Sejak zaman Hindia Belanda hingga kini, propaganda industri pariwisata Bali telah melahirkan banyak kebohongan.
Kebohongan tersebut disusun dengan rekayasa sangat sistematis melalui berbagai pencitraan Bali. Misalnya, jargon Pulau Surga, Surga Terakhir, Pulau Dewata, dan semacamnya. Kebohongan itu kemudian dilembagakan dan disebar oleh industri pariwisata. Dia berkonspirasi dengan perangkat-perangkat lain, seperti media massa, lembaga pemerintah, adat dan agama.
Kebohongan itu pada akhirnya membangun persepsi, memanipulasi alam pikiran (kognisi), mempengaruhi perilaku, untuk responsif terhadap target-target yang diinginkan industri pariwisata.
Propaganda industri pariwisata Bali yang dirintis sejak awal abad ke-19, telah mampu menyatukan persepsi masyarakat Bali untuk melestarikan dan mempertahankan citra Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata terpenting di dunia. Citra-citra Bali yang Mooi terus menerus dipelihara banyak orang. Namun, ironisnya, pada saat bersamaan terjadi perusakan dan penghancuran sistematis terhadap elemen-elemen yang dijual industri pariwisata itu sendiri. Misalnya, perusakan terhadap seni dan budaya, serta penghancuran alam.
Kebohongan dan kenyataan saling tumpang tindih, merebut ruang kesadaran kita. Citra Bali sebagai Pulau Surga, misalnya, merupakan suatu bentuk kebohongan yang terus dipelihara. Sementara itu, kenyataan di Bali bertolak belakang dengan pencitraan itu. Tanah-tanah tepi pantai, pinggiran sungai, tepi jurang nyaris ludes disulap jadi hotel, restoran, vila dan bungalow. Kawasan jalur hijau dan persawahan berubah jadi bangunan ruko (rumah toko), perumahan dan kafe.
Di kawasan kota, seperti Denpasar dan Kuta, kemacetan semakin memprihatinkan. Jalan-jalan makin sempit. Tak mampu menampung jumlah kendaraan yang makin membludak.
Kemacetan makin diperparah dengan proyek-proyek perbaikan pipa air, kabel, saluran limbah, serta kerusakan jalan. Pasar rakyat berhadapan dengan hypermarket, warung-warung bersaing dengan Circle K, MiniMart. Sampah plastik, limbah rumah tangga, pabrik dan hotel mencemari saluran-saluran irigasi, sungai-sungai dan pantai.
Dalam bidang sosial, budaya, agama juga terjadi kegoncangan. Pratima dan benda sakral di sejumlah Pura dicuri, justru oleh orang Bali sendiri, dan dijual sebagai barang antik. Persoalan batas desa/banjar, rebutan tanah kuburan, sengketa tanah pelaba pura, rebutan lahan parkir, sanksi adat yang melanggar hak asasi manusia (HAM), polemik tata ruang dan aturan ketinggian bangunan, pergolakan partai politik, korupsi, keculasan pejabat pemerintah, seringkali menjadi berita hangat di media massa. Bahkan, tak jarang, persoalan-persoalan ini menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Begitu pula dengan bidang kesenian. Batas antara sakral dan profan semakin tipis. Ritual sakral dengan mudah dipermak untuk hiburan bagi para turis. Misalnya, ritual Makare-kare di Desa Tenganan, Karangasem, dijadikan daya tarik pariwisata dan dikemas dalam brosur memikat. Seniman-seniman tradisional dibayar murah, diangkut dengan truk layaknya sapi, dipentaskan di hotel-hotel berbintang. Penari-penari joged bumbung makin berani menampilkan atraksi vulgar, seperti bergoyang sambil mempertontonkan selangkangan. Semua bisa dikemas demi pariwisata. Demi pariwisata pula, Bali dieksploitasi habis-habisan.
Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari banyak persoalan dan kenyataan yang terjadi di Bali. Namun hingga kini di benak banyak orang, Bali masih tercitrakan sebagai Pulau Surga. Bahkan, citra itu telah melenakan orang Bali sendiri sehingga kurang peduli dengan berbagai persoalan yang menimpa tanah kelahirannya.
Bayak dan Lukisan “Sukawatian”
Ketidakpedulian, kurangnya sikap kritis terhadap Bali, telah merambah benak banyak perupa Bali. Pelukis-pelukis lulusan perguruan tinggi seni, misalnya, kebanyakan memilih jalan aman dan nyaman sebagai “pengerajin” lukisan. Sehingga karya-karya yang hanya mengejar keindahan, “made to order”, dan berbau turistik mendominasi seni rupa Bali. Karya-karya seperti ini turut andil mengekalkan kebohongan tentang Bali.
