Oleh I Ngurah Suryawan
Keseluruhan sejarah yang ditulis selalu tentang ruang-ruang—yang dalam waktu yang bersamaan adalah sejarah tentang kekuasaan-kekuasaan (plural)—mulai dari strategi-strategi besar geopolitik sampai taktik-taktik kecil tentang habitat, arsitektur institusional, mulai dari ruang kelas sampai desain rumah sakit, terus melintasi instalasi-instalasi ekonomi dan politik. (Michel Foucault, Power/Knowledge)
Lemahnya studi media dan kajian teori tentang kebudayaan pada umumnya memberikan jalan mulus bagi dominasi studi politik dan ekonomi atas media massa. Di situ media dianggap sebagai sebagai barang mati. Ia tidak lebih daripada sebuah “alat” propaganda politik penguasa menindas rakyat , atau “alat” propaganda tandingan di tangan kaum oposisi untuk melawan tirani penguasa. (Ariel Haryanto, 2000)
“Jati diri masyarakat Bali, manusia Bali memang merupakan pondasi yang kuat untuk mengajegkan Bali. Namun ketahanan ekonomi masyarakat Bali merupakan hal yang mutlak diperlukan bagi manusia Bali. Oleh karena itu karma Bali, marilah kita bersama-sama bergabung memecahkan masalah social kita, baik di sector nelayan, di sector informal dan sebagainya, dalam suatu wadah KOPERASI KRAMA BALI” (Satria Naradha)
Kutipan dari Ariel Haryanto menawarkan sebuah perspektif baru tentang kajian media dalam ranah pembentukan politik kebudayaan, bukan hanya sekadar “alat” propaganda politik, seperti beberapan kajian dari political science tentang media. Perspektif ini tentu bukan barang baru, tapi selayaknya pantas untuk diperhatikan. Salah satu hal yang diungkapkan Ariel adalah bagaimana peranan bahasa sebagai kekuatan social tersendiri dalam membentuk politik kebudayaan sebuah media. Selain hal tersebut, ekonomi politik media massa juga menjadi perspektif yang lain.
Artikel ini mencoba untuk berdasar pada perspektif tersebut. Sebagai sebuah studi ekonomi politik plus politik kebudayaan, artikel ini mencoba untuk melebarkan perspektif dalam melihat bagaimana relasi antara politik industri media, dalam hal ini adalah KMB (Kelompok Media Bali Post) dan campur tangannya dalam pembentukan jargon politik kebudayaan (Ajeg Bali). Sebagai sebuah studi awal, artikel ini lebih menekankan pada “di balik layar” pembentukan politik kebudayaan (Ajeg Bali).
Ngiring Ngajegang Baline: Genealogi Jargon Ajeg Bali
Tanpa sengaja, di sebuah perempatan jalan padat di kota Denpasar, saya melihat sebuah papan reklame besar, tinggi menjulang. “Anggen Bahasa Bali ne, Ajegang Bali ne, Lestariang Budaya Bali”. Di bawah teks tersebut tertulis logo Bali TV, group dari KMB.
Lima tahun terakhir, deman jargon Ajeg Bali membius perbincangan berbagai kalangan dan nafas kehidupan manusia Bali. Tidak ada yang boleh lepas dan melupakan jargon Ajeg Bali. Mulai dari lomba jalan santai, kursus potong rambut, bakti social, pesangkepan banjar (pertemuan desa) hingga kampanye para kepala desa dan tokoh politik. Belum lagi ruang-ruang surat pembaca dan dialog interaktif di media massa hingg program khusus di sebuah stasiun televisi. Jargon ini seolah menjadi nyawa dalam setiap perbincangan, diskusi, sambutan kepala daerah, bahkan di arena tajen (sabung ayam), bius kata Ajeg Bali menjadi renyah dikunyah para bebotoh (penjudi), para pejabat, petani, dan tetua-tetua adat.
Berbekal “pembenaran” bernama Ajeg Bali inilah tersebar berbagai macam perdebatan yang panjang tentang konstruksi kebudayaan Bali. Berbagai macam perdebatan muncul silih berganti. Salah satu hasil dari pertentangan tersebut berujung kepada sebuah tekad bagaimana “menjaga” agar budaya Bali tetap kokoh dan kuat menerima berbagai macam pengaruh yang “mengancam” keutuhan budaya Bali. Ancaman tersebut tidak hanya datang dari pengaruh luar yang dianggap “merusak” budaya Bali, tapi orang Bali sendiripun berpotensi untuk “merusak” kebudayaannya sendiri tanpa disadari. Yang lain (the others dalam hal ini tidak hanya sebatas etnis.
Sebelum mengamini pendapat ini, ada baiknya melihat bagaimana cara kita memandang Bali. Apakah ia sebuah hak milik yang baku, dengan budayanya yang pantas untuk dipatenkan, dikekalkan menjadi barang langka dan steril dari pengaruh budaya lainnya, sehingga ada alasan kuat kita untuk melestarikannya? Seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan melakukan politik Baliserring, Balinisasi, pentradisian Bali menjadi museum hidup.
Karena itulah Degung Santikarma (1994) dalam sebuah artikelnya mengungkapkan salah satu perspektif dalam melihat Bali adalah sebagai sebuah dekonstruksi, (Bali) sebuah “bangunan” yang harus terus dibongkar jika tidak ingin beku, statis, dan mati tidak bernyawa. Karena kesadaran untuk terus membongkar itulah budaya Bali selayaknya dipahami sebagai sebuah “bentukan” dari berbagai campur tangah agency dan kekuasaan yang membentuknya.
