Wayan Suardana yang akrab dipanggil Gendo termasuk satu dari sedikit aktivis di Bali yang masih setia di jalur advokasi, terutama di isu lingkungan. Saat ini, pengacara alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Udayana (Unud) ini juga aktif di organisasi lingkungan hidup Walhi Bali sebagai Ketua Dewan Daerah.
Bersama Walhi Bali dan Walhi Nasional, Gendo dan kawan-kawannya sedang menggugat Gubernur Bali Made Pastika di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dengan pemberian izin kepada PT Tirta Rahmat Bahari. Mereka juga sedang mengadukan Gubernur Bali ke Komisi Informasi Bali karena Gubernur tidak memberikan informasi terkait dengan pemberian izin tersebut.
Dunia aktivisme sudah jadi pilihan Gendo sejak mahasiswa. Dia termasuk salah satu pimpinan aktivis mahasiswa pada 1998 baik di gerakan mahasiswa ataupun organisasi kampus. Gendo pun pernah jadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Unud dan Sekjen Komite Sentral Mahasiswa (KOSMA) Unud. Gara-gara terancam drop out dari FT, dia pun pindah ke FH. Dia pernah pula jadi Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali.
Gendo pernah dipenjara selama enam bulan pada tahun 2005 karena membakar bendera foto Susilo Bambang Yudhyono (SBY) ketika dia dan aktivis mahasiswa lainnya berdemo menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dia pernah pula dipukuli preman pada November 2012 lalu. Tidak jelas apa motif pemukulan tersebut namun Gendo yakin itu terkait penolakan dia dan kawan-kawan Walhi Bali terhadap berbagai rencana pembangunan di Bali yang tidak memedulikan lingkungan.
Kami berteman baik sejak masih mahasiswa hingga saat ini. Saya sebagai jurnalis (sejak di pers mahasiswa) dia sebagai aktivis (sejak mahasiswa). Kami terlibat bersama dalam beberapa advokasi di Bali, soal lingkungan ataupun isu hak asasi manusia termasuk di kalangan orang dengan HIV dan AIDS serta pengguna narkoba suntik.
Di luar urusan gawat-gawat itu pun kami tetap bersahabat dan kadang-kadang saling curhat. Karena itu agak janggal juga ketika saya wawancara teman sendiri ini Sabtu lalu. Tapi ya tak apalah. Toh, Gendo memang layak dijadikan bahan wawancara panjang. Menurut saya, dia satu di antara sedikit aktivis di Bali yang tersisa, masih punya daya tahan dan setia di jalur perlawanan. Berikut obrolan dengan Gendo tersebut.
Apa yang kamu cari dengan tuntutan kepada Gubernur Bali ini?
Kami ingin membuka tabir yang selama ini ditutup-tutupi bahwa pemberian izin pengelolaan wisata alam di kawasan tahura (taman hutan rakyat) itu tidak sungguh-sungguh untuk pelestarian lingkungan mangrove. Banyak asas yang dilanggar. Tak hanya transparansi. Dalam penerbitan SK ini, Gubernur tidak transparan karena tidak pernah mengumumkan kepada masyarakat sekitar tahura. Masyarakat pendamping dan kepala desa tidak pernah tahu menahu soal itu.
Asas lain adalah kepatutan. Gubernur mengeluarkan moratorium izin akomodasi pariwisata dari Desember 2010 tapi faktanya dia tetap menerbitkan izin pembangunan akomodasi pariwisata. Kami curiga SK ini nanti bisa jadi land banking, untuk mendapatkan dana dengan mengagunkan kawasan dari PT Tirta Rahmat Bahari (TRB) kepada pihak lain. Apalagi modal mereka cuma Rp 200 juta.
Jadi kalian ingin Gubernur mencabut SK tersebut?
Ya. Pertama, Gubernur membatalkan dan kedua mencabut SK tersebut. Tapi yang lebih penting adalah menyingkap tabir kebijakan gubernur Bali selama ini.
Kenapa kalian juga menggugat pembangunan tol?
Itu juga sama. Dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang kami pelajari, pembangunan tol ini melanggar AMDAL. Satu tidak pernah ada klausul mengenai pengerjaan tiang pancang dengan pengurukan limestone meskipun hanya sementara. Pengurukan itu ada ketika pihak Jasamarga melakukannya kemudian demi mengejar target selesai untuk kepentingan APEC 2013.
