MEN COBLONG menjatuhkan kepala ke kiri, ke kanan, ke atas, dan ke bawah.
Dia baru selesai membaca koran daring yang telah diunduhnya setiap pukul lima pagi. Kebiasaan itulah yang membuat Men Coblong merasa memiliki waktu sendiri untuk menikmati secangkir kopi, sepiring edamame, dan sepiring buah segar. Menu pagi yang “menggairahkan” membuat hidup jadi lebih semangat.
Seharusnya Men Coblong mengurangi kopi, bahkan jika bisa! Wajib menyingkirkan kopi di dalam menu yang dikudapnya. Sayangnya, bagi Men Coblong kopi adalah pelengkap yang membuatnya lebih memiliki cerita. Membuatnya lebih riang. Harum kopi yang diseduhnya selalu membuat Men Coblong merasa nyaman.
Secangkir cukuplah untuk satu hari. Sebab, apa-apa yang berlebihan itu sesungguhnya tidak baik juga untuk hidup. Karena efeknya pasti akan mubazir . Bisa juga bikin mual, jenuh, dan yang pasti tidak lagi mengundang selera.
Begitu juga yang dirasakan Men Coblong setiap membaca koran daring. Rasanya jenuh juga melihat para politisi yang terlalu “genit” atau berlagak “malu-malu” atau malah yang lebih parah sok berfilsafat dan berteori ke seluruh arah mata angin. Intinya tetap menuntut perhatian. Tetap ingin didengar. Tetap ingin ditonton.
Unggahan mereka juga beragam, bagi Men Coblong menggelikan. Alangkah anehnya sesungguhnya syahwat ingin berkuasa itu? Dia memunculkan orang-orang karikatural yang tidak natural.
Ada yang sibuk dengan unggahan menjadi seorang cenayang, mencoba membaca buku primbon yang aslinya buku fiksi, dan tega-teganya meramalkan bahwa negara Indonesia akan musnah di tahun 2030.
“Wah apa itu benar?”
“Bukannya orang itu memiliki pendidikan bagus? Sekolah dan banyak hidup di luar negeri dibanding di dalam negeri? Berasal dari keluarga dengan logika bagus untuk membangun Indonesia? Apa sekarang dia sudah menyukai klenik?” tanya beberapa sahabat Men Coblong.
“Kita harus siap-siap membuat kapal, atau roket, atau apalah yang bisa menyelamatkan seluruh manusia di bumi ini. Harus mulai dipikirkan,” sahut sahabat lain dengan binar yang menunjukkan rasa was-was.
“Memang mau pindah ke mana? Belum ada penelitian sahih yang bisa menunjukkan tempat tinggal yang cocok untuk manusia. Semua planet sedang dikurasi oleh para ilmuwan. Hasilnya belum ada!” Jawab sahabat Men Coblong lebih keras.
“Terus kalau Indonesia tidak ada, kita harus ke mana? Aku kan bukan orang kaya. Apa harus pindah ke luar negeri? Terus, apa hidup di luar itu sudah bisa menjadin nasib kita lebih baik? Minimal bersih dari koruptor dan para penjilat.”
“Memang kamu berencana ke mana?”
“Tidak tahu.”
“Memangnya ada negara ideal yang bagus untuk hidup orang Indonesia? Orang Bali kampungan seperti aku. Aku tidak bisa makan roti, makan singkong rebus masih lebih nikmat. Kalau aku rindu ingin makan lawar dan babi guling bagaimana?” tanya sahabatnya yang lain.
“Sudah! Indonesia tidak akan bubar,” jawab yang lain.
“Dari mana kamu tahu? Yang mengunggah pidato Indonesia bubar itu calon presiden, lho?”
“Bukan!”
“Calon Presiden.”
“Ingin jadi presiden?”
“Bukan!”
“Kok dari tadi bukan, bukan terus. Baca dong berita biar hit! Perempuan saat ini harus cerdas. Minimal biar emak-emak setengah abad begini kita harus rajin membaca. Supaya tidak pikun dan terlihat renta.”
“Lalu… Sekarang ingin jadi apa dia?”
“Masih berpikir? Konon tidak punya logistik untuk kampanye jadi presiden.”
“Ah, medit dia?”
“Lo ini fakta.”
Men Coblong terdiam. Hiruk pikuk kondisi politik saat ini benar-benar lebih heboh dari area sabung ayam yang biasa terjadi di hari-hari besar di lingkungan perumahan Men Coblong. Suara-suara mereka begitu berisik, dan yang lebih membuat Men Colong tidak habis pikir, kenapa orang-orang itu tega memainkan peran yang “menyakiti” hati nurani rakyatnya.
Mereka menebar teror. Menebar isu-isu yang justru membuat calon pemilihnya seperti dicekoki untuk jadi pandir. Belum lagi hiruk-pikuk menjadi orang nomor dua di negeri ini. Mereka datang “menghadap” orang nomor satu, berlagak bak penyelamat bahwa Indonesia membutuhkan orang-orang yang sadar bahwa Indonesia itu bangsa majemuk, beragama juga majemuk. Harus saling hormat menghormati.
Buntutnya? Para petinggi partai yang “mejeng” dan terlihat karismatik seolah ingin menyelamatkan Indonesia justru ujung-ujungnya meminjam sampiran-sampiran dari partainya untuk mengatakan bahwa pemimpin partainyalah yang cocok mendampingi Sang Presiden. Ada juga calon yang tegas dan percaya diri memasang baliho besar-besar, ketika diundang orang nomor satu negeri ini sudah sangat yakin bahwa dirinya akan terpilih dan dilirik jadi orang nomor dua negeri ini.
Hiruk-pikuk jadi orang nomor dua justru lebih heboh. Tidak ada ide atau pemikiran cergas dan cerdas untuk bangsa dan rakyat Indonesia. Beragam isu yang ditawarkan justru membuat pesimis. Bagaimana mereka bisa berpikir ingin menjadi pemimpin? Apa yang sesungguhnya ada di dalam hati dan pikiran mereka? Sadarkah mereka bahwa liku dan laku mereka membuat rakyat berpikir. Maunya apa sih?
Men Coblong selalu geli jika melihat elektabilitas dari survei yang mencantumkan peringkat sebagai orang nomor dua justru membuat beberapa tokoh yang tadinya jadi rujukan Men Coblong untuk memperbaiki Indonesia jadi terhapus. Lalu siapa yang diinginkan? Apakah anak muda yang baru saja gagal jadi gubernur? Atau seorang mantan hakim?
Men Coblong terdiam, seperti panggung teater komedi rasanya melihat Indonesia saat ini. [b]