Suhu Denpasar, Badung dan sekitarnya makin terasa panas.
Banyak warga mengeluhkan. Apalagi ditambah isu tentang suhu ekstrem ekuinoks pada 21 Maret dan 23 September yang juga sempat meresahkan. Meski terkesan seperti sediakala namun kenyataan tidak bisa dipungkiri.
Sirkulasi udara ketika berada di ruangan tanpa AC memang cukup membuat gerah dan pengap. Bahkan pada malam hari sampai pagi, sehingga agak mengganggu konsentrasi berpikir. Gejalanya memang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, seperti curah hujan berkurang. Kadang-kadang mendung tapi tidak turun hujan. Angin pun lebih sedikit. Kering, namun sesekali terasa lembap.
Bali memang salah satu kawasan tropik, tetapi mungkin kualitas panasnya mengalami perubahan drastis. Seperti kurang menyehatkan. Iklim pun menjadi tidak menentu. Yang mengherankan di beberapa kawasan lain hujan lebat. Seperti biasa, sebagian mengakibatkan banjir, longsor dan bencana lainnya.
Tentunya kejadian-kejadian ini sering dikaitkan dengan fenomena alam, penyimpangan alam, pemanasan global, atau bahkan dengan kekuasaan Tuhan sebagai faktor penyebabnya.
Beberapa bulan lalu Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa suhu di wilayah Denpasar dan sekitarnya cukup tinggi dibanding wilayah lain. Pada beberapa minggu ke belakang tercatat temperatur maksimum berkisar 36,5 derajat celcius. Dikatakan bahwa cuaca panas ekstrem yang melanda Bali merupakan imbas dari badai El Nino, yang membuat angin barat tidak stabil. Ini dipengaruhi juga badai Lamina di Australia yang menyebarkan udara panas, sehingga sangat sulit membentuk awan colomunimbus penghasil hujan.
Berdasarkan data badan cuaca Weather Underground, negara Thailand, Laos dan Kamboja juga mengalami cuaca panas tertinggi hingga mencapai 40 – 44,6° C. Singapura juga demikian, didera temperatur tinggi. Sementara di Malaysia, danau-danau mulai mengering dan hasil pertanian menyusut. Sementara itu di sungai terpanjang di Asia Tenggara, Mekong Vietnam, volume air menyusut ke rekor terendah. Thailand, salah satu penghasil beras terbesar dunia, juga memprediksi hasil buruk pertanian akibat cuaca panas dan curah hujan yang minim tahun lalu.
Menurut analisis Kedeputian Klimatologi BMKG, El Nino sebenarnya adalah suatu fenomena alam berupa gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik sekitar equator (garis khatulistiwa) khususnya di bagian tengah dan timur sekitar pantai Peru. Penyimpangan ini mengakibatkan adanya penyimpangan pada kondisi atmosfer, dan akhirnya mengakibatkan pula terjadi penyimpangan iklim. Fenomena El-Nino berpengaruh kuat terhadap iklim di Indonesia, karena bisa memicu masalah lain, seperti gagal panen dan melemahnya ketahanan pangan.
Pusat Prakiraan Iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa selama kurun waktu 1950-2014 telah terjadi 22 kali fenomena El-Nino. Enam di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat. Kejadian-kejadian tersebut biasanya mulai berlangsung pada akhir musim hujan atau awal hingga pertengahan musim kemarau, yaitu antara Mei, Juni dan Juli. Sementara pada 1982/1983 dan 1997/1998 adalah dua El-Nino terhebat yang dampaknya melanda banyak kawasan di dunia.
Amerika dan Eropa misalnya, mengalami peningkatan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar. Sedangkan Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang berakibat kemarau panjang. Pada periode tersebut juga, kasus kebakaran hutan di Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke negara-negara tetangga.