Politik kebudayaan Ajeg Bali membentuk tangan-tangan, jejaring, agency manusia, yang tergabung dalam berbagai kelompok massa—bisa kelompok massa adat, politik, pemuda, dan lainnya. Jejaring kekuasaan kelompok massa itulah yang kemudian menjadi pengawas, penjaga kebudayaan. Muncullah satuan pengamanan, polisi adat bernama pecalang, yang tidak hanya menjadi pengaman upacara ritual di Bali, juga menjadi satuan pengaman partai politik, menjaga konser musik sampai melakukan sweeping penduduk pendatang. Pada bagian kedua buku ini secara sederhana akan diuraikan bagaimana genealogi dan aksi para jago-jago lokal ini, termasuk kiprah satuan pecalang.
Perdebatan wacana Ajeg Bali mengalir deras pasca ledakan Bom Bali di Legian, 12 Oktober 2002. Saat sebuah momentum besar dan sebagai titik awal menggeliatnya berbagai wacana stabilitas serta keamanaan Bali, dan yang terpenting terbangunnya pondasi landasan politik kebudayaan Bali pasca Bom Bali 2002.
Gambaran ideal Ajeg Bali memberikan banyak perspektif dan memunculkan debat yang panjang. Ada yang mengungkapkan Ajeg Bali sebagai sebuah agenda setting politik kebudayaan Bali, dimana salah satu poin pentingya adalah bagaimana menanamkan kepercayaan diri cultural (cultural confidence). ABG Satria Naradha, pimpinan Kelompok Media Bali Post (KMB) menuliskan memang tidak mudah mewujdukan cita-cita (Ajeg Bali) tersebut.:
Perlu banyak pengorbanan. Dalam ajaran agama Hindu, ada konsep yang mengajarkan tentang mulat sarira atau mawas diri. Mawas diri terhadap apa yang telah dilakukan dan apa yang mesti dilakukan. Dalam konteks mewujudkan keajegan Bali, hal itu mesti dilakukan di tengah keterpurukan sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Walaupun atas semua itu kita harus mebrata. Mebrata dapat berarti menghentikan segala bentuk pembangunan yang menghabiskan ruang, hilangnya jati diri, kesenjangan social ekonomi, ketidakadilan, dan hilangnya spiritualitas. Namun mebrata bukan pula berarti stagnan, tetapi melakukan pembenahan secara terus-menerus demi tertata tatanan kehidupan yang harmonis dan berkesinambungan tanpa harus kehilangan jati diri sebagai manusia Bali. (Satria Naradha, 2004).
Banyak cita-cita ideal dari Ajeg Bali, tapi tak kalah juga kritik pedas terhadapnya sebagai sebuah strategi komoditas “pemurnian budaya” yang digerakkan mesin industri media terbesar di Bali, KMB. Degung Santikarma mengungkapkan terminology Ajeg Bali berasal dari bahasa Bali biasa yang mempunyai arti “kokoh, tegak, tegar, kekal,, kencang, kuat, dan stabil”.
Merunut pemikiran yang ada dalam wacana Ajeg Bali, walaupun mengalami guncangan ledakan bom yang dahsyat, kebudayaan Bali tetap berwibawa, tak tergoyahkan, berdiri tegak, kokoh, dan tegar. Dengan memakai bahasa local, Ajeg Bali mempromosikan diri sebagai wacana populis untuk membayang-bayangi otoritas elite tradisional, yaitu kaum Brahmana, aristokrasi, dan kekuasaan negara yang memakai bahasa Sansekerta sebagai tanda legitimasi atas peradaban seperti dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Panca Dharma Wanita, dan Sapta Pesona. (Degung Santikarma, 2004).
Degung melanjutkan, dibalik bahasa akrab Ajeg Bali, tersembunyi ketidaksetaraan gender dan keperkasaan. Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Melalui program “Bali Lestari”, pemerintah Orde Baru meneruskan cita-cita penjajah yang sama-sama melihat kebudayaan Bali sebagai “gadis cilik yang molek” yang lemah lembut dan tidak berdaya. Bali sebagai “dara bajang” harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya. (Degung Santikarma, 2004).
“Jargon Kebudayaan” Ajeg Bali tidak hanya membius identitas “ke-Balian” masyarakat Bali, tapi secara tanpa sadar disamping ia–Ajeg Bali–telah membekukan kebudayaan, menjadikannya hak milik, juga menyulut benih-benih gerakan esensialisme kebudayaan, dan juga benih-benih fundamentalisme Hindu. Ini karena Ajeg Bali—bagi pengikut gerakan esensialisme budaya– seharusnyalah berdasar pada ajaran-ajaran agama Hindu yang mendasari kebudayaan Bali. Maka disebutlah kemudian Ajeg Bali seharusnyalah juga Ajeg Hindu.
Politik kewaspadaan baru ini terbilang ampuh untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis dari kelompok-kelompok subaltern di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali adalah Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana inilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang Ajeg Bali.
Di sinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Dan negara dalam bayangan kita tidak jauh-jauh, tapi saudara, teman-teman kita yang menjadi agency-agency dari manusia orde baru. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakn jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya. Negara secara terus-menerus melaksanakan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun. Di lain soal, masyarakat Bali patuh, apolitis dan pragmatis membayangkan gemerincing dollar akan membangunkan mereka dari tidur panjang.
Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali).
Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya dalam keseharian masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya. (Degung Santikarma, tanpa tahun)
Ajeg Bali dan politik kewaspadaan serta curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, sasaran-sasaran.. (Haryatmoko, 2004).
Media dan (Kuasa) Pariwisata
Di Bali, salah satu segmen besar media adalah bisnis pariwisata. Begitu besar peluang media untuk menyasar jantung kebudayaan Bali ini. Tapi media yang ingin mengambil pasar pariwisata ini harus memperhatikan kitab wajib yang terlarang kalau dilupakan. Medianya harus memperhatikan spirit pariwisata yang ada di Bali. Ya, “ideology pariwisata budaya”. Karena itulah maka media pariwisata Bali harus memperhatikan dan memberikan ruang yang besar bagi “eksotika Bali”.
Media dan kuasa industri pariwisata bergandeng erat di bawah payung ideology pariwisata budaya. Menghadirkan eksotika Bali di media-media pariwisata adalah “kewajiban”, dan memang akan disantap dengan nikmat oleh wisatawan. Pariwisata, budaya, dan kuasa adalah setali tiga uang. Dan industri media memanfaatkan peluang ini untuk mengembangkan sayapnya.
Michel Picard (2006) dalam studinya yang mengesankan tentang pariwisata budaya dan budaya pariwisata mengungkapkan: Tidaklah cukup pariwisata bali menjadi “pariwisata budaya” tapi harus juga kebudayaan Bali menjadi, dalam batas tertentu, “pariwisata budaya”. Keharusan ini menimbulkan dalam wacana orang Bali suatu sikap mendua pada cara mereka menanggapi kebudayaan mereka, apakah dikaitkan dengan pariwisata atau tidak. Bila sebelum kedatangan wisatawan kebudayaan ditanggapi sebagai “warisan” yang harus diselamatkan, sebaliknya setelah kehadiran wisatawan kebudayaan Bali berubah dianggap menjadi suatu “modal” yang harus dilipatgandakan.
Apa yang diungkapkan Michel Picard menunjukkan bagaimana transformasi pergolakan politik kebudayaan pembentukan “pariwisata” terjadi di Bali. Rezim Orde Baru—dengan warisan politik kebudayaan colonial menciptakan pariwisata sebagai jantung pergerakan ekonomi Bali. Lewat “doktrin” pariwisata budaya, Orde Baru berhasil menciptakan kembali bali menjadi destinasi pariwisata dengan “keunikan” budayanya.
Beriringan dengan “pembinaan kebudayaan”, pariwisata masuk menyentuh kehidupan kebudayaan Bali. Bahkan hubungan kebudayaan dan pariwisata telah membadan dan menjadi penentu gerak langkah kebudayaan Bali. Tapi doktrin “pariwisata budaya” seperti diungkapkan Picard (2006) mengalami perdebatan panjang.
Pertentangan awal antara kebudayaan dan pariwisata dirumuskan dalam suatu system oposisi yang memperhadapkan cirri-cirinya masing-masing di seputar dua poros, yaitu “dalam”/ “luar” dan “nilai budaya”/ “nilai ekonomi”. Pemecahan yang ditawarkan oleh Pariwisata Budaya adalah meniadakan keberadaan oposisi mendasar ini dengan menukarkan masing-masing ciri-ciri kebudayaan dan pariwisata untuk memungkinkan peralihan dari satu ke lainnya.(Michel Picard, 2006)
Peralihan tersebut ungkap Picard dilakukan dengan mendekatkan secara serentak pariwisata dari kebudayaan dan kebudayaan dari pariwisata. Di satu pihak, begitu pariwisata dicap sebagai “pariwisata budaya”, sekan-akan diserahkan ciri-ciri dari budaya tersebut, dan terusirlah ancaman pengerusakan yang terkandung dalamnya sehingga dapat diberikan cap pengesahan untuk masuk Bali. Namun tentu itu saja tidaklah cukup. Meskipun dinyatakan bahwa pariwisata harus bersifat “budaya” untuk diterima oleh orang Bali, harus juga kebudayaan Bali diupayakan dapat ditawarkan di pasaran sebagai produk pariwisata. Maka akibatnya adalah kebudayaan bali harus berciri pariwisata. (Picard, 2006: 268).
Dalam wacana Pariwisata Budaya, “kebudayaan Bali” selalu dikaitkan dengan tiga unsure, yang merupakan tiga lapis yang betumpang tindih satu sama lainnya: bersumber pada agama Hindu, emngilhami adapt-istiadat masyarakat dan menjiwai lembaga adapt, dan menjelma dalam bentuk seni yang bernilai tinggi. (Picard, 2006: 269).
Dasar dari doktrin Pariwisata Budaya tersebut jelaslah tidak bisa dilepaskan dari kuasa colonial dalam pembentukan citra Bali, dan juga paradigma menjadikan budaya sebagai “modal dan hak milik” yang dijual dalam topeng pariwisata. Dengan kembali melihat konstruksi kolonial terhadap Bali yang “tradisi”, unik dan harmonis itu, kita akan dibawa oleh melihat bagaimana transformasi kekuasaan colonial diterjemahkan dengan sangat apik oleh tangan-tangan rezim otoritarian Orde Baru.