Di Bali, idealisme berkesenian menjadi “barang langka”. Tak mudah mencari perupa Bali yang peka terhadap berbagai persoalan yang menimpa Bali dan mengekspresikannya secara intens ke dalam karya. Kebanyakan dari mereka hanya sibuk dan asyik meladeni selera pasar. Sibuk mengorek estetika formalistik, namun melupakan eksplorasi gagasan dan materi karya.
Pendek kata, mereka asyik masyuk masturbasi dengan estetika. Melupakan berbagai persoalan yang berseliweran di depan hidungnya.
Di tengah ketidakpedulian perupa Bali terhadap persoalan-persoalan yang menimpa tanah kelahirannya, saya tertarik dengan proses berkesenian Made Muliana Bayak. Saya mengikuti sepak terjangnya sejak dia masih aktif di Klinik Seni Taxu. Banyak karyanya secara intens mengritisi persoalan-persoalan sosial di Bali, bahkan isu-isu yang bersifat global.
Tidak hanya lewat media seni lukis, Bayak juga menumpahkan unek-uneknya melalui seni instalasi, object art, performance art, mural, dan musik rock. Bahkan, tak segan-segan dia berkolaborasi dengan para aktivis untuk menyuarakan opininya tentang berbagai persoalan dan isu aktual, baik isu sosial, budaya, ekologi, kapitalisme, globalisasi.
Gagasan pameran tunggal Bayak kali ini didasari kegelisahannya menyaksikan berbagai persoalan yang menimpa Bali. Persoalan yang muncul dari imbas dan ampas negatif industri pariwisata yang begitu didewa-dewakan di Bali. Termasuk pencitraan Bali sebagai Pulau Surga, yang hingga kini masih terus diproduksi dan dikekalkan melalui lukisan-lukisan “Sukawatian”.
Istilah “Sukawatian” dipakai untuk menyebut lukisan tiruan Mooi Indie yang banyak dijual di Pasar Seni Sukawati, pasar seni sangat legendaris di Bali. Lukisan jenis ini dengan mudah juga ditemui di Pasar Seni Guwang, toko oleh-oleh, dan artshop-artshop di objek-objek pariwisata di Bali. Lukisan turistik ini diproduksi secara massal, karena sangat diminati para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Lukisan-lukisan ini menjadi benda kerajinan yang murah meriah, yang menggambarkan eksotisme Bali, terutama keindahan alam, seni budaya, dan perempuan telanjang dada.
Lukisan “Sukawatian” merupakan salah satu bentuk kebohongan. Kebohongan yang terus menerus dijejalkan ke dalam benak banyak orang. Akibatnya, lama kelamaan dianggap sebagai suatu kenyataan. Lukisan-lukisan palsu ini atau jenis lukisan turistik lainnya memberi kesan seolah-olah tak ada persoalan gawat di Bali. Seolah alam Bali serba damai dan permai. Seolah kehidupan sosial berlangsung bersahaja dan tentram. Seolah seni budaya Bali paling eksotis. Seolah masih bisa dijumpai gadis-gadis jelita telanjang dada di jalanan desa permai.
Lukisan-lukisan ini hanya bentuk kecil dari produksi kebohongan yang lebih besar di Bali.
Dalam proses mewujudkan gagasan pameran ini, Bayak membeli sejumlah lukisan tiruan Mooi Indie di Pasar Seni Sukawati. Kemudian, di atas lukisan-lukisan tiruan itu, Bayak menuangkan unek-uneknya. Dia memberikan gambaran kenyataan dan permasalahan di Bali. Bayak membubuhkan kritik, sindiran, maupun gambaran ironis, di atas lukisan penuh kebohongan. Dalam proses ini terjadi dialektika antara kebohongan dan kenyataan. Hasilnya, muncullah gambaran kontradiktif atau paradoks.
Misalnya, di atas lukisan “Sukawatian” yang bertema Pura Ulun Danu, Bayak membubuhkan grafiti warna merah berbunyi “SOLD”. Atau, pada lukisan pemandangan alam, Bayak menambahkan dengan objek-objek ironis, seperti tembok batako, perumahan, gedung-gedung bertingkat, papan reklame jual tanah, dan sebagainya.
Persoalan ketinggian bangunan selalu menjadi polemik hangat di Bali, seiring semakin terbatasnya lahan. Bukan tidak mungkin suatu saat bangunan-bangunan melebihi 15 meter tingginya akan menjadi pemandangan yang dianggap wajar di Bali, seperti perumahan-perumahan yang mengikis tanah-tanah persawahan. Begitu pula jalan layang akan menjadi kenyataan, sebagai upaya mengatasi kemacetan. Tata ruang Bali semakin amburadul. Begitulah.