Awalnya pengurukan sempat berhenti ketika kami protes tapi mereka kan ndableg. Gubernurnya juga ndableg. Sebagai pimpinan daerah, Gubernur Bali seharusnya punya kewenangan untuk menghentikan bahkan menyita semua alat tersebut karena tidak mematuhi AMDAL. Tapi dia tidak mau melakukan. Alasannya pengurukan dengan limestone itu ada di AMDAL. Padahal berdasarkan kajian kami tidak ada pengurukan itu.
Yang kalian persoalkan jalan tol atau pengurukan limestone?
Pembangunan jalan itu pun sebenarnya persoalan. Cara pandang kami apakah masalah kemacetan di Bali selatan itu solusinya pembangunan jalan. Mengacu kepada Jakarta, pembangunan jalan tol tidak bisa menyelesaikan persoalan kemacetan. Jalan di sana tiga tingkat dengan ratusan atau bahkan ribuan ruas. Tapi masih juga macet. Artinya pembangunan jalan tol tetap bukan solusi strategis atau visioner untuk Bali yang kecil ini. Kalau jalan keluar instan iya.
Cuma lepas dari itu, masyarakat kan sudah kadung dicuci utaknya. Padahal jalan tol sendiri tidak ada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Peraturan Daerah (Perda) RTRW tidak mengatur jalan tol. Tapi demi kepentingan APEC, terbit Perpres tentang pembangunan jalan tol sekaligus membuat Perda RTRW tidak berlaku.
Yang paling parah itu, ada inpres moratorium yang menyatakan bahwa kawasan Tahura itu kawasan moratorium izin. Dan jalan tol itu tidak diperbolehkan. Dia bukan pengecualian. Itu kan ada sekitar 4 hektar lahan dipakai untuk pembangunan jalan tol.
Ketiga, pengurukan sekarang itu melanggar AMDAL. Ada pencemaran air yang melebihi mutu baku.
Jadi kalian menggugat pembangunan jalan tol?
Awalnya begitu. Tapi karena sudah ada euforia masyarakat bahwa jalan tol bisa menjawab kemacetan akhirnya Walhi tidak terlalu bersuara. Kami tidak dalam posisi menerima, tapi kalau masyarakat sudah menerima ya biarlah. Kami tidak dalam posisi menolak tapi juga tidak menerima.
Dari dua kasus ini, TRB dan JDP, apa yang kamu tarik dalam konteks pembangunan di Bali?
Aspek lingkungan jadi cuap-cuap pejabat saja.
Kenapa kamu harus melakukan semua ini. Apa motivasimu?
Tidak harus, sih. Kita harus sadar karena masuk organisasi lingkungan ya harus melakukan itu. Kalau kami diam, orang justru bertanya, ada apa. Kami melakukan saja banyak yang bertanya apalagi kalau diam.
Ini soal hak dan kebetulan kami rela untuk membagi waktu melakukannya. Bukan soal harus apa tidak sih. Karena gamblang sekali di depan mata.
Tapi isu lingkungan ini kan hal agak berbeda. Kamu dulu aktif di advokasi isu demokrasi dan HAM, sekarang fokus di lingkungan?
Tidak ada yang berubah. Dari dulu kita juga ngomong lingkungan. Cuma ada yang melihat isu lingkungan sebagai sesuatu yang eksklusif. Kalau tidak di Walhi, kita tidak punya cap untuk ngomong tentang lingkungan. Kalau tidak di PBHI tidak boleh ngomong tentang HAM (hak asasi manusia). Padahal ya tidak juga. Lingkungan kan juga bagian dari HAM. Waktu di PBHI juga kami ngomong tentang lingkungan. Malah waktu masih mahasiswa juga advokasi warga Serangan (yang digusur karena pembangunan pariwisata oleh PT BTID).
Sebetulnya tidak banyak yang berubah, cuma karena stempelnya sekarang organisasi lingkungan jadi ya dilihat hanya di lingkungan.
Bagaimana kesadaran perlawananmu itu muncul?
Sejak mahasiswa ketika bertemu orang-orang “gila” di Fakuktas Teknik (Universitas Udayana) yang mengajari kami perlawanan. Kami diajari nyanyi aneh-aneh, demo kampus. Dan karena aku orangnya memang bandel jadi ya suka pas diajak begitu. Hobi saja.
Ketika akhirnya memilih jalan aktivisme, pemicunya apa?
Karena asyik aja. Karena hobi. Terlalu tinggilah kalau dibilang karena idealisme.
Tapi kan ada momentumnya?