Kelahiran “manusia-manusia Orde Baru” berdiri dengan dasar politik kekuasaan kolonial yang menyentuh seluruh lapisan kehidupan dan pikiran manusia Bali. Tapi sayangnya, relasi kekuasaan kolonial tersebut terwarisi hinga kini dan membentuk pikiran, tindakan, dan sikap budaya manusia Bali sendiri. Pada titik inilah, kekuasaan telah beroperasi dengan sangat produktif dan efektif; ketika ia (kekuasaan tersebut) diilmiahkan keberadaannya. Seperti juga “warisan kebudayaan” Bali yang kita terima hingga kini. Padahal di balik semuanya, terdapat jejaring kekuasaan yang menciptakan adat/istiadat, ritual, kebudayaan, hukum adat, politik, dan sudah pasti relasi social dalam masyarakat Bali. Semuanya menjadi agenda kekuasaan rezim kolonial untuk mengatur, mendisiplinkan, menertibkan masyarakat daerah jajahannya.
Kelompok Media Bali Post: Dari De Koh Ngomong ke Ajeg Bali
Bali Post sebagai ikon surat kabar di Bali terbit semula bernama Suara Indonesia pada 16 Agustus 1948 dengan badan penerbit Suara Indonesia. Perintisnya adalah K. Nadha dibantu Made Sarya Udaya dan I Gusti Putu Arka—keduanya teman seperjuangan K. Nadha ketika bekerja sebagai wartawan di surat kabar Bali Shimbun yang terbit di Denpasar pada waktu pendudukan Jepang, 1943-1945. Pada tahun 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua penerbitan harus berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada, nama Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Marhaen edisi Bali. Lantas pada bulan Juni 166 sampai dengan Mei 1971, diganti lagi namanya menjadi Suluh marhaen edisi Bali. Tahun 1971 barulah kemudian berubah menjadi Bali Post. Berikutnya, pelebaran gurita bisnis media Bali Post melahirkan Bali TV, televisi local Bali yang dikelola oleh PT Bali Ranadha Televisi pada 26 Mei 2002 dengan ABG Satria Naradha (anak K. Nadha) menjadi Direktur Utama/CEO Bali TV. (K Nadha Sang Perintis, 2001).
K. Nadha lahir di Banjar Tampakgangsul, Denpasar 1925. Ia mengawali kariernya sebagai wartawan sejak tamat Taman Dewasa, ketika mulai bekerja sebagai wartawan Bali Shimbun di denpasar, pada masa penjajahan Jepang. Selama menggeluti kariernya di dunia jurnalistik dalam empat zaman tiada pernah terputus, yakni dalam era penajajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, Ia pernah menjabat ketua perwakilan PWI Bali (1957-1966), Komisaris NV Percetakan Bali, Direktur Utama PT Bali Post, dan Komisaris utama PT Bali Post selain pemimpin umum/pemimpin redaksi Bali Post hinga akhir hayatnya 5 Januari 2001.
Ia (K.Nadha) pengemban pengamal pancasila (yang kemudian menjadi moto Bali Post) yang konsisten, juga pada zaman Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai sumringah di Bali. Ia pernah diinterogasi 11 jaksa secara bergantian, gara-gara Suara Indonesia memuat berita yang tidak membenarkan cara-cara politik PKI dalam sebuah rapat umum di Bali. Penghargaan berupa piagam “Penegak Pers Pancasila” diterimanya 27 September 1995. Ia juga pernah menerima penghargaan dari pemerintah bersama tujuh wartawan senior, di Solo, 8 Februari 1996. (Widminarko dan Darma Putra, 2006)
Bali TV lahir pada 26 Mei 2002 yang dikelola PT Bali Ranadha Televisi. Kelahiran Bali TV merupakan bukti perjuangan generasi penerus pers cetak di Bali yang mencoba menjaga api yang menerangi visi dan misi perintisnya K Nadha (1925-2001) agar tetap bercahaya dalam era teknologi informasi. Bali TV sejak awal konsisten menghadirkan dinamika seni dinamika seni, budaya, agama dan segala aspek kehidupan masyarakat Bali. Dinamika ini dipilih dengan asumsi seni budaya merupakan poros kehidupan yang menggerakkan dimensi social, ekonomi, pertahanan, politik, hukum dan demokratisasi masyarakat Bali (Widminarko dan Darma Putra, 2006). Bali TV juga telah mengembangkan gurita bisnisnya dengan mendirikan televise-televisi local di Semarang, Yogya, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Lewat korporasi industri media inilah, KMB mengepakkan sayapnya dengan merancang sebuah jargon kebudayaan. Pada zaman Orde Baru, saat kebekuan manusia Bali bersuara untuk melawan “koloni Jakarta”, KMB mengeluarkan jargon “De Koh Ngomong” (jangan malas bicara). Jargon ini dihadirkan untuk “memprovokasi” manusia Bali agar berteriak, protes terhadap Jakarta (pusat) yang terus mengeruk kekayaan di Bali, tanpa memeberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat Bali. Disamping itu juga sebagai perekat identitas ke-Bali-an, mempersatukan masyarakat Bali.
