengawasan terhadap jenis dan ukuran pembangunan, zonasi dan moratorium pada bangunan tertentu harus diperkuat. Selain itu, jalur pertumbuhan ekonomi yang tidak memerlukan perubahan fungsi lahan untuk peningkatan produktivitas harus didorong. Ini bisa dengan cara memikirkan kembali sebuah daerah sebagai situs ekowisata, atau memikirkan kembali arah pengembangan keterampilan orang Bali, di luar industri berbasis jasa dan meningkatkan peluang dalam kreativitas, keahlian, bisnis, atau bahkan ekonomi digital.
Pada akhirnya, orang Bali sendirilah yang harus memutuskan seperti apa pulau yang mereka inginkan dan seperti apa pulau ini di masa mendatang. Imbalan finansial dapat dituai hari ini, terutama di saat-saat sulit, tetapi apakah ini akan menjadi penyesalan besar di masa depan?
Mungkin sesuatu yang klise untuk mengutip Joni Mitchell dengan lagunya Big Yellow Taxi, tetapi kata-katanya menyentuh dan jelas tidak banyak orang yang mengindahkan peringatannya:
They paved paradise and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique, and a swinging hot spot
Don’t it always seem to go
That you don’t know what you got ’til it’s gone
They paved paradise and put up a parking lot
Orang Bali harus menyadari perubahan yang terjadi, jangan sampai menegakkan nilai luhur dari pulau ini hanya ketika semuanya telah hilang dan sudah terlambat.