Penyebab umum lain yang cukup mengkhawatirkan adalah Global Warming (GW) atau pemanasan global. Merupakan sebuah reaksi bumi yang dianggap muncul akibat pengeluaran gas karbon dari kendaraan, pabrik, asap rokok, efek rumah kaca, variasi perputaran bumi terhadap matahari, perubahan intensitas matahari dan letusan gunung berapi. Gejala GW dimulai dengan peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Dampaknya bisa menimbulkan pencairan kantong es, hujan ekstrim, banjir bandang, gelombang pasang, gempa bumi, perubahan pola cuaca, merusak poros bumi, bahkan merusak satelit komunikasi dan pemetaan GPS.
Namun terkait berita saling tuding Rusia-Amerika ihwal penciptaan kekeringan, benarkah itu penyebab GW?
Sebagai mayoritas penganut faham predestinasi, terlepas apa pun agamanya, sebagian penduduk Indonesia selalu beranggapan bahwa semua kejadian dan segala peristiwa adalah kehendak Tuhan. Nasib pun telah ditentukan oleh Tuhan. Sebagaimana kita menyimpulkan cepat bahwa peristiwa buruk adalah cobaan dan peristiwa baik adalah anugerah.
Hal ini sangat rentan dan menguntungkan para penganut faham free-will semisal negara-negara maju. Mereka acapkali memanfaatkan lawannya dengan jalan mengelabui dan memanipulasi peristiwa, bahkan merekayasa fenomena alam dan menciptakan bencana alam. Sehingga segalanya seolah-olah tampak alamiah.
Di luar sana kita tidak tahu bahwa sebenarnya manusialah yang telah berbuat, bukan Tuhan. Dalam hal ini mereka menjadikan dirinya sebagai Sanghyang Widhi Wasa, bisa memilih dan mengubah nasib namun berkehendak bebas semaunya tanpa etika dan moral. Lalu bagaimana membedakan mana perbuatan manusia dan mana perbuatan Tuhan? Sedangkan kita berada ‘jauh’ dari pengamatan.
Bagi penganut panteisme, apakah alam bergerak dengan sendirinya atau ada yang menggerakkan? Jangan sampai pembenaran teori evolusi Darwin dalam pemahaman Nietzsche tentang seleksi alam dijadikan ukuran kebenaran. Karena kita adalah manusia, bukan sekelompok burung yang bertarung (survival of the fittest). Dia mengatakan bahwa prinsip hidup semua hewan dan manusia adalah perang. Yang lebih kuat dan lebih yang lebih berkuasa akan dapat dapat bertahan.
Alam selalu memihak manusia yang lebih kuat, bergerak ke arah terwujudnya manusia sempurna. Dengan kata lain bahwa manusia tidak membutuhkan rasa kasihan, sifat menyayangi, mengasihi dan mencintai, sifat ingin membantu dan menolong sesama kalau ingin bertahan hidup. Jadi, apa atau siapa alam yang dimaksud?
Dan alangkah baiknya untuk sementara kita meminjam dulu teori determinisme (kausalitas) untuk mengungkap masalah ini. Bahwasannya semua kejadian disebabkan oleh sesuatu dengan faktor-faktor tertentu di dalamnya. Benar atau tidaknya teori ini kita serahkan kepada keyakinan dan pemahaman masing-masing, siapa sebenarnya yang menciptakan penyimpangan alam ini.
Teror Bencana
Di tengah berita-berita seputar proyek Global Climate Change (perubahan iklim dunia) dan kesepakatan-kesepakatan konferensi yang sarat akan muatan jaringan mafia global di sektor energi yang terbarukan (Green Global Economy), selayaknya kita perlu mencurigai sisi lain yang ada sangkut-paut dengannya. Meskipun itu sebatas kabar burung, opini atau kajian kontroversi yang dikutip dari para penulis tidak terkenal, beberapa situs maya dan literatur-literatur picisan. Karena hal itu bisa dijadikan bahan untuk mengungkap sebuah fakta.
Dalam dunia geofisika terdapat istilah ‘Weather Modification Technology’ atau Teknologi Rekayasa Cuaca. Ia merupakan upaya untuk mengubah tingkat curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Rekayasa tersebut dikenal pula sebagai geo-engineering yang tujuan utamanya untuk mengatasi pemanasan global dengan cara menghilangkan atau mengurangi kandungan karbondioksida di atmosfer.
