Selama tahun 2012, ada 9 buku sastera Bali terbit.
Jumlah ini sama dengan tahun sebelumnya, ditulis oléh tujuh pengarang. Karya-karya tersebut adalah roman réligi Dr. Ratini dan Ngrestiti Ati karya Nyoman Manda; Sentana (roman) dan Méong Garong (kumpulan sajak) karya Madé Sugianto; Bégal (cerita péndék) karya IDK Raka Kusuma; Gancaran Mersun (cerita péndék) karya Wayan Paing, dan Mekel Paris (cerita péndék) karya IBW Kenitén. Dua lagi merupakan kumpulan puisi yaitu Léak Kota Pala karya IGP Samar Gantang dan Kabinét Ngejengit karya DG Kumarsana.
Sesuai permintaan pengarangnya, kedua karya Nyoman Manda tidak dinilai untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2013. Nyoman Manda pernah mendapat hadiah “Rancagé” tiga kali, satu untuk jasa (1998), dua untuk karya (2003 dan 208). Beliau memberikan kesempatan kepada sastrawan muda Bali untuk memperoléh Hadiah “Rancagé”.
Roman péndék Sentana karya I Madé Sugianto mengisahkan percintaan dua remaja berbéda kasta. Tokoh laki-laki, Kadek Subhakti, dari kastra rendah (jaba), sedang Ida Ayu Déwi Anjani berkasta tinggi (brahmana). Ketika Dayu hamil, dia dilarang menikah oléh keluarganya karena perbédaan kasta. Konflik terjadi sehingga Dayu mau bunuh diri. Upaya bunuh diri bisa dicegah. Tapi pada akhir cerita, Dayu yang hendak dijodohkan dengan saudaranya yang kastanya sama, tiba-tiba menghilang.
Téma konflik kasta banyak diangkat sasterawan Bali sejak 1920-an sampai sekarang. Kelebihan karya Madé Sugianto ini ialah karena dia memasukkan gagasan pernikahan pada gelahang (saling memiliki), yakni kombinasi patrilinéal dan matrilinéal dengan tujuan akhir berbagi sentana (keturunan). Gagasan pada gelahang déwasa ini banyak dibahas di Bali sebagai solusi bagi keluarga yang sama-sama mempunyai anak tunggal yang diharapkan jadi penerus keturunan. Roman Madé Sugianto termasuk karya awal yang menjadikannya sebagai téma sastera.
Tidak Rampung
Dilukiskan dalam bahasa yang lancar, penuh métafora dan kias-kias indah dalam bahasa Bali, roman péndék ini sesuai sebagai bacaan remaja, umpan baik guna mendekatkan remaja kepada sastera Bali modéren. Walau akhir cerita terasa tidak rampung, karena Dayu tidak ada di kamarnya, entah ke mana, namun jelas roman péndék ini berhasil memperkaya wacana publik tentang persoalan kasta dan solusi pernikahan saling memiliki, pada gelahang.
Kedua belas cerita péndék karya IBW Kenitén yang dimuat dalam Mekel Paris tokoh-tokoh utamanya orang asing seperti wanita Paris, lelaki Belanda, pria Amérika dan wanita New Zealand. Nama tokoh utama itu dijadikan judul cerita.
Latar belakang meréka beragam. Ada yang peneliti, ada wisatawan yang jatuh cinta dan tinggal di Bali.
Tidak semua berakhir dengan bahagia, seperti kisah pernikahan Mekel Paris dengan Ida Bagus Rai. Meréka saling mencintai. Mekel Paris yang bernama asli Christina tekun belajar bahasa, budaya dan adat Bali. Tapi karena pernikahannya tidak memberikan keturunan, maka Ida Bagus Rai disuruh oléh orangtuanya yang menjadi pendéta menikah dengan gadis lain untuk memastikan ada keturunan sebagai pendéta.
Cerita-cerita yang dimuat dalam Bégal karya IDK Kusuma mengangkat berbagai téma kompléksitas kehidupan manusia baik di pedésaan maupun di perkotaan yang menggiring orang untuk melakukan tindakan kriminal. Dalam “Bégal” tokohnya terpaksa menjadi perampok sebagai cara balas dendam kepada lelaki yang tak mau mengakuinya sabagai anak; dalam “Bui” diceritakan konflik individu yang diwarnai ketegangan sosial politik dan berujung dengan kekerasan. Ceritanya péndék-péndék dengan perkecualian satu-dua alur kilas baik, kebanyakan alur liniér.
Gancaran Mersun karya Wayan Paing, memuat cerita-cerita yang punya kekhasan lain yaitu judul ceritanya terdiri dari satu dua kata, seperti “Bini”, “Redite”, “Mersun” dll. Kebanyakan kisahnya terjadi di pedésaan, suasana kekerabatan yang sedang mengalami perubahan karena kemajuan zaman. Kelemahannya terdapat pada struktur yang lebih dekat kepada ésai atau skétsa kehidupan, kurang kuat sebagai cerita.
Kumpulan puisi Léak Kota Pala karya IGP Samar Gantang memuat 48 sajak yang terutama bertéma “sétan” yang seperti mantra, penuh dengan éksprési anéh, tujuannya menimbulkan kesan magis dan sesekali ironis menimbulkan tawa. Di samping itu ada juga yang berupa kritik sosial seperti “Sundel Tanah” yang melukiskan kekecéwaan publik karena daérah agraris berubah menjadi hutan beton karena tanahnya habis dijual.
