Seharusnya, pariwisata dan pertanian memang tidak saling meniadakan.
Pada tahun 2012 masyarakat Nusa Penida pernah mereguk nikmatnya menjadi pengerajin kain rangrang. Kala itu harga kain rangrang di pengerajin mencapai Rp 700.000 sementara harga selendang Rp 300.000.
Satu orang pengerajin bisa membuat kain rangrang satu lembar dalam dua hari. Sedangkan bila memproduksi selendang seorang pengerajin bisa menyelesaikan satu lembar sehari.
Dengan biaya produksi berkisar 25 persen untuk membeli benang dan pewarna, pengerajin menikmati harga yang mahal saat itu sekitar kurang lebih satu tahun. Seiring waktu banyak yang memproduksi rangrang, tren berubah, penjualan kain rangrang mulai menurun dan kini jarang di beli konsumen.
Waktu berjalan, manisnya kain rangrang beralih ke sektor pariwisata. Pariwisata memberikan harapan baru. Turis mancanegara dan domestik banyak berdatangan. Penginapan, restoran dan jasa angkutan transportasi ramai digunakan jasanya. Menyerap banyak tenaga kerja. Pundi-pundi dolar pun mengalir deras ke kantong pelaku pariwisata di Nusa Penida.
Tak disangka COVID-19 mewabah ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Sejak awal Maret, Nusa Penida mulai sepi. Banyak warga meratapi kejadian ini. Mereka rata-rata tak menyangka kejadiannya akan seperti sekarang ini.
Harapan Baru
Di tengah pupusnya harapan nikmatnya pariwisata, beberapa orang mulai kembali bertani, menggarap lahan dan menjadi tumpuan warga Nusa Penida untuk hidup. Sambil menunggu harap-harap cemas pariwisata bangkit dan pulih kembali. Walaupun untuk bertani tak dipungkiri Nusa Penida tanahnya tipis, curah hujannya minim, banyak kera yang mengganggu lahan pertanian di Nusa Penida.
Memang sulit bertani mendapatkan hasil yang baik di Pulau yang disebut telur emas Bali ini. Namun, itu bukan berarti tidak menghasilkan sama sekali. Samar-samar di kejauhan ada harapan baru, budidaya tanaman porang. Budidaya tanaman porang diyakini mampu menjawab segala keterbatasan itu.
Bisa tumbuh di Nusa Penida karena suweg bisa tumbuh dan berumbi dengan baik, tak dimakan kera dan juga pemasarannya gampang karena ia produk pangan yang diekspor. Diskusi dengan Paidi si Master Porang dengan para petani di Nusa Penida setidaknya telah memberikan secercah harapan baru itu.
Paidi mengatakan di mana ada suweg tumbuh dan berkembang dengan baik di sanalah porang bisa juga tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Paidi juga mengatakan kera, babi hutan dan tikus tak memakan porang sehingga ia aman dari serangan hama ini. Untuk pemasaran Paidi meyakinkan warga siap membeli karena kandungan porang berupa Glukomanan tiga kali lebih banyak dari rumput laut.
Harga rumput laut yang stabil di tengah pandemi COVID-19 menyebabkan kita juga mempercayai porang juga sama harganya stabil. Karena beberapa warga berinisiatif membudidayakan porang dimulai dari pembibitan.
Saya sendiri, yang sebelumnya aktif mengelola penginapan, kini beralih menjadi petani porang. Saya membuat bibit porang dalam polybag. Tak tanggung-tanggung 50 ribu bibit. Bibit itu akan saya tanam sendiri. Beberapa teman juga minta dibuatkan. Bagi saya, inilah pilihan realistis saat ini.
Pariwisata dan pertanian tidak saling meniadakan. Justru sebaliknya ia saling mendukung. Melihat kondisi hari ini, COVID-19 dan dampaknya tak pasti kapan berakhir kita harus bisa melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah bertani.
Porang menjadi pilihan karena tanaman itu yang pas dengan kondisi Nusa Penida. Namun, saya akan bertani tidak hanya porang juga bertani komuditas lain, yang cocok dengan tanah dan iklim Nusa Penida. Istilahnya dulu rangrang kini kita mencoba membudidayakan porang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.
Walaupun masih tahap pembibitan, setidaknya harapan baru itu ada. Kalau mau berhasil harus berani mencoba. [b]