Kini, KMB kembali melontarkan jargon Ajeg Bali dan kemudian berkembang menjadi Ajeg Hindu, yang berarti gerakan untuk menguatkan, mengokohkan, dan membentengi kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu dari ancaman pengaruh luar yang dibawa oleh pendatang. Gerakan penguatan kebudayaan ini diluncurkan pertama kali oleh pimpinan sebuah industri media terbesar dan berpengaruh yaitu Kelompok Media Bali Post (KMB). Di Harian Bali Post dan Bali TV, program Ajeg Bali dan Ajeg Hindu terus mendapatkan porsi dengan berbagai respon terhadap persoalan-persoalan yang melanda Bali.
Politik media massa berperan penting dalam merebut opini publik untuk pengganyangan komunis bekerjasama dengan media militer. Emperium media ini berhasil merebut kekuasaan media dan publikasi di Bali pasca 1965. Gurita bisnis dan kekuasaan media ini masuk dalam ruang-ruang pribadi manusia Bali, seperti selera lagu pop Bali, bahkan bakso dan soto Ajeg Bali.
Media ini bertahan dan berkuasa dengan menggunakan sentimen fluid bernama “penjaga budaya Bali” yang langsung disambut sumringah masyarakat Bali yang sedang terpuruk pasca Bom. Karena kompeksitas masalah, Ajeg Bali menjadi tong sampah yang menampung semua masalah yang menimpa Bali. ‘Menjaga Bali” perlu dilakukan dengan langkah apapun yang bermuara pada mengembalikan kekuatan masyarakat Bali dan bersandar pada kebudayaan dan agama Hindu.
Maka beragam program dan tema kegiatan ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya harus menyinggung Ajeg Bali. Dalam bidang pendidikan diadakanlah kompetisi pemilihan Guru dan Murid Ajeg Bali. Dalam bidang ekonomi terbentuk KKB (Koperasi Krama Bali) yang menyediakan dana bantuan pada krama (warga Hindu Bali) untuk berusaha. KKB juga melakukan pelatihan membuat bakso dan soto Ajeg Bali yang khas Bali.
Di balik soto dan bakso Ajeg Bali itulah dipentaskan berbagai macam kepentingan dari agency-agency manusia Bali. Ajeg Bali terlahir dan tumbuh dari kekuasaan modal yang besar dari sebuah industri raksasa media di Bali. Industri media ini memerlukan “dagangan”, idealisme dan visi. Dan sejarah telah mencatatkan namanya menjadi media pengusung nasionalisme di Bali. Nasionalisme itu kemudian bereinkarnasi menjadi “Menjaga Kebudayaan Bali”. Karena kebudayaan menjaga harta berharga, maka keaslian, keotentikan dan keberlanjutan menjadi harga mati. Ritual-ritual keagamaan terus dipompa, penggalian nilai keaslian budaya menjadi program utama. Dengan nilai itulah, media Ajeg Bali ini mengais keuntungan terus menerus dan mengepakkan sayap bisnisnya.
Ajeg Bali adalah kampanye miliaran rupiah dari sebuah industri media, yang dioperasikan lewat agen-agen manusia “berbudaya” hasil ciptaan Orde Baru dan ideologi “pariwisata budaya”. Juga lewat agency tangan-tangan kapitalis dari pemimpin televisi dan media massa yang beridealisme untuk “menjaga dan melestarikan kebudayaan Bali”.
Karena ancaman dari nak jawa itulah, gerakan penguatan identitas dan sentimen ke-BALI-an dari masyarakat Hindu Bali semakin terlihat dengan jelas. Gerakan ini mengatasnamakan agama Hindu Bali untuk membentengi kebudayaan Bali dari pengaruh luar yang berpotensi untuk menghancurkan kebudayaan Bali. Gerakan ini bernama Ajeg Bali dan Ajeg Hindu, yang berarti gerakan untuk menguatkan, mengokohkan, dan membentengi kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu dari ancaman pengaruh luar yang dibawa oleh pendatang. Gerakan penguatan kebudayaan ini diluncurkan pertama kali oleh pimpinan sebuah industri media terbesar dan berpengaruh yaitu Kelompok Media Bali Post. Anak Bagus Gede Satria Naradha adalah pimpinan kelompok media ini yang menguasai hampir semua segmen masyarakat Bali dengan media yang dibuatnya, dan juga stasiun televisi bernama Bali TV. Di Harian Bali Post dan Bali TV, program Ajeg Bali dan Ajeg Hindu terus mendapatkan porsi dengan berbagai respon terhadap persoalan-persoalan yang melanda Bali.
Salah satu tujuan gerakan ini penguatan ekonomi masyarakat Hindu Bali yang selama ini terasa terpuruk dan kalah bersaing dengan para pendatang. Maka lahirlah program “Koperasi Krama Bali” (KKB) dari Kelompok media Bali Post untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat Hindu Bali untuk berusaha membuka warung dan bersaing dengan pedagang-pedagang yang mayoritas berada dari luar Bali. KKB selain memberikan pinjaman modal juga melakukan pelatihan-pelatihan membuat soto, sate, dan bakso Ajeg Bali yang khas KKB untuk dapat bersaing dengan pedagang dari luar Bali. Mereka yang bergabung dalam KKB di setiap usahanya akan diberikan spanduk bertuliskan, “Binaan Koperasi Krama Bali”. Dan jika beruntung akan dimuat sebagai promosi di Harian Bali Post. Dalam iklannya di Bali TV, KKB lewat bakso, sate, dan soto Ajeg Bali adalah sukla (suci), bersih, dan asli Bali.
