Oleh Luh De Suriyani
Akhirnya, Bali mulai melakukan uji coba pengolahan sampah menjadi tenaga listrik. Proyek Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita yang terkatung-katung lebih dari empat tahun baru dimulai pada awal Agustus ini. Listrik yang dihasilkan tahun ini diperkirakan 2 megawatt (MW), dan pada 2010 meningkat menjadi 9,6 MW yang kemudian disuplai ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Kami berharap pada awal November semua sistem sudah berfungsi,” kata Budi Mulyanto, Project Manager PT. Navigat Organic Energi Indonesia (NOEI). Investasi ini adalah joint venture dengan kelompok bisnis General Electric (GE), perusahaan pengolah limbah dan energi alternatif dari Inggris.
Di sinilah nantinya semua sampah dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) akan diolah. Selama ini di tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung, sampah diolah dengan ditumpuk saja, sistem open dumping. Sistem ini sangat tidak efisien karena mengandalkan pemilahan sampah sangat terbatas dari pemulung. Akibatnya, masih mencemari lingkungan dari cairan residu sampah akibat air hujan yang merembes.
PT. NOEI menawarkan teknik terpadu pengolahan sampah yang melibatkan gasifikasi (gasification), gas timbunan sampah (landfill), dan pengolahan anaerobik (anaerobic digestion).
Dari pengamatan Kamis (4/9) kemarin, telah dibangun satu unit structure landfill cell yang akan beroperasi untuk menghasilkan listrik. Sejumlah pemulung terlihat memilah sampah non organik seperti plastik, kertas, dan logam.
“Kami masih memerlukan pemulung untuk memilah sampah sebelum diolah. Nanti kami akan berdayakan mereka yang biasanya memungut sampah dengan sistem open dumping,” ujar Budi.
Uji coba ini, menurut Budi baru mengolah 68 truk sampah per hari atau sekitar 600 meter kubik sampah. Jika sudah beroperasi optimal, tiap structure landfill cell diperkirakan mampu mengolah sampah sekitar 12.000 ton sampah per hari yang datang dari wilayah Sarbagita itu.
Proyek ini juga menjadi program Clean Development Mechanism (CDM) pertama di Bali, suatu mekanisme yang memberikan kesempatan terjadinya jual beli emisi penyebab gas rumah kaca. Mekanisme ini menjadi salah satu upaya mengurangi masalah pemanasan global di negara berkembang yang menjadi bagian Protokol Kyoto dan dibahas dalam United Nation Framework on Climate Change (UNFCC) di Nusa Dua, Bali lalu.
Melalui CDM, negara berkembang akan mendapatkan keuntungan finansial dari upayanya mengurangi pelepasan gas rumah kaca ke udara karena gas ini akan dibeli oleh negara maju. Gas metan dari sampah adalah gas yang dinilai paling berbahaya bagi lingkungan, karena itu pengolahan sampah mendapat prioritas dalam upaya mengurangi pemanasan global.
Sampah memang menjadi masalah yang tak pernah usai di Bali. Sangat sulit menjumpai rumah tangga yang memilah sampahnya sebelum diangkut truk sampah. Akibatnya, berbagai jenis sampah termasuk bahan berbahaya menumpuk jadi satu di TPA Suwung. Untungnya, TPA ini berlokasi di pinggiran Kota Denpasar yang jauh dari pemukiman.
Bau tak sedap dan ratusan gunung sampah di TPA ini makin banyak, sehingga terus memerlukan lahan kosong. Hanya ratusan pemulung lah yang berjasa mengurai sedikit sampah-sampah non organik yang membahayakan lingkungan itu.
Climate Justice
Menurut Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu, LSM bidang lingkungan di Bali, sistem pemilahan sampah dari rumah tangga perlu terus dikampanyekan. “Saya menawarkan sistem material recovery facility (MRF). Sistem ini mengharuskan warga memilah sampah yang sebagiannya dapat dijual kembali. Hal ini memberi keuntungan untuk warga. Residu hasil pilahan ini yang diangkut ke TPA oleh truk sampah,” ujar Suarnatha yang melaksanakan program pengolahan sampah berbasis komunitas.
Ia juga berharap proyek dengan mekanisme CDM ini memberikan keadilan bagi masyarakat lokal dengan memberikan kesempatan untuk mengupayakan teknologi pengolahan sampah sendiri. “Selain mengurangi climate change, kita juga harus memperjuangkan climate justice yang juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat,” katanya. [b]
Catatan: Artikel ini juga dimuat di The Jakarta Post.
welehhh…
waaa,,,bali ok juga ya,bisa ngolah sampah jadi listrik,,bandung kan jg ada rencana kyk gitu,tapi warganya pada nolak,,,apa beda antara pengolahan sampah jadi listrik di bali dengan bandung??bagaimana pemerintah bali meredam pendapat negatif masyarakat??kenapa pengolahan sampah jadi listrik ini tidak dilakukan oleh pihak lokal,,tanpa campur tangan asing??
thx fyi,,semoga daerah2 lain di Indonesia bisa ngikutin cara Bali ngolah sampah
Cara seperti itu sdh banyak skali,tapi blm ada satu pun yg dikemudian bisa di bilang sampah telah berhasil teratasi,krn tujuannya mengatasi ya mengatasi saja tanpa membuat,kalo tujuannya membuat bisa jadi buatannya berhasil tapi gimana sampahnya ? TETAP MEMBLUDAK TIDAK PERNAH TERATASI.