Pak Made Suarnatha membuat kejutan.
Salah satu perintis berdirinya organisasi non-pemerintah (ornop) di Bali ini maju dalam pemilihan legislatif 2014 nanti. Pak Suar, begitu saya biasa memanggil orang yang sampai sekarang masih jadi Ketua Yayasan Wisnu ini, maju sebagai salah satu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Bali.
Yayasan Wisnu, yang didirikan Pak Suar bersama para perintis ornop lain di Bali, masih setia bekerja di desa-desa. Mereka membuat, misalnya Jaringan Ekowisata Desa (JED), sebagai pariwisata alternatif di antara masifnya pariwisata massal di Bali.
Meskipun sudah pernah ngobrol sebelumnya ketika beberapa kali ketemu, tetap saja majunya Pak Suar sebagai salah satu calon anggota DPD dari Bali ini sebuah kejutan. Akhirnya, ada juga teman dan senior yang maju sebagai calon anggota DPD.
Dalam Daftar Caleg DPD Bali 2014 yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali, nama Pak Suar ada di baris ke-8, kolom ke-2. Dia bersaing dengan nama-nama populer, seperti Gede Pasek Suardika (sekarang masih jadi anggota DPR dari Partai Demokrat), I Kadek Arimbawa (saat ini anggota DPD dari Bali), AA Ngr Oka Ratmadi (Ketua DPRD Bali saat ini), dan lain-lain.
Sebagai teman yang sering ngobrol, bertukar pikiran, atau malah bareng dalam satu kegiatan, tentu saja saya senang. Setidaknya sudah ada satu nama yang pasti akan dicoblos pas pemilu legislatif setahun lagi.
Dilema
Melihat jejak rekamnya selama ini, menurut saya, Pak Suar termasuk salah satu kandidat terbaik. Sudah lama bekerja untuk pemberdayaan masyarakat, terlibat dalam isu-isu pelestarian lingkungan, dan seterusnya.
Namun, Pak Suar membuat kejutan lain. Di akun Facebooknya, Pak Suar menulis status yang bagi saya justru sebuah dilema.
Begini status tersebut..
Berdasarkan Paruman 10-02-2013 dan Amanat Maha Sabha IV Warga Pasek kayu Selem Gwa Song-songan Propinsi Bali point ke-3: “Warga Pasek Kayu Selem harus mampu melaksanakan tugas Dharma Agama dan Dharma Negara, dalam rangka itu, menunjuk 2 orang warga Pasek kayu Selem untuk maju menjadi calon wakil rakyat, salah satunya menunjuk saya, Suarnatha, sebagai calon anggota DPD RI. Atas amanat Maha Sabha ini, sebagai bakti saya, maka saya siap melaksanakan…. mohon dukungan rekan-rekan semua.
Saya tak menyangka, ternyata Pak Suar pun masih pakai politik soroh alias klan ini sebagai salah satu kendaraan untuk mendukungnya. Bagi saya, ini justru sebuah dilema.
Ternyata politik di Bali memang belum bisa lepas dari ikatan-ikatan primordial dan tradisional ini. Dalam urusan politik, Bali yang kelihatan tenang dan damai ini sebenarnya memang penuh warna. Sejak zaman kolonial, politik di Bali sudah menggunakan basis-basis primordial, seperti kasta dan klan.
Kasta secara sederhana membedakan status adat dan sosial seseorang menjadi empat tingkat yaitu Sudra, Waisya, Ksatria, dan Brahmana. Namun, dari empat tingkat tersebut ada pula kelompok-kelompok kecil yang menggunakan ikatan kekeluargaan alias soroh atau klan. Jumlahnya bisa jadi ribuan atau setidaknya ratusan. Sekadar contoh ada klan Pasek, Pande, dan lain-lain.
Dalam politik di Bali, perbedaan kasta dan soroh masih dipakai, sesekali ataupun sering kali, diam-diam ataupun terbuka. Dalam Pilgub Bali Mei lalu, misalnya, masih ada yang bawa-bawa sentimen kasta ini.
Namun itu tadi, sesama tingkat kasta pun kadang tidak satu warna. Ada soroh-soroh yang masih dibawa.
Efektif?
Kembali kemudian ke pertanyaan semula: apakah politisasi kasta atau soroh ini efektif? Menurut saya sih tidak. Bagi kelompok konservatif mungkin berhasil tapi tidak bagi mereka yang rasional.
Ada satu contoh nyata, mengacu pada Pilgub Bali lalu. Keluarga besar mertua saya termasuk anggota klan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Meskipun satu klan, suara mereka satu sama lain saling berbeda. Ada yang mendukung calon AA Ngurah Puspayoga karena merasa dia bisa menjaga budaya Bali, ada pula yang mendukung Mangku Pastika karena merasa dia pintar.
Saya tidak tahu secara mendalam bagaimana dinamika di masing-masing soroh terkait dengan pemilu 2014, namun saya yakin bahwa suara tiap orang terlalu susah untuk dikendalikan melalui kesepakatan internal soroh atau klan tersebut.
Sebaliknya, yang ada malah perasaan berjarak atau malah antipati dari kelompok yang tidak masuk dalam soroh tersebut. Sebagai contoh, si A semula mendukung si B dari soroh X. Si A tak pernah mempersoalkan apa pun klan si B. Namun, begitu si B sudah bawa-bawa nama klan, si A yang kebetulan dari klan Y secara psikologis akan merasa sebagai “outsider”. Ini manusiawi sekali.
