Oleh Luh De Suriyani
Aneka sampah plastik bekas bungkus makanan bisa menjadi berbagai barang menarik. Sejumlah anak-anak sekolah dasar mempresentasikan hasil belajarnya dalam pendidikan lingkungan dengan mengadakan pameran karya kreatif, salah satunya fashion show hasil daur ulang dari sampah plastik, Sabtu (6/9) ini bertempat di Yayasan Pembangunan Sanur, Denpasar.
Sampah-sampah plastik itu menjadi tas, dompet, rompi, rok, topi, dan perlengkapan sekolah lain. Anak-anak kemudian memperagakan hasil karya daur ulang itu di panggung, dengan penuh percaya diri.
Misalnya Gabila, 11 tahun, menggunakan sebuah tas berwarna cokelat yang terbuat dari bungkus kopi instan. “Ternyata lucu juga ya tasnya,” kata siswa kelas 6 SD Negeri 2 Sanur ini.
Sampah plastik ini dikumpulkan anak-anak di tiga sekolah dasar yang mengikuti program pendidikan lingkungan “Sekolahku Hijau” yang difasilitasi Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali. Mereka mendapatkannya karena selama dua tahun ini berhasil memilah sampah di sekolah. Tiga SD tersebut adalah SD 2, 3, dan 10 Sanur, Denpasar.
Sampah plastik kemudian dikelompokkan menurut jenisnya dan dibersihkan. Setelah itu, kini giliran sejumlah orang tua yang telah terlatih menjahit sampah-sampah itu menjadi berbagai barang-barang unik yang kemudian dijual. Sebuah tas berukuran 40 x 30 sentimeter dijual seharga Rp 35.000 rupiah.
Program Sekolahku Hijau adalah suatu program pendampingan untuk sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan lingkungan hidup di wilayah perkotaan. Ketiga sekolah ini adalah sekolah-sekolah percontohan dalam melaksanakan pendidikan lingkungan.
Ketiga sekolah mengadakan pameran akhir tahun sebagai penutupan program Sekolahku Hijau. Kali ini hasil karyanya adalah fashion show barang recycle, tari 3 R (Reduce, Reuse, Recycle), drama, pameran lukisan, dan sejumlah kegiatan kreatif lainnya.
“Kami bisa melihat hasil karya teman di sekolah lain dalam membuat kegiatan kampanye lingkungan,” ujar Prayoga bersemangat. Ia sendiri sudah dua tahun mengikuti program ini.
Selain fashion show, penonton juga menyukai drama yang dipentaskan anak-anak itu. Pagelaran drama ini berjudul Kulkul Bulus yang berarti peringatan atas kondisi berbahaya. Menggambarkan kepanikan warga ketika banjir datang tiba-tiba. Banjir diakibatkan oleh penebangan pohon dan sampah yang dibuang sembarangan.
Di akhir cerita anak-anak mengingatkan soal hal-hal sederhana yang bisa dilakukan untuk mencegah banjir dan bencana yang lebih besar. Di antaranya memilah sampah organik dan anorganik, menanam pohon di pekarangan rumah, bertanggung jawab dalam penggunaan kendaraan bermotor, serta menggunakan lampu hemat energi.
“Pameran ini menunjukkan bahwa anak-anak mampu mengaplikasikan pendidikan lingkungan menjadi suatu aksi. Itu yang penting,” ujar I Nyoman Sorna, Kepala Sekolah SD 2 Sanur ini.
Ia mengaku sangat antusias pada program ini karena berusaha mengintegrasikan pendidikan lingkungan dari sekolah sampai keluarga. Orang tua siswa juga mendapatkan pengenalan soal lingkungan dan terlibat dalam pameran ini.
“Saya sering dimarahi anak kalau rumah kotor dan sampah banyak. Dia mengajari saya buat pupuk kompos untuk tanaman di rumah,” tutur Ni Wayan Liab, 32 tahun, yang tengah menonton anaknya pentas drama. Liab yang pedagang di pasar tradisional di Sanur ini mengaku sulit mengubah kebiasaan sebelumnya yang tidak peduli dengan sampah rumah tangganya.
Tak hanya informasi lingkungan untuk orang tua, kini dua desa di Sanur, yakni Desa Sanur Kaja dan Sanur Kauh berhasil membuat deplot pengolahan sampah sendiri. Deplot ini mulai memilah sampah rumah tangga warga. Menjadikan sampah organik menjadi kompos, dan mendapat penghasilan tambahan dengan menjual barang-barang non organik seperti plastik, botol, dan besi.
“Proses untuk membuat deplot pengolahan sampah sendiri cukup panjang. Salah satunya kita mulai dengan program anak-anak lalu mengikutsertakan orang tuanya,” papar Catur Hariani, Koordinator PPLH Bali. Menurut pengalaman selama ini, Catur mengatakan keterlibatan orang tua sangat penting karena ini menyangkut perubahan perilaku.
Membuang sampah pada tempatnya saja adalah suatu yang tak mudah diajarkan pada anak-anak. “Orang tua tidak menganggap penting pendidikan membuang sampah sejak dini, apalagi untuk mengolahnya kembali,” tambahnya.
Hal ini diakui Prayoga, siswa kelas 6 SD 2 Sanur. “Kami di sekolah sampai bikin peraturan denda kalau ada yang masih buang sampah sembarangan,” ujarnya. Dendanya Rp 1000 rupiah. Ternyata, hasil uang denda cukup banyak untuk ditabung oleh sekolah.
Catur menyadari bahwa kebersihan juga adalah soal gaya hidup dan bagaimana menghidupkan rasa bangga anak-anak-anak kalau bisa menjaga lingkungan. Salah satunya dengan program-program lingkungan yang membuat anak-anak berkompetisi dan berkreasi. [b]