Ya itu. Aku merasa lebih banyak bermanfaat itu setelah ketemu teman-teman di kampus. Merasa cocok dengan jiwa karena aku dulu dididik oleh keluarga dengan keras. Penuh tekanan dari paman-pamanku. Jadi ya memang aku suka memberontak sejak kecil.
Bagaimana persisnya memberontak itu?
Aku dulu tidak punya masa kecil. Main tidak boleh. Aku harus nyapu pagi-pagi. Anak SD lain bajunya dicuciin, aku nyuci sendiri, nyeterika sendiri. Pokoknya sebelum sekolah harus nyapu halaman rumah cukup luas waktu. Didikannya ala militer. Makanya berontaknya di luar rumah.
Di rumah sih jadi anak baik. Tapi kalau di luar bandel. Suka nginap di luar rumah. Bagiku itu ternyata caraku melawan.
Rumah bukan tempat nyaman. Kalau aku salah dipukul paman. Mereka jadi bapak-bapakku. Aku kan tidak punya ayah sejak kecil. Ayahku meninggal ketika aku baru dua tahun. Aku sama ibuku saja. Ibuku pun tidak pernah di rumah karena sejak pagi bekerja di pasar.
Kamu pernah cerita kalau ibumu yang membentuk kamu?
Bukan ibuku tapi keluargaku. Mereka mendidikku ala militer. Main fisik. Dari kecil dipukul. Karena itu ingin melawan. Akhirnya inisiatif ikut karate sendiri. Rumah tidak nyaman sehingga harus cari alasan-alasan. Ikut pramuka, belajar nari. Pokoknya mending keluar rumah. Lama-lama terbentur karakter keras sejak kecil.
Kalau ibuku sendiri menjadi orang yang aku idolakan bukan karena dia melahirkan tapi karena dia itu pekerja keras. Sejak kecil ibuku sakit-sakitan. Sampai putus sekolah karena sakitnya. Ibuku sakit kulit sampai harus gundul. Dia putus sekolah karena malu. Berobat tidak sembuh-sembuh, akhirnya dia berdagang. Dia tidak kawin lagi. Dia mengurus aku saja.
Dia buta huruf. Dia cuma tahu angka. Itu saja modalnya. Dia bisa jualan dan membiayai adik-adiknya sampai punya pendidikan tinggi dan usaha. Itu luar biasa hebatnya. Tiap minggu dia harus ke Denpasar untuk membeli obat. Susah mencari perempuan yang punya karakter begitu. Ibuku meninggal pada 11 Oktober 2000.
Ketika memutuskan perlawanan terhadap negara, apa momentumnya?
Ya itu, ketika jadi mahasiswa. Baru masuk sudah diajari angkat tangan kiri. Itu sesuatu yang aneh pada saat itu. Diajak nyanyi Garuda Burungnya Mana, melawan Menwa, gaul dengan Sastra, bertemu orang seperti Roberto Hutabarat, Adolf (Tapilatu), dan lain-lain. Itu semua membentuk secara perlahan.
Waktu itu kami melawan dominasi kampus, rektor dan senat mahasiswa. Momentum keluar kampus ya pada 14 Februari 1998, ketika kami menggulingkan senat mahasiswa Unud.
Bagaimana proses penggulingan senat mahasiswa waktu itu?
Kampus kan awalnya sangat dikuasai rektor. (Pers mahasiswa) Akademika ditekan. Pada saat krisis moneter anggota senat malah studi banding. Itu yang membuat mahasiswa waktu itu gerah. Tidak tahu siapa yang mulai, ketika senat kosong karena ditinggal studi banding, akhirnya kami duduki. Kami deklarasikan Senat Mahasiswa Unud Reformasi.
Situasinya tegang banget. Malamnya kami diserbu preman. Akhirnya kami bikin tenda di luar. Ada spanduk SM Unud Reformasi. Terus setelah itu aksi-aksi, meluas, meluas, akhirnya kami mendapat momentum. Situasinya cukup genting saat itu. Itu kan peristiwa politik kampus yang bisa dibilang luar biasa. Jangan pakai ukuran sekaranglah. Kalau pakai waktu itu, antara hidup dan mati.
Akhirnya kami mereposisi agar organisasi mahasiswa tidak lagi di bawah rektor. Muncul Pospera (Pos Perjuangan Rakyat) dulu yang tidak mau di bawah rektor. Kami didukung beberapa orang seperti Bu Gedong Oka (almarhum), Bu (LK) Suryani, Pak (Nyoman) Gelebet. Mereka dosen-dosen yang turun di aksi menunjukkan sebagai oposisi.