Rekayasa cuaca juga dipercaya dapat menanggulangi banjir dengan cepat. Tetapi di satu sisi ia bisa berdampak negatif seperti meningkatkatnya suhu, karena sedikit awan yang menghalangi sinar matahari. Apalagi kalau dilakukan setiap hari selama periode hujan lebat, kemungkinan besar akan memutus siklus air. Dampak lain adalah naiknya permukaan air laut, karena siklus air pun tidak berjalan normal.
Weather Modification atau Weather Modding sebelumnya disebut sebagai weather control, karena awalnya (pada era 50-an) teknologi tersebut benar-benar digunakan untuk mengendalikan cuaca dan mengubah aktivitas alam seperti penyemaian awan, pencegahan badai dan angin topan. Salah satu efeknya akan mempengaruhi ionosfer dan stratosfer menjadi hangat, menciptakan awan dan merubah iklim.
Di Amerika, aktivitas tersebut didukung oleh High Frequency Active Auroral Research Program (HAARP), yaitu suatu program penelitian untuk mempelajari lebih jauh lapisan ionosfer (bagian atmosfer yang terkena radiasi matahari), juga untuk menyelidiki potensi pengembangan teknologi ionospheric, komunikasi radio dan keperluan keamanan (deteksi rudal). Sejak 1990, program tersebut dilakukan dan dibiayai oleh Angkatan Udara AS, Angkatan Laut AS, Universitas Alaska dan Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA). Selain itu, mereka juga mengelola High Power Auroral Stimulation (HIPAS) di Pleasant Valley.
Sebenarnya teknologi HAARP ini sudah berkembang dengan nama lain sejak tahun 1960 – 1970an yang dirintis oleh Rusia dan Cina. Fasilitas yang sama milik Rusia bernama Sura Ionospheric Heating Facility di Vasilsursk. Sedangkan Eropa memiliki European Incoherent Scatter Scientific Association (EISCAT) yang terletak di Tromso, Norwegia. Kemudian Jepang, India, Peru, Puerto Rico, dan Skotlandia disinyalir juga mempunyai perangkat tersebut. Sementara Malaysia telah melakukan kontrak dengan perusahaan modifikasi cuaca Rusia untuk menciptakan sebuah badai sebagai penghalau asap dan kabut.
Akan tetapi HAARP dianggap dapat melawan sifat alamiah alam semesta. Oleh karenanya sejumlah aktivis berspekulasi tentang adanya motif dan kemampuan lain pada teknologi tersebut. Mereka bahkan menuduhnya sebagai penyebab bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, gempa bumi, pemadaman listrik besar-besaran, jatuhnya beberapa penerbangan, dan penyakit sindrom perang. Mereka juga menduga bahwa HAARP dapat memodifikasi cuaca, menonaktifkan satelit dan mengendalikan pikiran manusia, serta digunakan juga sebagai senjata elektromagnetik.
Hal ini diperkuat juga oleh Edward Snowden, mantan teknisi Badan Intelijen Amerika (CIA), yang membocorkan rahasia-rahasia vital Pentagon dan Badan Keamanan Nasional AS. Menurutnya, program tersebut bukan hanya untuk mempelajari fenomena alam di ionosfer, mengatur cuaca dan memicu bencana alam, ternyata HAARP difungsikan juga sebagai alat pembunuh dan pengendali pikiran.
Sejumlah ilmuwan lingkungan dunia mengkhawatirkan juga adanya proyek rahasia di balik program rekayasa cuaca. Mereka menganggap CIA telah menyalahgunakan weather control dalam program HAARP sebagai senjata pemusnah masal. Karena dalam tujuan yang sebenarnya rekayasa tersebut hanya dilakukan di beberapa titik permukaan bumi. Menurut mereka apa yang akan dikembangkan CIA jauh lebih besar. Dampaknya akan sangat mengerikan. Proyek ini bertanggungjawab atas beberapa gempa bumi hebat seperti di Sichuan China (12 Mei 2008/7,8 SR), di Eureka California (9 Januari 2010/6,5 SR), di Haiti (12 Januari 2010/7,0 SR), dan di Chile (27 Februari 2010/8,8 SR), yang merupakan tes uji coba senjata seismik oleh Armada Keempat Amerika.
