Saya menulis artikel ini saat bertugas jaga di posko.
Tidak saya sangka dalam masa hidup saya, saya akan mengalami masa dengan wabah penyakit merebak meliputi daerah geografi yang luas atau disebut dengan istilah pandemi. Saya pikir pandemi hanya ada di masa lalu di periode yang menjadi latar kisah cinta klasik macam Love in the Time of Cholera.
Baiklah, kembali ke realita. Saya bekerja di Kantor Desa Angkah, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan sebagai staf dan juga sebagai tenaga pengajar di Yayasan Eka Chita Pradnyan. Pidato presiden di Istana Bogor pada Minggu, 15 Maret 2020 yang mengumumkan adanya kasus COVID-19 di awal Maret, telah mengubah semua skema kegiatan bekerja dan belajar di desa saya.
Pada Senin, 16 Maret 2020 saya masuk kerja seperti biasa. Tak lama kemudian kedua anak saya yang masih PAUD dan masih SD dipulangkan lebih awal. Kondisi TK Kumara Mekar yang masih satu komplek dengan kantor desa sedikit terdengar hingar-bingar lantaran beberapa orang tua murid yang menunggu anaknya masuk kelompok bermain sedang riuh membicarakan penyebab anak-anaknya tiba-tiba dipulangkan lebih awal.
Wali kelas anak kedua saya di PAUD pun berpesan supaya kegiatan belajar dilanjutkan di rumah. Anak-anak tetap mengerjakan tugas mandiri dari majalah belajar murid. Lalu mereka melaporkan kegiatan belajar di rumah dalam bentuk foto ke wali kelas secara daring melalui aplikasi pesan WhatsApp.
Sepulang dari kantor desa, saya bekerja di sebuah yayasan sosial. Tempat di mana saya mengajarkan pelajaran bahasa Inggris, wawasan lingkungan, dan olah raga secara informal. Pertengahan Maret saat itu baru saja selesai program dua relawan asing membantu kegiatan mengajar di yayasan.
Kedua relawan itu berasal dari Spanyol dan Vietnam. Mereka merupakan tamu terakhir yang bekerja dengan saya di yayasan sebelum kasus virus Corona merebak sampai ke Indonesia. Pada Senin, 16 Maret 2020, ibu pengelola yayasan pun sepakat untuk memulangkan anak-anak yang sudah telanjur datang ke yayasan dan sebelum pulang saya beri penjelasan kepada mereka mengenai adanya wabah virus Corona serta apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah penyebaran virus.
Kegiatan belajar-mengajar di setiap sekolah di wilayah desa Angkah mulai dari PAUD, SD, hingga SMP dilanjutkan dengan pengerjaan tugas secara mandiri oleh siswa di rumah. Tugas tersebut pun disetorkan secara daring melalui media aplikasi Whatsapp. Beberapa kali saya juga sempat mendapat pertanyaan atau permintaan bantuan untuk mengerjakan tugas sekolah dari murid saya di yayasan. Sementara kegiatan belajar-mengajar di Yayasan diliburkan, anak-anak saya imbau untuk belajar sendiri di rumah.
Tamu warga negara asing yang biasa datang menjadi relawan mengajar bersama saya pun sudah tidak ada lagi. Desa Angkah sudah mulai menutup diri dari tamu asing dan tamu dari daerah yang tercatat memiliki kasus COVID-19.
Terus Berlanjut
Pekerjaan saya sebagai staf desa terus berlanjut. Saya masuk seperti biasa dari Senin hingga Jumat. Penyesuaian demi penyesuaian terus diupayakan sebagai bagian dari tanggap wabah virus Corona. Aparatur desa tidak berhenti melakukan koordinasi dengan kepala kewilayahan, bidan desa, Bhabinkamtibnas, Babinsa dan BPD untuk membentuk satuan tugas gotong royong pencegahan COVID-19. Rancangan anggaran belanja desa pun disesuaikan untuk menunjang kegiatan siaga COVID-19 di desa Angkah. Posko tanggap COVID-19 akhirnya didirikan di masing-masing perbatasan desa.
Selain itu, desa adat pun mengerahkan satgas gotong-royong COVID-19 yang terdiri atas sekehe teruna-teruni, pecalang, juru arah, prajuru dan bendesa adat. Sekehe teruna-teruni di desa Angkah secara berkala melakukan penyemprotan cairan disinfektan ke rumah-rumah warga dan tempat fasilitas umum seperti balai banjar. Pecalang dan prajuru secara bergantian berjaga di posko siaga COVID-19 di dekat pura Puseh. Bendesa adat dan juga prajuru bersama-sama juga membuat rancangan anggaran desa adat.
