Oleh I Gede Astana Jaya
Pariwisata adalah penggerak utama ekonomi di Bali.
Sayangnya, seringkali warga lokal hanya jadi penonton dalam pariwisata. Pertanian pun harus mengalah oleh tuntutan pembangunan pariwisata di Bali. Saluran irigasi ditutup untuk membangun jalan. Sawah harus dijual untuk membangun hotel.
Empat desa di Bali yang sebelumnya terpinggirkan oleh pariwisata kemudian membentuk kelompok bernama Jaringan Ekowisata Desa (JED). Selain untuk distribusi pemasaran hasil pertanian masing-masing desa, jaringan ini juga menjadi alternatif di antara mass tourism Bali. Lebih dari itu, JED juga menjadi upaya untuk memiliki kembali Bali yang terlalu banyak dieksploitasi atas nama pariwisata.
Empat Desa yang Tersingkir
JED berawal dari rasa kegelisahan terhadap gemerlap pariwisata yang selama ini lebih banyak ada di Bali selatan seperti Badung, Denpasar, dan Gianyar. Desa-desa di pinggiran Bali, termasuk di Tenganan, Pelaga, Sibetan, dan Nusa Ceningan hanya mendapat rempah atau bahkan tidak kebagian kue besar bernama pariwisata tersebut. Bahkan, bisa dikatakan pada awalnya mereka tersingkir oleh pariwisata itu sendiri.
Desa Tenganan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem sejak tahun 1930an sudah jadi salah satu tujuan wisata di Bali. Desa di Bali bagian timur ini memiliki kekayaan budaya berupa tradisi yang tidak ditemukan di daerah lain di Bali. Misalnya arsitektur wilayah, pakaian tenun khas, dan seterusnya.
Karena desa ini adalah public space, maka setiap orang dapat ke sana, termasuk turis-turis asing yang dibawa oleh travel agent. Istilahnya mass tourism. Sayangnya banyaknya turis yang berkunjung ini tidak begitu berpengaruh pada warga setempat, terutama dari sisi ekonomi.
Penduduk Tenganan yang sebagian besar adalah petani tahu bahwa tiap tamu asing yang datang ke Tenganan membayar sampai US $ 100 (sekitar Rp 1 juta) ke pihak travel agent. Namun uang yang masuk ke desa tidak lebih dari Rp 10 000 sampai Rp 20 000 per orang. Ini praktik yang sangat tidak fair.
Sampai akhirnya, penduduk setempat tidak tahan lagi ketika suatu hari serombongan turis asing dan pemandunya meninggalkan bekas makanannya begitu saja di pelataran pura desa dalam kondisi berantakan. Penduduk mulai berpikir untuk mengubah kondisi itu dengan cara terlibat langsung dalam pariwisata. Selain untuk mendapat porsi sewajarnya, atau bahkan mendapatkan langsung dari turis, juga agar penduduk setempat bisa menjaga dan mengelola lingkungan mereka sendiri.
Masalah yang berbeda terjadi di tiga desa lain. Petani kopi di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung seringkali iri dengan keberhasilan pariwisata di Badung bagian Selatan. Penduduk setempat merasa gemerlap pariwisata hanya bisa dinikmati oleh warga Kuta, Nusa Dua, dan Denpasar. Pemerintah Kabupaten Badung sudah berusaha mengurangi kesenjangan ini dengan membuat proyek agrowisata di Badung Utara seperti Pelaga dan sekitarnya. Namun proyek ini tidak banyak melibatkan warga setempat. Akhirnya, warga setempat pun hanya jadi obyek. Agrowisata itu tidak berjalan sesuai rencana.
Di sisi lain, warga pun ingin agar mereka bisa menikmati kue pariwisata namun dengan tetap mengendalikan sepenuhnya sumber daya yang mereka miliki.
Petani salak di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem pun tidak jauh berbeda dengan petani kopi di Pelaga. Mereka semua menghadapi masalah yang sama: ingin mendapat tempat di antara gemerlap pariwisata.
Dari tiga desa tersebut, pengalaman Desa Nusa Ceningan mungkin paling mengenaskan. Pulau kecil di Bali bagian tenggara akan dijadikan kawasan wisata terpadu seperti Nusa Dua yang dikelola Bali Tourism Development Centre (BTDC). Proyek pada tahun 1999 ini memaksa warga setempat untuk menjual tanah mereka. Masyarakat pun menolak karena tidak mau pindah dari tempat di mana sebagian besar dari mereka bertani rumput laut.