Profesor Alan Robock, seorang klimatologis Amerika, mengungkapkan bahwa Amerika sudah lama mendesain suatu teknologi untuk memanipulasi cuaca. Bahkan dia meyakini bahwa CIA telah menanamkan banyak dana terkait rekayasa iklim. Pada konferensi tahunan di San Jose, Robock mengatakan juga bahwa cuaca telah menjadi senjata sejak lama. Dia mengingatkan rekayasa cuaca seharusnya digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kelangsungan hidup manusia, bukan untuk peperangan.
Dokumen pemerintah Inggris menyatakan bahwa satu dari enam percobaan militer di Stasiun Orford Ness di Suffolk dilakukan untuk membuat awan buatan. Tujuannya untuk mengganggu serangan udara Pasukan Jerman pada Perang Dunia I. Namun, percobaan itu gagal. Tapi konsep tersebut akhirnya menjadi kenyataan pada 1967, ketika pemerintah AS melalui Operasi Popeye berhasil melakukannya dalam perang Vietnam. Amerika mampu meningkatkan curah hujan dengan awan buatan sebanyak 30 persen guna menghambat gerak pasukan Viet Kong pimpinan Ho Chi Minh.
Jerry E. Smith menegaskan dalam bukunya Weather Warfare, bahwa proyek tersebut diyakini telah berhasil menghambat operasi militer Vietnam Utara. Sama halnya ketika CIA pernah juga merekayasa curah hujan di Kuba, membuat hujan deras yang panjang untuk menghancurkan panen gula.
Adapun kontroversi HAARP sebagai senjata telah muncul sejak 1996 lewat sebuah buku Angels Don’t Play This HAARP Advances in Tesla Technology yang ditulis Dr. Nick Begich, Jr. dan Jeane Manning. Buku tersebut merupakan hasil dari pencarian kebenaran mereka tentang konsep-konsep Nikola Tesla (fisikawan Amerika) pada proyek Pentagon senilai 30 juta dolar. Proyek tersebut secara halus dinamai HAARP, yang kenyataannya mampu menembakkan lebih dari 1,7 gigawatt daya radiasi ke ionosfer sehingga mendidihkan bagian atas atmosfer.
Setelah memanasi dan mengganggu ionosfer, radiasi tinggi akan memantul kembali ke bumi dalam bentuk gelombang panjang yang menembus tubuh, tanah, dan lautan. Jika diubah dengan frekuensi lainnya, maka gelombang radio tersebut dapat terpantul oleh ionosfir dan kembali lagi ke bumi untuk menciptakan gempa bumi atau bahkan dapat mempengaruhi pikiran manusia.
Salah satu stasiun HAARP di dekat Taman Nasional Wrangell-Saint Elias di Gakona, Alaska, terdiri dari 360 antena. Masing-masing antena menghasilkan daya pancar minimal sebesar 10.000 watt. Dengan teknologi mutakhir sebagai senjata masa depan, HAARP dapat pula digunakan sebagai perubah keadaan atmosfir, pembuat efek iklim dan cuaca yang akan mengakibatkan kekekeringan, hujan, banjir, bersalju, angin kencang, tornado, badai dan topan.
Yang mengerikan lagi, pancaran tersebut mampu juga mengubah perilaku manusia menjadi brutal, kasar, sadis dan gila. Cara kerjanya hampir mirip pemancar radio atau TV, dimulai dari frekuensi yang terendah LV atau VLF sampai ke frekuensi tinggi HF, VHF, UHF.
Untuk menciptakan efek guncangan seperti gempa bumi dan letusan gunung pun dilakukan dengan cara yang sama: frekuensi tetap ditembakkan ke atmosfir, lalu memantul kembali ke bumi. Gelombang radio tersebut kemudian dapat masuk ke tanah hingga ke kerak bumi. Bahkan kekuatan gelombang HAARP mampu menembus bumi, melebihi kedalaman samudera. Bagi para penjelajah tambang, pada kedalaman tertentu diyakini sebagai pertanda baik untuk menemukan minyak dan kandungan lainnya dalam bumi.