Selain ekonomi, gerakan penguatan kebudayaan Bali juga memunculkan kelompok-kelompok pemuda dan mahasiswa Hindu. Massa pemuda dan mahasiswa Hindu ini ditambah dengan anggota sekaa teruna (kelompok pemuda) desa-desa di Bali melakukan demonstrasi untuk secepatnya mengeksekusi mati tokoh teroris Amrozy, Imam Samudra, dan lainnya. Dalam dua kali aksi demonstrasi September-Oktober 2005. Mereka mengatasnamakan GAT (Gerakan Anti Teroris). Dalam dua kali aksi demonstrasi September-Oktober 2005, kelompok massa Hindu ini berbusana adat Bali dan melakukan persembahyangan saat demo berlangsung. Mereka mengecam teroris yang menghancurkan Bali. Mereka siap berperang sampai puputan (titik darah penghabisan) melawan teroris.
Beberapa hari sebelum aksi itu berlangsung, Bali sempat dipanaskan dengan munculnya selebaran berjudul “Bali dalam Genggaman” yang tersebar di desa-desa di Bali. Isi selebaran itu adalah memojokkan masyarakat Hindu Bali yang telah terpinggirkan karena pengaruh para pendatang yang menguasai hampir semua lahan kehidupan ekonomi di Bali. Karena itu, Pulau Bali telah dikuasai oleh Nak Jawa (pendatang) dengan perbandingan penduduk pendatang dan asli 60% berbanding 40%. Kelompok lainnya adalah sebuah organisasi intelektual pemuda Hindu yang sering melakukan protes terhadap “pelecehan” simbol-simbol dan cerita Hindu yang dipakai sampul kaset, cover buku, dan cerita sebuah film.
Mengenai munculnya kelompok-kelompok “pembela dan penjaga” nilai-nilai Hindu ini, IBM Dharma Palguna, seorang sastrawan dan intelektual Hindu, menuliskan sebuah catatan yang menggugah:
Dalam tradisi religius Hindu selalu ada kelompok yang punya semangat menggalirkan sehingga Hindu terus ada (sanatana). Tetapi, kelompok mengalirkan itu tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu oleh pihak yang justru menentangnya, yaitu kelompok yang selalu ingin membendung, alias menstandarkan nilai-nilai. Yang punya semangat mengalirkan umumnya mereka yang melakoni Hindu sebagai religiusitas universal, seperti Saraswati yang selain nama sebuah sungai juga berarti mengalir. Sedangkan yang mempunyai semangat membendung umumnya mereka yang berpikir bahwa Hindu adalah institusi yang standar, yang di dalamnya hanya ada “benar vs tidak benar” dan “boleh vs tidak boleh” (IBM Dharma Palguna, 2005).
Kedua pihak itu saling mengesahkan keberadaan masing-masing. Yang mengalirkan mengesahkan yang membendung, demikian pula sebaliknya, lewat konflik-konflik yang mereka bangun. Konflik itu terbangun karena tidak dengan mudah mengalirkan nilai-nilai yang bila telah dianut akan melembaga. Konflik itu juga terbangun karena tidak gampang membendung nilai-nilai yang secara alamiah cenderung mengalir menjelajahi ruang dan waktu. (IBM Dharma Palguna, 2005).
Dalam pentas pertarungan itu, terdapat pengokohan serta pelembagaan agama, dan di dalamnya termasuk sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan Agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. (Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, edisi 21 November 2005). Keinginanan untuk melawan terorisme, nak jawa (pendatang) dari masyarakat Hindu Bali diekspresikan melalui aksi terorisme gaya baru dengan sweeping penduduk, konservasi dan mengokohkan kebudayaan Bali.
Eksotisme Bali dengan penduduk yang sopan santun dan rasa toleransi yang tinggi mulai dipertanyakan. Pasca otonomi daerah dan bom meledak dua kali di Bali, bayangan eksotisme sopan santun dan toleransinya manusia Bali ternyata terbukti menjadi discourse yang dipergunakan rezim pembangunan Orde Baru melalui program “Pariwisata Budaya” untuk mendatangkan dollar dari industri pariwisata. Kebudayaan dipelihara untuk pariwisata, dan masyarakat Hindu Bali hanya menjadi manusia-manusia eksotik yang dimuseumkan.
Masyarakat Hindu Bali mulai menaruh curiga. Sopan santun dan toleransi yang berlebihan terhadap Nak Jawa, pendatang, kini dipergunakan untuk menghancurkan masyarakat Hindu Bali sendiri. Pernyataan dua tokoh berpengaruh di Bali, Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) Bali Irjen Polisi Made Mangku Pastika—kini telah diganti—dan rohaniawan Ida Pedanda Made Gunung meyakinkan masyarakat Hindu Bali. Made Mangku Pastika mengungkapkan, “Orang Hindu Bali kini seperti memberikan senjata kepada orang luar untuk membunuh orang Hindu Bali sendiri.” Sedangkan Ida Pedanda Made Gunung memprovokasi masyarakat Hindu Bali dengan pernyataan, “Orang Bali jual tanah untuk beli bakso, sedangkan orang luar jual bakso untuk beli tanah di Bali.”
Daftar Pustaka
Bagus, Prof. DR. I Gusti Ngurah, 2004, Mengkritisi Peradaban Hegemonik, Denpasar, Kajian Budaya Universitas Udayana Books.
Bali Post, 2004, Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita, Denpasar, Bali Post.
————, 2001, K. Nadha Sang Perintis, Denpasar, Penerbit Bali Post.