Apa yang menarik dari gerakan mahasiswa saat itu selain situasinya?
Situasi tertekan itu yang justru menarik. Ketika kami kemudian melakukan aksi hearing ke DPRD, itu melahirkan semacam gonjang-ganjing politik kampus. Kemapanan politik di luar juga sama gawatnya dengan kampus. Akhirnya kami reposisi organisasi dan gerakan mahasiswa. Teman-teman gerakan mahasiswa yang justru memengaruhi organisasi kampus.
Ketika 1998, posisimu sebagai apa?
Aku dari awal diplot sebagai orator. Tapi kemampuanku jauh dibanding teman-teman senior, seperti Adolf, Roberto, Jatmiko, dan kawan-kawan lain.
Ada omongan bahwa kamu sengaja dimunculkan biar ada teman-teman dari Bali yang bisa jadi ikon?
Pendapat mereka bisa saja begitu tapi aku tidak merasa. Teman-teman dari Bali yang menonjol juga banyak seperti Wisnu (Saputra), Tayak (Nyoman Sukataya), Yuda Suparsana, dan (Made) Payuse. Tapi ya memang harus diakui teman-teman aktivis Bali sedikit saat itu. Aku tidak pernah merasa bahwa aku difloating untuk itu. Tapi kalau itu memang bagian dari strategi teman-teman ya bisa jadi. Kalau aku mengalir saja karena aku pikir tidak sepenuhnya benar. Ini soal daya tahan juga.
Kamu masih memiliki daya tahan itu?
Iya. Harus.
Karena apa?
Hobi. Karena hobi.
Ketika iklim politik sudah terbuka, kamu kemudian melakukan advokasi untuk kelompok lain, seperti IDU (injecting drug user, pengguna narkoba dengan jarum suntik), LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), ODHA (orang dengan HIV dan AIDS), dan semacamnya?
Itu kan karena kamu yang ngajak. Hehehe.. Ya karena nyambung saja. Kalau tidak nyambung ya tidak akan ketemu. Cuma pengalaman berbeda bisa diritmekan dengan isu-isu advokasi tersebut. Katakanlah di gerakan IDU, pola gerakan mahasiswa dulu bisa diterapkan juga di kalangan IDU.
Dukungan untuk kelompok marjinal itu mengalir begitu saja?
Pada tingkat kesadaran tentang kemanusiaan itu sudah selesai. Tinggal apakah energinya ada atau tidak. Itu yang menentukan. Ketika ada orang datang mengajak dan untuk isu kemanusiaan, kita pasti mau.
Kenapa penting melakukan itu?
Aku susah ngomonginnya. Kalau dulu mungkin bisa menggunakan alasan-alasan heroik. Tapi sekarang susah. Itu sudah kebiasaan. Hobi. Serupa hobi makan. Kalau demi hobi kan orang bisa melakukan apa saja. Serupa itulah. Kadang-kadang di luar nalar.
Teman-teman seangkatanmu pada ke mana?
Ada yang di partai. Ada yang di LSM. Aku hargai pilihan mereka.
Aktivis di Bali makin sedikit. Tidak ada kecemasan?
Kalau itu pasti. Karena susah memaksa orang untuk memaksa mahasiswa. Saat ini serupa zaman sebelum 1998. Mahasiswa yang aktif di gerakan makin sedikit. Sekarang yang kritis menjadi alat juga. Krisis kelompok kritis di Bali itu memang terjadi.
Kenapa?
Karena sistem kampus begitu. Karena sistem politiknya juga banyak yang tidak siap. Banyak yang tak siap dengan perubahan politik. Gagap. Orang yang jiwanya melawan-melawan begini kan tidak punya saluran yang tepat. Pilihannya kemudian demokrasi prosedural tapi kan kita belum siap. Akhirnya lari pada pilihan-pilihan pragmatis.
Kedua, pilihan-pilihan di kalangan yang mengaku sebagai oposisi juga berhadapan dengan sistem. Ada masalah pragmatis seperti funding. Akibatnya jadi kompromistis. Tapi itu kan membentuk daya kritis juga.
Mahasiswa sendiri sistemnya sudah dibentuk sedemikian rupa. Dia berhadapan dengan sistem yang sangat terbuka. Mereka bingung dengan perlawanan yang model apa.
Karena itu kamu memilih tetap di luar?
Karena aku memang tidak tertarik. Kalau yang menawarkan untuk aku banyak. Partailah. Tim sukeslah.