Sajak-sajak yang dimuat dalam Kabinét Ngelengit karya DG Kumarsana terutama merupakan kritik yang ditujukan kepada aparat culas, penipu, mengatasnamakan rakyat tapi hanya menguntungkan diri sendiri. Dalam “Kabinét Ngejengit 3” misalnya diungkapkan bagaimana tokoh Sengkuni yang culas berganti perangai menjadi ksatria, memuji penguasa agar dapat kedudukan.
Sajak-sajak DG Kumarsana cukup padat, menggunakan dengan baik mitos-mitos dan tokoh dunia pewayangan untuk mengartikulasikan sindiran.
Sajak-sajak Madé Sugianto yang dimuat dalam Méong Garong mempunyai pola persajakan dengan akhir bunyi berirama yang kedengaran indah. Témanya tentang cinta, keindahan, spiritulitas dan juga kritk sosial. Ada yang berjudul “Makelar Kasus” yang mengasosiasikan pembaca kepada Gayus (gayas gayus mamuncak markus). Yang menjadi soal ialah karena fokus Madé Sugianto pada persamaan bunyi akhir baris, maka kemampuannya untuk mendédah téma kadang terhambat, sering menjadi kurang dalam.
Kekinian
Setelah dipertimbangkan dengan mendalam maka yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” sastera Bali 2013 buat karya adalah Sentana, roman péndék karya I Madé Sugianto terbitan Pustaka Eksprési.
I Madé Sugianto pernah mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” sastera Bali untuk jasa tahun 2012. Kepadanya akan diserahkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2013 sastera Bali untuk karya berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).
Sedangkan Hadiah Sastera “Rancagé” sastera Bali untuk jasa tahun 2013 karena jasanya mengembangkan bahasa dan sastera Bali dihaturkan kepada I Nyoman Suprapta kelahiran Dénpasar 11 Novémber 1962.
I Nyoman Suprapta pernah bekerja sebagai guru agama (1981-1997). Namun, Suprapta kini memusatkan perhatian pada penulisan karya puisi tradisional Bali jenis geguritan. Sejak 2000 sampai sekarang, Suprapta sudah menulis 100 judul geguritan, 80 di antaranya sudah diterbitkan sebagai buku dalam seri ‘Pustaka Gita Santi’ (buku nyanyian suci) dengan judul tambahan ‘tuntutan ngartos geguritan’ (pedoman mengartikan geguritan).
Buku yang sudah diterbitkan antara lain Geguritan Maya Danawa, Geguritan Watugunung, Geguritan Siwaratri, Geguritan Pancadatu, Geguritan Dalem Balingkang, dan Geguritan Putra Sesana. Inti cerita geguritan-geguritan itu diambil dari kisah-kisah yang sudah dikenal masyarakat baik dalam tradisi lisan maupun berupa téks klasik.
Selain menggubah kisah-kisah yang sudah ada, Suprapta juga menulis geguritan bertéma baru seperti Geguritan Narkoba dan Geguritan Sad Atatayi (Tembang tentang Enam Jenis Pembunuhan). Karya dengan téma lama ataupun téma baru sama-sama untuk menyampaikan ajaran moral, étika, dan spiritual. Orisinalitas karyanya bukan terletak pada cerita tetapi pada tafsir atas kisah-kisah klasik yang disesuaikan dengan kontéks kekinian.
Buku-buku itu terdiri dari 30-35 bait pupuh (tembang), tebalnya pun sekitar 35 halaman, menggunakan sekitar 10 macam pupuh seperti semarandana, ginada, pangkur, dan sinom. Bukan dimaksudkan untuk menyampaikan cerita yang kompléks dengan plot berlapis, tetapi untuk ditembangkan dalam kegiatan mocopotan atau gita santi.
Gita santi dalam tradisi Bali adalah seni melantunkan tembang dengan irama indah dan memberikan arti baris demi baris atas bait pupuh dengan bahasa yang lugas dan seni. Kegiatan gita santi juga diiringi dengan gamelan sehingga tampil seperti pertunjukan seni suara. Untuk satu buku, bisa diselesaikan dalam waktu dua jam.
Buku-buku geguritan karya Suprapta banyak yang dicetak ulang dan beredar di kalangan kelompok gita santi (pesantian) di Bali dan juga di kalangan warga Bali di perantauan. Selain itu, Nyoman Suprapta juga memiliki kelompok gita santi bernama Sanggar Sunari dengan anggota anak-anak dan remaja yang mengadakan pentas-pentas untuk upacara atau ritual.
Suprapta juga sering membina kelompok gita santi sekolah-sekolah dengan mengajarkan tembang dan seni mengartikan tembang. Usaha Suprapta membina bahasa dan sastera Bali dalam beberapa tahun belakangan ini patut juga dicatat.
Sebagai penghargaan kepada usaha membina dan mengembangkan bahasa dan sastera Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” 2013 sastera Bali untuk jasa dihaturkan kepada I Nyoman Suprapta berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).
Hadiah Sastera Rancage merupakan penghargaan untuk penulis sastra daerah, seperti Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. [b]