Dwipayana, AAGN, 2005, Bali: Surga Bertepi Kekerasan, Pengantar buku I Ngurah Suryawan, 2005, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Yogyakarta, Kepel Press.
Geertz, Clifford, 2000, Negara Teater, Yogyakarta, Penerbit Bentang Budaya.
Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault dalam Basis edisi Konfrontasi Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
Haryanto, Ariel, 2000, Media, Nasion, dan Sejarah dalam Dedy N. Hidayat, Effendi Gazali, Harsono Suwardi, Ashadi SK (ed), Pers dalam “Revolusi Medi”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Penerbit Gramedia.
Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi, Ashadi SK (ed), 2000, Pers dalam “Revolusi Medi”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Penerbit Gramedia.
Macgrae, Graeme dan I Nyoman Darma Putra, 2007, “A New Theatre-State in Bali? Aristocracies, the Media and Cultural Revival in the 2005 Local Elections”, Asian Studies Review June 2007, Vol. 31, pp. 171-189.
Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus, 1996, Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Dharma Sastra.
Palguna, IBM Dharma (ed), 2006, Bom Teroris dan “Bom Sosial”, Narasi dari Balik Harmoni Bali, Perspektif Korban dan Relawan, Denpasar, Yayasan Kanaivasu.
Pitana, I Gde, 1999, Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, Denpasar, Bali Post.
Robinson, Geoffery, 1995, The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali, Cornell University Press.
————————, 2006, Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta, LKiS.
Santikarma, Degung, 2002, “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”, Kompas Minggu 6 November 2002.
————, tanpa tahun, “Budaya, Kuasa, dan Pariwisata”, makalah terbatas.
————, 2000, “Kisah Bali dengan Keakraban dalam Kekerasan”, Kompas 1 September 2000.
————, 2003, “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger”,Kompas 7 Desember 2003.
————, 2001, ”Seni Melawan Seni”, dalam Kompas 11 Maret 2001.
————, 2004, “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas, 7 Juli 2004
————, 1994, “Bali Sebuah Dekonstruksi”, Nusa Tenggara, 22 Oktober 1994.
————, 2006, “Bulan Ingatan dan Pelupaan di Bali”, Kompas, 1 Oktober 2006.
Setia, Putu, 2004, Ajeg Bali atau Ajeg Hindu, dalam Majalah Raditya No. 89 Desember 2004.
Suryawan, I Ngurah, 2002, “Pecalang dan Penjaga Kebudayaan Bali”, dalam Kompas Minggu 22 Oktober 2002.
———–2005, “Pecalang Politik dan Para Milisi”, dalam Kompas 17 April 2005.
———–,2004, “Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-Jago Kebudayaan”, dalam Kompas, 7 Januari 2004
———–2005, BALI, Narasi Dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta, Penerbit Ombak.
———–2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Yogyakarta, Buku Baik dan Elsam.
————2005, Sandyakalaning Tanah Dewata, Suara Perlawanan dan Pelenyapan, Yogyakarta, Kepel Press.
———–2005, “Mass Grave Fieldwork”, Kompas 2 Juli 2005.
————2005, “Politik Kekerasan dan Para Jagoan (Sebuah Catatan Lapangan)”, Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana, Volume 3 No. 5 Januari 2006.
———–2006, Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris, Catatan Awal Aksi Pecalang dan Kelompok Milisi di Bali dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki (Editor), 2006, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan CSEAS Kyoto University, Jepang.
———-,2007, Ladang Hitam di Pulau Dewa (Pembantaian Massal di Bali 1965), Yogyakarta, PUSdEP dan Galang Press.
———–(fortcoming), Kesaksian Air Mata (Kisah-Kisah Memecah Senyap), Denpasar, Pustaka Larasan.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed), 2004, Hermeneutika Pasca Kolonial, Soal Identitas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Vikers, Adrian, 1989, Bali: A Paradise Cretated, Victoria Penguin.
Widyarsono, A, 2000, Hubungan Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, dalam Jurnal Driyarkara Tahun XXIII No. 4.
Wijaya, Nyoman, 2004, Melawan Ajeg Bali: Antara Eksklusifitas dan Komersialisasi, dalam Jurnal Ilmu Sejarah, Tantular, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali Edisi No. 2 Tahun 2004.
Widminarko dan Darma Putra (penyunting), 2006, Selintas Sejarah Pers di Bali, Denpasar, PWI Cabang Bali.
Koran, Jurnal, dan Majalah
Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002
Basis, No. 09, 10 September-Oktober 2002.
Bali Post, 28 September 2003.
Kompas, Tanpa Kehadiran “Pecalang”, Bali Sudah Rusuh, 28 November 2000.
Driyarkara Jurnal No. XXIII No. 4
Media Hindu, Majalah, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya dan Tanah Bali, Edisi 21 November 2005.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Pecalang Pulanglah, No. 31 Oktober 2002.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Sudahi Kelahi Sesami Bali, No. 44 Desember 2003.
Sarad, Majalah Gumi Bali, Titah Latah Ajeg Bali, No. 43 November 2003.
WACANA, Kekerasan dalam Masyarakat Transisi edisi IX/2002.
Majalah Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, edisi 21 November 2005.