Karya-karya Bayak berupaya “mengganggu” persepsi pemirsa, bahwa Bali mengandung banyak persoalan yang harus terus dikritisi bersama.
Pameran ini dipersiapkan hanya dalam waktu sekitar dua bulan. Dimulai dari proses diskusi intensif berkaitan dengan gagasan-gagasan Bayak, pengumpulan bahan, pengerjaan hingga display karya. Pameran ini tidaklah bertujuan untuk menampilkan kecakapan teknis maupun kecanggihan pencapaian estetika yang sudah stagnan. Dengan pernyataan lain, buat apa melukis perihal keindahan atau eksotisme jika lukisan semacam itu dengan mudah ditemui di pasar seni sebagai benda souvenir atau kerajinan? Jadi, pameran parodi ini dirancang untuk mewadahi “gagasan”, “suara” atau “opini” dalam menyikapi berbagai rupa persoalan yang menyeruak di Bali.
Target pameran ini tidak hanya menampilkan opini di atas lukisan yang berbau kebohongan. Melainkan juga sebagai bentuk sindiran terhadap para “pelukis” yang memilih jalan aman sebagai “pengerajin” lukisan. Dalam tatanan lebih luas, pameran ini juga mengritisi kehidupan seni rupa di Bali yang kehilangan ruh gagasan dan idealisme, yang hanya tunduk pada selera pasar.
Karya-karya parodi ini mungkin membuat orang tertawa miris. Atau sebagian menganggapnya sebagai lelucon seperti melihat gambar kartun atau karikatur. Namun, Bayak telah berupaya mengkritisi Bali dengan berbagai persoalannya. Ya, Bali telah banyak berubah. Ke depan, persoalan yang dihadapi Bali akan semakin bertambah kompleks. Orang Bali mesti terus mengritisi Bali. Sebab Bali bukan warisan, melainkan titipan untuk generasi mendatang. [b]
Tulisan ini merupakan kurasi Pameran Made Muliana Bayak di Griya Santrian Gallery, Sanur. Pameran akan berlangsung pada 20 Januari – 2 Maret 2012 nanti.
Izin share di facebook.com/geekssmile ya. Suksma
Memang tidak semua karya seni “harus” menampilkan kebenaran. Realitas yang ada mungkin bertolak belakang dari apa yang ditampilkan dalam karya seni tapi bukan berarti sang seniman menolak kenyataan, karena ini hanyalah soal pilihan dan cara pandang seseorang dalam melihat realitas.
Pameran yang spektakuler… sepertinya 1 Walikota, 8 Bupati dan 1 Gubernur harus datang…!!!, agar mulai membuka mata, kalau kalau peraturan yg social engineer holic mereka telah berhasil… sangat berhasil bekerja dengan baik… law as tools as social engineering untuk PAD… mbuahahahaha (*ketawa Rahwana
Wong Bali marah….., itulah kesan saya, meski kekhawatiran, kecemasan dan kemarahan serupa, juga telah hadir, jauh sebelum generasi sekarang menorehkan pandangan-pandangannya. Namun, seperti yg terlihat kebudayaan yang Bali itu, pada akhirnya tetap melaju, meninggalkan segala kekhawitan, kecemasan dan kemarahan-kemarahan itu. Barangkali, sikap dan tawaran-tawaran strategi kebudayaan yang menuntun dan meneduhkanlah yang lebih bisa menenteramkan berbagai rasa kegalauan sprt itu. Dan sepengetahuan saya, hal itu masih sangat sepi, dan terus kalah cepat dengan kaum eksternal yang ingin mewujudkan mimpi-mimpi’nya di Bali. Wujud pariwisata sekarang ini adalah mimpi-mimpi mereka itu, yang bukan omomg kosong, tetapi telah dirasa nyata. Namun dari sudut pandang yg lain telah menimbulkan kemarahan Wong Bali tersebut. Inilah pentingnya mencipta mimpi-mimpi itu. Tentunya jika tidak ingin kemarahan itu menjadi warisan generasi-generasi berikutnya, apa mimpi-mimpi Wong bali yang lebih cepat bisa terwujud daripada mimpi-mimpi kaum eksternal itu? ….
siapa yg melakukan propaganda?siapa yg berbohong?siapa yg memelihara kebohongan? membaca ini sepertinya pariwisata hanya tumpukan laknat, tiada manfaat. pdhl kalo sedia melihat jernih. semua fenomena pasti ada hitam putih. tinggal kearifan kita melihat putih dalam hitam.dan sebaliknya. ayolah