Oleh Anton Muhajir
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Bali mendesak pemerintah provinsi Bali agar memperhatikan masih banyaknya kasus-kasus adat yang cenderung tidak memperhatikan hak asasi manusia (HAM). “Kami meminta agar pemerintah memenuhi hak-hak sipil dan politik maupun hak ekonomi sosial budaya masyarakat,” kata Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Koordinator PBHI Bali.
Hak atas sipil dan politik (Sipol) serta hak atas ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob), menurut aktivis yang akrab dipanggil Aik itu adalah bentuk pemenuhan terhadap HAM seseorang. “Kalau negara tidak memenuhi tanggung jawab tersebut, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM dengan cara membiarkan (by omission),” lanjutnya.
Salah satu bentuk pembiaran oleh Negara, dalam hal ini pemerintah provinsi Bali, adalah dengan membiarkan masih adanya sanksi-sanksi adat yang cenderung berimbas pada hak sosial politik. Kasus yang terakhir terjadi adalah kasepekang (pengucilan) pada keluarga Made Rangga, warga adat di Banjar Pakudui, Desa Pakudui, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Made Rangga dan keluarganya tidak boleh menguburkan salah satu anggota keluarga yang meninggal, Jro Mangku Sumil, karena sebelumnya dianggap membuat desa tersebut cuntaka (kotor). Saat ini nasib jenazah Jro Mangku Sumil terkatung-katung karena warga setempat menolak menguburkan di kuburan setempat.
“Seharusnya negara juga ikut campur dalam urusan seperti itu agar tidak ada hak warga yang dihapuskan gara-gara hukum adat,” tambah Aik, yang pernah jadi Direktur Walhi Bali.
Desakan PBHI Bali itu sendiri lahir dalam Musyawarah Wilayah (Musywil) PBHI Bali Sabtu (6/08) kemarin di Museum Bajra Sandhi Denpasar. Widhiyanti terpilih sebagai Ketua PBHI Bali menggantikan I Wayan Gendo Suardana.
Dalam Musywil tersebut, PBHI Bali mengeluarkan empat poin rekomendasi. Selain desakan terhadap pemerintah agar memenuhi hak Sipol dan Ekosob, PBHI Bali juga mendesak agar pemerintah menuntaskan kasus-kasus korupsi di Bali saat ini.
“Kalau pemerintah tidak bisa memenuhi hak-hak dasar setiap warga, maka kami akan melakukan gugatan,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.
Dua rekomendasi lain lebih bersifat internal organisasi maupun untuk kalangan lembaga swadaya masyarakat yaitu PBHI akan melakukan intervensi dalam proses rekrutmen politik dan meningkatkan posisi tawar masyarakat sipil.
Kasus adat sendiri memang mendapat perhatian khusus dalam Musywil tersebut. Wayan Gendo Suardana, Ketua PBHI Bali sebelumnya, mengatakan bahwa selama tiga tahun terakhir, kasus hukum dan HAM yang paling banyak terjadi adalah kasus adat.
Misalnya konflik adat antara warga Banjar Buluk Babi Desa Adat Padang Tegal dengan warga adat Pengosekan Kecamatan Ubud. Kasus ini berawal dari pemekaran wilayah desa di kantung pariwisata Gianyar itu. Kasus yang terjadi pada Februari 2007 ini berakhir dengan kedamaian di kedua belah pihak.
Kasus adat lainnya terjadi di Banjar Kedewatan Desa Bongkasa Kecamatan Abiansemal Badung. Warga yang mendapat sanksi adat tidak boleh mendapat pelayanan dinas seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Seharusnya sanksi adat tidak boleh berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk mendapat layanan sebagai warga negara,” kata Gendo.
Masih tumpang tindihnya persoalan adat dengan persoalan dinas, menurut Gendo, adalah imbas dari Otonomi Daerah. “Karena itu negara juga tidak bisa lepas tangan,” tambah aktivis yang pernah dipenjara ini.
Di sisi lain, HAM juga belum menjadi perhatian kalangan warga adat sehingga seolah-olah atas nama adat, semua boleh dilakukan meski itu menghilangkan hak dasar orang lain. “Karena itu, kita juga harus melibatkan Desa Pekraman untuk perlindungan HAM ini,” kata Gendo.
Hal lain yang menjadi catatan tiga tahun terakhir adalah adanya represi negara untuk mengekang kebebasan berekspresi dan bergerak di Bali. Dalam catatan PBHI Bali, ada tiga isu besar. Salah satunya adalah ditangkapnya 12 mahasiswa Universitas Udayana yang melakukan demonstrasi di Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar pada Juni 2005.
Saat itu polisi menangkap mereka dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, 12 mahasiswa itu dihukum enam bulan percobaan.
Kasus lainnya adalah penangkapan penyanyi Ed Eddy & Residivis pada Oktober 2006 lalu. Dua anggota band ini yaitu Igo dan Eddy ditangkap polisi karena dianggap menghina institusi polisi lewat lagu “Anjing”. Keduanya divonis bersalah oleh PN Denpasar dengan hukuman satu tahun percobaan.
“Kebebasan berekspresi dan bergerak adalah hak setiap orang yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Negara harus memberikan jaminan terhadap hak dasar tersebut,” kata Widhiyanti. [b]
Ada baiknya adat lebih mempertimbangka HAM agar tidak disebut arogansi!!!