I Ngurah Suryawan, Menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, 2006. Menekuni studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Sedang menyelesaikan tesisnya di Program Pascasarjana (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana dengan judul, Bara Suara di Tepi Kuasa (Pergolakan Kelompok Subaltern Bali Pascakolonial). Menulis buku, Ladang Hitam di Pulau Dewa (Pembantaian Massal di Bali 1965) dan Kesaksian Air Mata (Kisah-kisah Memecah Senyap), 2007. Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005. Bisa dihubungi di email: [email protected].
Aduh bersyukur ada Program Kajian Budaya di UNUD. Mudah-mudahan menghasilkan lulusan yang visioner, bukan sekedar meniru-niru pemikir lama. Kanjian Budaya muncul setelah adanya sorotan tajam kepada bangsa-bangsa Eropah yang menjajah bangsa-bangsa inferior dengan cara exterminasi ( pemusnasan etnis ). Ini yang melahirkan Antropologi,yakni untuk menemukan cara menjajah tanpa berdarah. Setelah bangsa-bangsa inferior tersebut terjajah, ternyata banyak dari golongan terjajah tersebut manjadi pintar, sama dengan mereka, sehingga orang Eropah merasa bersalah, kenapa gue membawa budaya gue yang sudah maju ke mereka. Akhirnya mereka sangat takut kalau-kalau nantinya bangsa-bangsa inferior tersebut sama kuatnya dengan mereka. Oleh karena itu semenjak 1920-an lahirlah teori penjajah yang disebut multi kultur, untuk mendikte bangsa-bangsa inferior kembali kepada budayanya sendiri, sehingga tidak lagi mengejar kebudayaan mereka yang sudah maju. Tapi apa daya Jepang telah mampu mengejar mereka, bahkan Korea dan Taiwan, belakangan santer lagi China dan India. Nah kalau politik multi kultur mereka tidak mempan teori apa lagi yang akan mereka luncurkan,kecuali buat adukan lawar biar tak kentara sumber-sumbernya?
Tapi golongan penjajah ini sangat beruntung, karena ada manusia seperti manusia Jawa, manusia Bali, dan banyak manusia di Asia dan Afrika yang tidak memahami perkembangan dunia. Mereka ikut-ikutan melestarikan kebudayan yang jelas-jelas mitos ( ritual, poligami, dan patriaki historis, dan masih banyak lagi.
Suatu gambaran yang sangat nyata bahwa, masyarakat Bali ini sudah sejahtra hampir selama 20 tahun karena adanya dampak pariwisata. Tapai apa yang mereka perbuat dengan uang yang mereka dapat? —- konsumtif !!! Krena mereka tidak tahu apakah sumber pendapatan ini akan sustainable atau tidak, sehingga ketika pariwisata ambruk seperti sekarang ini generasi 70-an ini seolah-olah gagap, dan memberikan penderitaan yang lebih besar kepada orang tuanya di kampung.
Mudah-mudahan kajian budaya UNUD mampu merumuskan kembali tujuan dari disiplin ilmu ini, jangan samap dituduh kayak UNHI yang hanya melahirkan calon pemangku. Penulis ini adalah orang yang tidak berpendidikan, tapi suka belajar sehingga menguasai bahasa Ingris, Perancis dan Jerman. Dan bersukurlah orang hanya mampu membaca Das Kapitals-nya Karl Marx dari saduran atau terjemahan, membaca The Origin of Species dari cerita orang, dan mendengar teori Principia Mathematica dari saduran, namun saya langsung membacanya sendiri.
Inilah faktor budaya. Seharusnya study budaya UNUD haruslah diredefinisikan untuk mencapati tujuan :
1. Meningkatkan pengetahuan masyakarta Bali,
2. Meningkatkan kesejahtraan masyakarat Bali.
Karena selama ini belum ada tokoh Bali yang mampu melihat sejauh itu. Walaupun ada wacana Ajeg Bali, tapi mereka tidak menyentuh fondasinya, paling-paling hanya ngalor ngidul, atau bahkan tambah parah lagi di kalangan sulinggih menerjemahkan dengan memperbesar kegiatan ritual yang dasarnya mitos ( baca lontar Tapeni, Raja Purana, Bang Buggalan, dsbnya. ) Ini adalah lonta yang ditulis antara abad ke-16 s/d 17, ketiga para sulinggih kehilangan bagian kekuasaan di Istana. Karena raja-raja kecil semenjak pecahnya Klungkung hanya memikirkan bagaimana sang Raja punya patih atau panglima perang yang mampu memperluas imperium, sedangkan Sulinggih dibiarkan berbudaya sendiri,sehingga banyak sekali mendirikan pura untuk menakut-nakuti raja tentang akhirat.
Inilah sangat perlu untuk mengkaji aspek ide dan tindakan orang Bali sekarang ini. Jika mau sejajar dengan negara maju, maka aspek ide yang hidup di masyarakat Bali haruslah dibongkar, dan diarahkan pelan-pelan menuju kepada system ide yang mendukung kemajuan kebudayaan ( tentunya profil kemajuan adalah teknologi dan ilmu positif, bukan kemajuan mabebasan dan ngeleneng tiap hari). Karena hanya dengan inilah Malaysia tidak akan berani lagi menyikut-nyikut tanah Indonesia, dan Australia tidak berani lagi meninabobokkan Bali dengan alasan teroris, dan Amerika dengan alasan home land securitinya.
Semoga
lawan!
“Ajeg Bali”…hmmm..jadi teringat dengan baliseering nya kolonial..cuma alat pembangkitan kembali kekuasaan kaum feodal..