Beberapa pekerja migran yang habis masa kontrak kerjanya ataupun yang dipulangkan karena di negara tempat mereka bekerja sudah memberlakukan antisipasi wabah virus Corona mulai berdatangangan pulang kembali ke desa. Instruksi untuk melakukan karantina mandiri selama 14 hari sejak kepulangan dan pengecekan kesehatan secara berkala mulai disusun untuk diberlakukan bagi mereka yang kembali datang dari jauh.
Bidan desa dan puskesmas pun terus berkoordinasi dengan pihak kantor desa untuk memantau warga yang termasuk dalam kriteria “pelaku perjalanan” dan “orang dalam pemantuan”. Warga yang tidak tahu apa itu konsep swakarantina atau isolasi mandiri perlahan-lahan mulai diberikan pengertian bagaimana tata laksananya untuk memutus penyebaran virus Corona.
Warga-warga yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi ini juga mulai didata di kantor desa. Sebagian besar mata pencaharian warga di Desa Angkah adalah petani dan pekebun, namun terdapat juga warga yang bekerja di sektor pariwisata yang terkena putus hubungan kerja, pekerja migran yang dipulangkan atau pekerja yang sangat menggantungkan hidupnya di sektor unit usaha kecil. Mereka yang sangat terkena dampak akibat wabah virus Corona ini dianggarkan untuk menerima bantuan dari APBDes.
Bantuan bahan makanan pokok pun diberikan oleh desa adat kepada seluruh warganya berupa beras, telur, mi instan dan minyak goreng. Pelaksanaan pemberian bantuan bahan makanan pokok dilakukan di setiap desa pakraman yang ada di Angkah. Suami saya sendiri mendapat pemberitahuan untuk mengambil bantuan bahan makanan ke wantilan adat pukul 12.00 WITA. Ternyata setiap warga diberitahu oleh prajuru untuk datang secara bergilir pada jam yang ditentukan.
Bersyukur saya tidak kehilangan pekerjaan saya di tengah pandemi ini. Meski satu pekerjaan saya di yayasan termasuk dirumahkan sementara, saya malah bisa lebih fokus mengikuti tutorial online untuk kuliah saya di Universitas Terbuka. Di lain pihak, murid les privat saya, yang juga merupakan tetangga saya sendiri, tetap meminta saya untuk mengajar bahasa Inggris ke rumahnya.
Namun, apa daya, pekerjaan saya di kantor desa jadi menuntut lebih banyak jam kerja dari sebelumnya. Semua perangkat dan staf desa sebagai satuan tugas siaga COVID-19 perlu masuk ke kantor setiap hari, baik di Sabtu dan Minggu juga pada hari libur nasional. Selain itu, ada juga tambahan jadwal piket secara berkala untuk berjaga di posko perbatasan desa Angkah bersama Hansip dan kepala kewilayahan. Jika posko tanggap COVID-19 di Desa Angkah secara dinas dijaga oleh aparat desa bersama Linmas, posko tanggap COVID-19 oleh desa adat dijaga oleh pecalang bersama prajuru adat di masing-masing pakraman desa yang ada di Angkah.
Sisi Baik
Saya tidak kehilangan pekerjaan saya, tetapi saya tidak merasakan privilese untuk bisa bekerja dari rumah. Kedua anak-anak saya tidak masuk sekolah dan masih bisa belajar dari rumah hampir seperti homeschooling. Suami saya sebagai petani kehilangan jam kerjanya karena harus menjaga dan mengajak anak-anak saya yang masih berusia lima dan tujuh tahun untuk belajar di waktu seharusnya mereka berada di sekolah. Bapak dan ibu mertua saya yang sudah berusia tujuh puluh tahun ke atas, dulunya setiap mengambil uang pensiunan di bank biasa berangkat berdua naik bis atau angkutan umum.
Kini di saat pandemi hanya salah satu dari mereka saja yang berangkat ke bank diantar oleh suami saya naik sepeda motor. Itu pun mereka juga langsung sekalian belanja bulanan di pasar Bajera. Untuk kontrol atau cek kesehatan yang rutin mereka lakukan ke puskesmas hingga ke rumah sakit rujukan, di masa saat seperti ini benar-benar mereka batasi hanya saat ada keluhan kesehatan mendesak. Bapak dan ibu mertua saya akan melakukan periksa kesehatan berdua dengan mencarter tetangga yang memiliki mobil.
Penghasilan staf desa dan perangkat desa tetap diberikan meskipun datangnya terlambat akibat terdapat beberapa kali perubahan dan penyesuaian rancangan anggaran belanja desa. Kegiatan perangkat dan staf desa apalagi kegiatan kepala desa yang biasanya diisi dengan jadwal bimbingan teknis dan rapat-rapat koordinasi hingga ke kecamatan, kabupaten, wilayah kota Denpasar atau juga ke luar pulau, di tengah pandemi ini sudah tidak ada lagi.
