
Tak lebih dari 2 jam menyusuri beberapa ruas jalan di Kota Denpasar dengan menaiki dokar.
Angkutan tradisional ini merupakan alat transportasi vital pada tahun 1960an. Jumlahnya lumayan banyak. “Dulu penambangan dokarnya di Suci,” ujar Nengah Purna, salah satu kusir. Dia telah bekerja sejak 1963. Kini, perlahan-lahan jumlah dokar di Denpasar bisa dihitung dengan jari. “Jumlahnya sekitar 25an kira-kira,” tambahnya.
Menurut penuturan Nengah Purna, di era itu belum ada kendaraan secanggih sekarang sehingga dokar menjadi primadona. “Setelah Gestok, pas Soeharto jadi Presiden motor-motor itu mulai ada,” ujar.
Di usianya yang telah berkepala tujuh, Nengah Purna mengaku bangga dengan pekerjaannya sebagai kusir dokar dulu. Dia punya tiga anak. Semua bisa sekolah hingga kuliah. Didampingi istri yang bekerja sebagai pedagang sayur, Nengah Purna yang memilih merantau ke Denpasar bertekad untuk memberi kehidupan lebih layak bagi anak-anaknya.
Romantisme Nengah Purna akan kebanggan masa lalunya sebagai kusir dokar membangkitkan pertanyaan, tidakkah ada selain pemerintah, semacam kelompok yang mengkoordinir ataupun aktif dalam mengurus persoalan-persoalan dokar di Denpasar. Bukankah Denpasar memiliki Perdoden; Persatuan Dokar Denpasar.
Apa kabarnya Perdoden hari ini?
Perdoden. Nama itu sempat terbersit ketika Nengah Purna menceritakan keluh kesahnya mengenai nasib dokar kini. “Sekarang sudah mati. Tahun ini,” ujarnya dengan suara samar. Dia menyambung lagi. Dulu, biasanya Perdoden membuat baju kaos berlabel Perdoden di belakanganya. Maka, kusir-kusir dokar anggota Perdoden mudah dikenali.
“Sekarang sudah tidak ada yang memakai kaos Perdoden. Sudah dari lama,” terangnya.
Nengah Purna yang juga anggota Perdoden tak ingat betul sejarah, kegiatan dan hal-hal lain tentang Perdoden. Seingatnya, Perdoden ini wadah untuk mengatur keberadaan dokar-dokar di Denpasar. Hal senada diungkapkan Aridus Jiro, salah seorang tokoh masyarakat Denpasar. “Tugasnya, ya, mengatur internal organisasi mereka,” terang Aridus.
Menurut cerita Aridus, salah satu mantan anggota DPR pernah menjadi pengurus Perdoden. “Kalau tidak salah namanya I Wayan Puger. Sekarang jadi pemangku,” katanya.
Mengapa Perdoden tidak terdengar lagi gaungnya? Apakah lantaran jumlah dokar kian menciut dan anggotanya perlahan-lahan mulai beralih pekerjaan? Atau karena dokar kian terjepit di antara kepungan kendaraan-kendaraan pribadi lebih canggih?
Kalau dulu dokar-dokar di Denpasar di bawah naungan Perdoden, kini ketika Perdoden tidak ada, apakah kusir-kusir dokar yang masih bertahan, akan menyerah?
Menyusut
Nengah Purna, hampir 37 tahun menjadi kusir dokar sejak tahun 1963, masih ingin tetap bertahan meski sesepi apa pun penumpang.
Tiap hari dari pukul 13.00 hingga 18.00 wita, Nengah Purna mangkal di depan Pasar Badung, dekat pura. “Ya kalau tidak ada halangan, seperti upacara adat atau apa, saya usahakan untuk narik,” ujarnya.
Meski jumlah uang yang dibawa pulang hanya sekitar Rp 10.000 hingga Rp 30.000,00 dan kala-kala tertentu bisa berkali lipat dari itu, Nengah Purna tidak menuntut banyak. Terlebih terlampau mengharap uluran tangan pemerintah, menuntut ini itu.
Nengah Purna usaha yang dilakukan pemerintah, terlebih menjadikan dokar sebagai salah satu komponen yang mendukung wisata kota Denpasar. “Ya, pas ulang tahun kota Denpasar dokar-dokarnya dihias, pawai keliling kota”, cerita Nengah Purna.
“Wisatawan kadang ada saja yang naik dokar. Tapi itu sudah jarang sekarang,” jelasnya. Lanjutnya lagi, turis-turis yang datang dan hendak berkeliling berwisata di Kota Denpasar dengan dokar kebanyakan turis-turis Jepang sedangkan turis-turis Eropa dan mancanegara lainnya dinilai jumlah kedatangannya mulai menyusut terlebih pasca bom.
Nengah Purna dan beberapa kusir dokar yang masih bertahan di sejumlah titik di kota Denpasar semisal di dekat area Pasar Badung, berharap semoga dokar tetap diminati, yang terpenting adalah dilestarikan agar tidak punah. Dengan jumlah dokar yang masih tersisa sedikit, semoga upaya-upaya pelestarian tak surut digalakkan. [b]?
Foto diambil dari blog I Gusti Ag Md Yogiswara.