Itu kan bisa jadi salah satu jalan perubahan?
Aku tidak menafikkan. Tapi kan jalanku sekarang juga pilihan. Aku pilih jalan yang membuat nyaman.
Soal kemampuan mengubah, tidakkah masuk dalam sistem lebih efektif?
Tidak juga. Banyak teman masuk dalam sistem ikut terjerembab juga. Bahwa di sistem memberikan ruang memang iya. Tapi pertarungan di dalam sistem juga tidak hitam putih, kalau aku merasa di mana kita merasa nyaman untuk melakukan perubahan. Soal efektivitas, relatif juga. Tidak semua yang di luar sistem akan gagal kan?
Kalau kemudian pindah ke isu lingkungan, kenapa?
Aku merasa tidak pernah pindah isu. Demokrasi kan juga ngomong semua sektor. Paling kelemahan kita jadi tidak mendalami satu isu. Tapi kan juga tidak salah kalau kita main di semua isu. Justru persoalan sektoral itu yang harus dihilangkan. Sekarang kan terjadi egosektoral. Malah kadang-kadang terjadi benturan antarsektor.
Lintas sektoral juga bisa memainkan isu-isu itu. Tapi perlu waktu lebih intens.
Tapi tiga tahun terakhir terlihat lebih fokus di lingkungan?
Di PBHI juga dulu advokasi isu lingkungan seperti kasus Loloan. Tapi karena lembaganya bukan di bidang lingkungan, akhirnya orang tidak melihatnya. Saat ini pun aku masih melakukan advokasi isu-isu lain tapi orang lain tidak terlalu melihatnya.
Kenapa masuk Walhi lagi?
Sebelum itu kan aku di Walhi Nasional setelah selesai di PBHI. Kemudian di Walhi Bali ada beberapa teman yang meminta aku aktif padahal waktu itu mau istirahat sebentar. Mau fokus di profesi. Tapi waktu itu dimintai bantuan. Karena aku menyatakan sanggup, aku harus melakukannya sampai selesai. Kalau mau istirahat ya setelah selesai.
(Sebagai gambaran, saat itu Walhi Bali memang sedang mengalami masalah internal, krisis kepemimpinan karena direkturnya yang baru tidak aktif. Karena itu, kepemimpinan Walhi Bali saat ini merupakan pergantian yang tidak melewati proses pemilihan seperti biasanya.)
Kalau kasus lingkungan di Bali sendiri bagaimana sih menurutmu?
Di Bali aku bilang kasus lingkungan yang paling berat. Berat dalam pengelolaan advokasi dan berat lawannya karena melawan modal. Modal kan selalu berkelindan dengan penguasa dan pengusaha, termasuk preman. Dia perlawanan struktural tapi juga bisa horisontal.
Berapa tahun ini saja sebetulnya kalau tidak karena hobi, susah bertahan dalam advokasi lingkungan.
Selain intimidasi dan pemukulan, ada kasus lain?
Banyak. Mulai dari yang tidak terlihat sampai yang terlihat. Ada persoalan gaib yang tak masuk akal itu terjadi. Mau tidak mau harus dipercaya. Tapi itu susah dipercaya. Tapi paling berat melawan modal itu karena mereka punya akses ke kekuasaan yang luar biasa. Misalnya JDP, ternyata mereka dilindungi penguasa. Kita melawan TRB ternyata berhadapan dengan persekutuan antara modal dan penguasa.
Berat untuk dilawan organisasi kecil seperti kami. Apalagi isunya isu pariwisata yang membutuhkan stabilitas.
Ada isu mau dipukulin. Ada ancaman mau dibunuh dan seterusnya. Ada yang bilang aku ditarget mati. Banyaklah, termasuk tawaran jabatan.
Jabatan apa misalnya?
Ya, jabatan di satu perusahaan yang kita tolak. Proyek yang kita tolak mengajak kita duduk untuk supervisi. Perusahaan menawarkan sebagai konsultan hukum. Banyak.
Termasuk benturan dengan sesama teman LSM?
Ya. Walaupun itu perangnya tidak terbuka. Mainnya menyusup. Pembunuhan karakter. Semacam pengucilan melalui isu tertentu. Misalnya bahwa kami dibayar pihak lainlah. Itu ada dan menjadi beban. Tapi santai saja. Biar sejarah yang membutktikan. Makanya aku tidak pernah takut kalau mau diaduit atau diapain. Saya bisa auditkan.