Akhir-akhir ini telah diupayakan dengan metode daring menggunakan konferensi video. Sangat terasa formasi perangkat desa di kantor dua bulan ke belakang menjadi lebih lengkap karena tidak ada yang pergi rapat atau melakukan perjalanan dinas ke luar. Di lain sisi, kegiatan upacara adat yang mendesak di desa dilaksanakan sangat terbatas dan tidak melibatkan banyak warga.
Setiap empat hari sekali saya menjaga posko di perbatasan utama Desa Angkah. Saya melihat orang lalu-lalang menggunakan masker penutup hidung dan mulut. Umumnya sesama warga jika bertemu di jalan, kami akan saling menyunggingkan senyum tetapi sejak anjuran atau aturan penggunaan masker saat keluar rumah, kami akan mengangkat alis, mendongakkan atau menganggukkan kepala sebagai simbol bertegur sapa. Pekerja seperti pedagang sayur dan kurir tetap bekerja hingga ke Desa Angkah.
Meskipun demikian muncul juga warung-warung kecil baru oleh warga yang menyediakan sayur-mayur. Di posko perbatasan desa, Linmas atau Hansip akan mengontrol siapapun yang akan memasuki desa. Kendaraan para pendatang yang memasuki desa akan disemprot cairan disinfektan dan tangan mereka akan diberi hand sanitizer. Warga Angkah yang berdomisili di luar desa asalnya tetap ada juga beberapa yang pulang kampung ke Angkah.
Foto: pengendara motor yang memasuki Desa Angkah harus berhenti terlebih dahulu di pos penjagaan untuk disemprot hand sanitizer pada kedua tangannya.
Suasana Menyegarkan
Sisi menyenangkan saat berjaga di posko adalah saya bisa menikmati suara sungai kecil dan pemandangan hijaunya sawah yang terbentang luas. Sembari berjaga saya bisa mengamati orang yang keluar masuk desa, atau juga mengerjakan tugas kuliah dengan suasana alam yang memberi suasana menyegarkan daripada mengerjakan di rumah.
Mungkin inilah privilese dari pekerjaan saya sebagai ganti tidak dapat bekerja dari rumah. Tidak jarang para Hansip yang berjaga ikut menikmati waktu tugasnya sambil memancing di sungai kecil tepat di perbatasan desa yang kami jaga. Di satu sisi, di Yayasan Eka Chita Pradnyan, anak-anak penerima donasi dari sponsor akhirnya dijadwalkan untuk datang secara bergantian dalam jumlah yang ditentukan untuk mengabari pemberi sponsor melalui e-mail. Sedangkan anak-anak lain yang termasuk grup remaja, dalam jumlah terbatas juga diajak untuk bercocok tanam contohnya menanam pepaya di lahan dekat yayasan.
Yang saya sayangkan dari berbagai upaya pencegahan COVID-19 yang sudah dilakukan secara bergotong-royong ini, sebagian besar individu perokok tetap saja merokok. Poster-poster mengenai sosialisasi upaya pencegahan penyebaran virus Corona telah disebar ke setiap banjar melalui kepala kewilayahan, spanduk-spanduk pun telah dipampang sebagai media edukasi dan sosialisasi bagi seluruh warga desa.
Namun, saya tetap mendapati para perokok tetap merokok, padahal virus Corona ini menyerang sistem pernapasan manusia, dan para perokok tentu membuat diri mereka lebih rentan lagi dengan tetap merokok. Apalagi jika merokoknya di dekat orang lain, kan mereka membuat orang di sekitarnya ikut terpapar bahaya asap rokok. Jelas ini tidak sejalan dalam upaya meningkatkan imunitas tubuh untuk melawan virus.
Meski ada yang bandel dan masih sulit berubah karena kecanduan nikotin, terdapat pula perubahan ke arah kebaikan. Semakin terasa perbedaan sebelum dan di tengah masa pandemi ini dengan adanya sarana tempat cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Titik-titik krusial kegiatan warga seperti warung, tempat umum dan di posko siaga COVID-19 Desa Angkah menyediakan sarana cuci tangan dengan air mengalir beserta sabunnya.
Masih jelas dalam ingatan saya, saat ngayah selalu ada sarana seadanya berupa baskom berisi air kobokan untuk membasuh tangan ramai-ramai sebelum makan. Saat di tengah pandemi kegiatan ngayah memang sudah jauh berkurang sehingga saya tidak bisa membandingkan lagi apakah kebiasaan yang baru sudah diadaptasi.
Kini, beberapa kali saya melihat warga di desa yang semula sebagian besar membasuh tangan dengan ngobok di air (bisa di air yang tertampung seperti baskom, gayung, bak mandi, kolam atau juga di kali) sudah mulai beralih ke cuci tangan di air mengalir dengan sabun. Saya harap perilaku hidup bersih dan sehat ini terus dibiasakan dan diterapkan baik di tengah pandemi maupun saat pandemi telah berlalu. [b]