Karena itu, sekali lagi, efektifkah politik soroh di Bali? Menurut saya tidak. Ini justru menumbuh suburkan politik primordial, bukan politik yang rasional.
Menurutku, nggak masalah sih memakai politik soroh sebagai salah satu media untuk meraih massa. Asal pesan kampanye dan tujuan berpolitik tidak kehilangan esensi.
Yang aku risaukan, kenapa memilih DPD? Fungsi DPD tidak begitu jelas karena praktis tak pegang kewenangan yang signifikan. Sebenarnya kalo mau mempengaruhi kebijakan seharusnya Pak Suar masuk lewat legislatif di provinsi atau kabupaten. CMIIW
Menurut saya yang awam ini, kemungkin klan, soroh, ikatan keluarga (pura, merajan) dan lainnya dimaksimalkan hanya demi satu tujuan yaitu mencari dukungan. Mungkin itu saja.
Mungkin sudah cukup yakin suara LSM sudah terpegang, jadi mencari tambahan dari luar. Lagipula suara Pasek sudah terbagi2, jadi menyasar yg lebih spesifik: Pasek Kayu Selem
selama Hindu Bali masih ada, maka soroh akan tetap eksis. Soroh bukan alat untuk merendahkan kelompok lain seperti pada sistem kasta. soroh berlaku ke dalam bagi para anggotanya dan merupakan pemicu semangat untuk menghapuskan sistem kasta, Karena jika ditelusuri masing masing soroh di Bali pernah menduduki dan memiliki peran penting. Jadi tidak ada salahnya berpolitik dengan soroh. Ibarat meminta dukungan kepada keluarga sendiri, toh tidak ada tetangga yang diganggu.
mungkin sedang naik daud trend politik mengangkat soroh, karena soroh merupakan salah satu “kelompok” yang memilki kesamaan dalam silsilah leluhur di zaman dulu saat bali diserang Majapahit, beberapa bulan lalu saya mengikuti Loka Sabha Bali Mula lan Catur Sanak, dimana Kayu Selem konon juga bagian dari Bali mula.
Menarik kasus soroh diangkat oleh Balebengong. Dalam perjalanan kehidupan di Bali yang telah diwarisi oleh tetua Bali masalah kawitan dan soroh menjadi unteng dan penentu keyakinan hidup masyarakat Bali karena itu pula salah satu ranah budaya Bali bila kita lihat dari komponen Idiofact (keyakinan), sosiofact (kehidupan sosialnya) dan artifact (bentuk saran dan prasarana fisik penunjangnya yang ada). Pura Besakih, Pura Dang Kahyangan, Pura Kawitan sampai ke sanggah kemulan ada kaitannya dengan keleluhuran dan kawitan. Itu juga sistem keyakinan yang ada di Bali. Bahwa mesoroh, menyama itu penting sebagai ciri masyarakat komunal bukan untuk saling menjelekan untuk memetik keuntungan seperti jaman Belanda itu harus disikapi secara kritis. Hal yang mirip secara kepartaian, dalam bahasa ideologisnya mereka mencari konstituennya dengan aneka dinamika yang telah lama juga kita perhatikan. Tetap juga mereka belum mampu sebagai kendaraan mensejahterakan umat manusia. Hanya dan apabila moral dan etika berpolitik diutamakan keadaan kacau seperti sekarang minim akan terjadi.
Saya sebagai orang independen memang tidak memilih partai sebagai jalur perjuangan kepentingan namun apalah daya kalau ruang-ruang itu juga telah direbut oleh partai lagi (e.g Pak Cok Rat masih aktif di DPRD juga maju di DPD dan yang lainnya) tentu menunggangi mesin partai mereka. Dimanakah ruang-ruang independent yang bisa kita tempuh? Secara teks aturan memang tidak salah tetapi secara adat dan moral koq kayaknya tak etis??! Terus bila mereka dan kayaknya kans nya besar mereka lebih mudah menang akankah mereka memperjuangkan kita yang independen atau kembali beselingkung dengan kepentingan partai asalnya?
Saya pikir bukan relevansi masalah soroh/partai/golongan/kelompok yang mampu mengusung kita sampai tujuan akan tetapi pesan bahwa kerukunan “menyama” lebih utama dan berjuang untuk mengedepankan moral dan etika berbangsa dan bernegara dari pada berpolitik (khususnya melalui) partai akhirnya “benyah menyama” (berantakan sosial kapital kita). Inikah yang pernah dipakai Belanda untuk memcah belah kita atau kaum kapitalis mengadu kita dengan uang untuk menghamba pada uang/Raja uang (time is money) dan kita masyarakat bersoroh/yakin pada leluhur terpinggirkan untuk untuk ngayah (time is ngayah) tapi tetap keras berkompetisi untuk menyeimbangkan hidup, kehidupan dan keyakinan???? Bukan masalah relevan dan tidaknya tapi menurut saya dibutuhkan kesadaran Baru menghadapi dinamika kekinian. Karena langkah yang kita ambil selalu berkonsekuensi terhadap pilihan hidup dan kehidupan yang kita ambil. Salam SOROH vs SOROS…