Menyatukan Persoalan, Berbagi Peran
Empat desa itu, Tenganan, Pelaga, Sibetan, dan Ceningan dipertemukan oleh Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pemberdayaan masyarakat lokal yang berkantor di Bali. Tujuannya agar masyarakat bisa berdaya menggunakan sumber daya yang mereka miliki sendiri.
Pada tahun 2000, Wisnu memberikan pelatihan kemampuan pemetaan (mapping) agar warga empat desa itu memiliki pengetahuan tentang sumber daya desa masing-masing. Dari situ terlihat bahwa selain potensi wisata seperti daerah lain di Bali, masing-masing desa juga punya potensi yang bisa lebih didayagunakan. Tenganan punya padi. Ceningan punya rumput laut. Pelaga punya kopi. Sibetan punya salak. Semua sumber daya itu bisa dioptimalkan untuk menunjang pariwisata, penggerak utama roda ekonomi di Bali.
Setelah tahu potensi masing-masing, warga kemudian belajar tentang ekowisata. Hal ini karena bagaimana pun Bali tidak bisa dilepaskan dari pariwisata. Sekitar 80 persen roda ekonomi Bali digerakkan oleh sektor ini. Sektor lain seperti pertanian kemudian berperan sebagai pendukung penggerak utama. Misalnya menyuplai sayur, beras, dan semacamnya ke hotel dan restoran di lokasi utama pariwisata Bali.
Tapi kali ini warga tidak hanya belajar tentang bagaimana menyuplai sumber daya ke pusat-pusat pariwisata. Petani di empat desa itu belajar tentang bagaimana mengelola sumber daya mereka sendiri tanpa harus tergantung pihak lain. Maka, tidak hanya belajar soal memproduksi komoditi unggulan seperti salak, kopi, padi, dan rumput laut, mereka juga membuat jalur distribusi sendiri dari hasil pertanian tersebut.
Warga empat desa membuat koperasi skunder. Koperasi di masing-masing desa membuat koperasi baru pada 4 Juni 2002. Koperasi bernama Jaringan Ekowisata Desa (JED) ini punya dua program utama yaitu distribusi hasil pertanian dan ekowisata itu sendiri.
Distribusi Barang
Tujuan program ini adalah mendukung desa satu sama lain melalui jaringan pemasaran produk pertanian. Tiga desa lain menjadi pangsa pasar produk utama desa tertentu. Misalnya Desa Tenganan menyuplai beras ke Pelaga, Sibetan, dan Nusa Ceningan. Tapi sebaliknya, Tenganan juga membeli kopi dari Pelaga, salak dari Sibetan, dan rumput laut dari Nusa Ceningan.
Namun kurangnya pengalaman dalam menejemen dan terbatasnya sumber daya manusia dalam mengelola distribusi barang membuat program ini mandeg. JED akhirnya memutuskan untuk fokus mengelola ekowisata disamping mengelola kegiatan lain seperti unit simpan pinjam dan serba usaha dimasing – masing desa. Tahun ini pendistribuasian barang dan lembaga non bank digagas kembali dengan menyiapkan SDM yang memadai dan diperkirakan tahun depan sudah akan beroperasi.
Ekowisata
Awalnya program ini kurang berjalan karena program distribusi barang lebih diutamakan. Apalagi staf yang terlibat di program ini juga sangat terbatas, hanya ada dua orang untuk mengurusi semua desa. Sejak 2005 lalu, program ekowisata memasuki babak baru. Misalnya promosi dan pelatihan untuk masyarakat terkait dengan ekowisata ditingkatkan.
Berbeda dengan mass tourism yang menitikberatkan pada kuantitas pengunjung di satu tujuan wisata, ekowisata bersandar pada empat hal yaitu komunitas, pendidikan, budaya, dan lingkungan. Empat hal ini harus berjalan secara seimbang. (1) Komunitas setempat harus terlibat dan diberdayakan sejak penyusunan, pelaksanaan, hingga evaluasi wisata. (2) Wisata ini harus menjadi media belajar bagi turis maupun masyarakat. (3) Budaya setempat harus diberi tempat agar tetap bertahan di tengah derasnya budaya dominan lain. Serta, (4) kegiatan wisata ini harus memperhatikan kelestarian lingkungan.