Snowden menyebutkan bahwa stasiun penelitian HAARP sebenarnya digunakan untuk menghentikan atau memanipulasi para penentang skema kapitalisme global pada skala jutaan orang yang dianggap menyimpang dan bertindak subversif dari sudut pandang jaringan kapitalis dunia. Dikatakannya juga bahwa HAARP memproyeksikan gelombang radio dengan daya ultra tinggi. Mereka beroperasi pada frekuensi gelombang elektronik yang sama dengan truncus encephali (batang otak), yang dapat secara selektif menginduksi kematian dengan sebab-sebab yang tampak alamiah. Termasuk serangan jantung atau stroke.
Isu-isu HAARP mulai hangat diperbincangkan di Indonesia setelah tragedi tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 dan letusan Gunung Merapi Yogyakarta pada 6 November 2010.
Terutama bencana besar di Aceh tersebut, mengindikasikan ada hubungannya di antara itu. Pertama, dilihat dari efek HAARP di Alaska terhadap aurora (pancaran cahaya) muncul di atas atmosfer langit utara bumi (Borealis), beberapa jam sebelum terjadi gempa berskala 9,1 SR. Kedua, kejanggalan pada hasil pengamatan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang beberapa kali mengubah data magnitudo (skala kecerahan) dan posisi pusat gempa, karena tidak adanya peringatan awal berupa frekuensi elektromagnetik pada seismograf (pengukur dan pencatat gempa) di Indonesia dan India.
Ketiga, dilihat dari para korban gelombang Tsunami yang ditemukan tewas, mereka terbujur kaku dengan kulit berwarna hitam legam. Menurut ahli forensik, kematian akibat tenggelam tidak akan mengubah warna kulit sedemikian cepat dan menghitam. Sedangkan kondisi mayat korban Tsunami Aceh terlihat seperti korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Sebagian negara Eropa dewasa ini diduga sudah menggunakan perlengkapan khusus yang mampu mencegah awan hujan. Tujuannya adalah menciptakan permusuhan dan peperangan atas masalah air. Padahal dalam Perjanjian PBB 1978 telah dicantumkan larangan penghancuran biota (flora dan fauna sebagai kesatuan ekologi) dan penggunaan modifikasi lingkungan dalam perang. Bahwasanya mengubah iklim dengan alat pengendali cuaca dapat menghancurkan pertanian suatu negara dan dapat memusnahkan seluruh sistem ekologi.
Kita pun bisa menilai dan membandingkan ‘Perang Cuaca’ tanpa kode etik itu jauh lebih buruk daripada Pertempuran Chibi dalam film Red Cliff atau juga perjuangan Genghis Khan dalam film Mongol, di mana salah satu pihak memanfaatkan kondisi cuaca alamiah untuk menjatuhkan lawannya. Seni berperang yang patut diapresiasi!
Bisa jadi, perang antar negara di masa depan adalah memperebutkan air. Dan itu sudah terjadi pada contoh kecil dalam kehidupan bermasyarakat, seperti konflik antar-petani dalam mendapatkan irigasi. Kita masih bisa hidup tanpa pariwisata. Tetapi tanpa air, apa jadinya dunia ini? Semoga tidak terjadi kerusuhan ketika rebutan air galon di warung.
Dari uraian-uraian tadi tadi dapat disimpulkan bahwa negara-negara adidaya beserta antek anteknya telah berhasil memanipulasi cuaca. Dalam beberapa tahun mendatang, di beberapa belahan dunia diperkirakan akan mengalami kekeringan yang lebih dahsyat. Kemungkinan besar, yang menjadi sasaran adalah kawasan yang dinilai berpotensi membangun suatu peradaban dan kebudayaan dunia, serta memiliki sumber daya alam yang melimpah. Atau mungkin juga target utamanya adalah negara-negara yang menentang dan mengancam Pemerintahan Satu Dunia (One World Government). Inilah tugas BMKG dan cendikiawan untuk mengungkap isu-isu kejadian alam sebagaimana mengungkap isu tentang lazer yang bisa memecah awan. [b]