Aku dituding, misalnya, kenapa isu Hotel Mulia berhenti. Kenapa isu tebang pilih. Kenapa BIP. Di balik pertanyaan itu kan ada judgement tertentu. Padahal itu semata pilihan konsentrasi karena banyak isunya.
Kami advokasi Perda RTRW agar tidak direvisi. Ada masalah Beach World, BIP, dan Hotel Mulia. Isu strategis kita kan moratorium pembangunan fasilitas pariwisata. Nah, isu BIP itu paling memenuhi target advokasi karena ada masalah lahan, APEC, dll. Tapi kami memang dapat laporan masyarakat soal Hotel Mulia. Kami pun investigasi 3-4 bulan. Jadi, BIP jalan, Hotel Mulia juga jalan. Beach World kami tinggal.
Maka muncul isu aku dibayar BTDC agar tidak menggugat kasus tersebut. Apalagi Direktur BTDC juga orang Ubud. Tapi, kami jawab bahwa kami akan gugat kalau Gubernur Bali melakukan somasi ketiga. Mereka baru kedua dan tidak menyomasi lagi.
Ini gubernur tidak melakukan, kenapa harus Walhi yang jadi tumbal?
Isu BIP kemudian tenggelam?
Target kami memang agar BIP tidak terbangun untuk APEC. Setelah APEC dibangun lagi ya urusan lain. Kenapa begitu? Jangan sampai orang membangun hanya karena kepentingan sesaat. Setelah itu baru munculkan lagi isu Hotel Mulia. Kenapa BIP? Karena Gubernur mengeluarkan moratorium tapi memberikan izin pembangunan BIP. Dia tidak konsisten.
Untuk Hotel Mulia, gubernur mendukung kami menyikat mereka. Sementara di BIP, justru Bupati badung yang mendukung. Aktor tiap advokasi memang beda.
Setelah itu muncul isu korupsi Hotel Mulia. Padahal Walhi tidak ngurus isu korupsi. Kalau soal lingkungan memang iya. Kami tidak mau berkomentar soal kasus korupsi. Dari situ muncul isu kalau aku dibayar berkoper-koper. Padahal kami tetap menolak keduanya, Tolak BIP, Tolak Mulia Resort.
Isu sama muncul lagi ketika ada TRB?
Ada tuduhan aku ditunggangi Puspayoga atau lawan politiknya Pastika, termasuk Bali Post. Itu kepanikan politik saja. Apakah ada yang bertanya ketika kami memimpin pembelaan terhadap RTRW dan menjadi bemper Pastika? Tanya saja dia, dia bayar kami berapa? Tanya dia. Ada tidak. Tidak ada. Ide dari kami yang justru mereka pakai. Tapi toh tidak dianggap kami pro-Pastika.
Tapi itu jadi refleksi bahwa advokasi itu tidak membela orangnya tapi kebijakannya.
Bagaimana track record kedua calon gubernuer sekarang di isu lingkungan?
Kalau aku menggunakan track record yang dulu dipakai Agung (Wardana, mantan Ketua Walhi Bali). Calon-calon yang ada sekarang tidak punya komitmen kuat membela kasus lingkungan. Kedua, mereka sebelumnya satu kesatuan. Jadi kita tak tahu apakah pembelaan mereka untuk lingkungan atau untuk politik. Kalau melihat konsep Clean and Green, mereka hanya menggunakan sebagai jargon. Keduanya sama-sama sumir. Tidak ada yang dengan tegas bisa menunjukkan pembelaan terhadap lingkungan. [b]
kisah kasih asmaranya dong plis tambahin om. edisi perempuan dengan pedang
Semoga lahir “gendo baru” di Unud dan juga kampus lainnya di Bali. Bli Gendo telah membuktikan bahwa menjadi aktifis itu adalah sebuah panggilan, idealisme itu tak luntur oleh posisi dan jabatan.
@lodegen, kisah kasih yg mana itu ya? apa cerita yg di belakang auditorium unud?
qiqiqiqiqiqi….
salut…..
Masih lebih baik, Gubernur kali ini mau mengangkat isu lingkungan ‘dengan wacana “Bali Clean & Green” -nya’ … Sebelum-sebelumnya, kita punya beberapa Gubernur, apa ada yang mewacanakannya ?
http://www.baliprov.go.id/id/Hak-Jawab-Berita–Bali-Dicemari-Sampah—-Bali-Clean-and-Green—-Jangan-Hanya-Pemanis-di-Bibir