Karena itu, dalam ekowisata semua harus berimbang. Sebagai contoh adalah keterlibatan petani di masing-masing desa. Mereka sendiri yang melakukan mapping, perencanaan, pelaksana, sampai evaluasi. Kalau ada turis berkunjung ke satu desa, maka warga lokal yang menjadi pemandu, bukan karyawan travel agent.
Demi alasan lingkungan, desa setempat juga membatasi jumlah pengunjung yang datang. Tiap satu lokasi tidak boleh lebih dari 10 orang tiap harinya. Tujuannya agar aktivitas pariwisata tidak sampai merusak lingkungan yang dikunjungi.
Agar aktivitas pariwisata itu tidak membuat petani melupakan pertanian, maka kegiatan turis ketika berkunjung ke desa tersebut adalah dengan terlibat langsung dalam kegiatan pertanian yang dilakukan petani. Bisa saja turis itu hanya melihat proses produksi wine di Sibetan, memetik kopi di Pelaga, atau memanen rumput laut di Nusa Ceningan.
Peminat ekowisata ini termasuk jauh lebih kecil dibanding jenis pariwisata massal lain. Tapi dua tahun ini grafik jumlah pengunjung terus meningkat. Jumlah pengunjung ini berbeda-beda di tiap desa. Misalnya di Sibetan, dalam kurun waktu enam bulan hanya ada 18 pengunjung. Tapi di Pelaga mencapai 112 orang pada kurun waktu yang sama. Bedanya jumlah pengunjung ini karena paket ekowisata JED memang bisa memilih ke satu desa, dua desa, atau seluruh desa. Harganya berbeda-beda tergantung lokasi desa, antara Rp 495 ribu sampai Rp 1.170.000. Harga itu untuk satu orang ke satu desa minimal untuk dua orang.
Harga tersebut ditentukan oleh warga desa di mana 75 persen masuk ke kas koperasi desa. Sisanya ke operasional JED, yang juga dimiliki warga desa melalui koperasi skunder. Karena itu, warga bisa menjadi pelaku sekaligus penikmat pariwisata ini meski tidak sebesar mass tourism. Hal yang paling penting, petani tidak tercerabut dari akarnya untuk mendapatkan manisnya kue pariwisata.
Di sisi lain, petani malah bisa meningkatkan kapasitas mereka. Misalnya petani di Sibetan malah belajar tentang pengolahan wine. Pemuda di masing-masing desa juga belajar lebih banyak tentang hospitality (tata cara menjamu turis) sampai mengenal potensi kuliner masing-masing desa.
Setelah berjalan selama enam tahun, JED makin memperlihatkan posisinya sebagai sebuah alternatif bagi pembangunan pariwisata di Bali. Hasil paling jelas adalah karena petani setempat kini tidak perlu lagi iri pada kawasan lain yang menikmati kue besar bernama pariwisata. “Sampai saat ini saya selalu bersyukur, ketika saya memutuskan kembali ke desa. Walaupun tidak ada banyak uang, tetapi dada dan kepala saya hampir tidak pernah rasa sesak lagi. Saya semakin bersyukur ketika memutuskan untuk selalu belajar mengenal desa saya sendiri. Saya tetap menjadi petani dan juga bisa menjadi pemandu wisata,” kata I Gede Wiratha, petani di Kiadan Pelaga yang pernah menjadi pemandu wisata sebelum kemudian kembali ke desa menjadi petani.
Inilah hasil lain yang diperoleh JED. Anak-anak muda kini tidak lagi tergiur glamornya pariwisata. Mereka tetap bangga dengan apa yang mereka miliki. Petani tidak harus tersingkir akibat pariwisata berbasis komunitas, budaya, lingkungan, dan pendidikan ini.
I Gede Astana Jaya
Koordinator Jaringan Ekowisata Desa
Jl Kayu Jati 9Y Seminyak
Kuta Bali
Telp./Fax. 0361 – 737447
Email jed@wisnu.or.id
Website www.jed.or.id
Artikel ini dimuat pula di Majalah SALAM Edisi 25 Oktober 2008