MEN COBLONG memasang sepatu olah raganya dengan suka cita.
Tahun baru 2018 harus diwarnai dengan semangat baru. Apalagi tahun baru ditandai dengan hujan yang tidak ada habisnya. Konon, itu pertanda alam sedang “dilukat”, dibersihkan oleh kosmis. Semoga manusia-manusianya juga “dilukat” hati dan pikirannya karena tahun ini “tahun politik”, tahun bangsa Indonesia diuji “sekala”-“niskala”.
Harapan harus disiram terus menerus, kesuraman harus segera ditimbun dalam-dalam untuk tidak dilupakan, tetapi menjadi cermin besar yang harus terus ditanam di dalam pikiran. Bahwa kita harus menjadi manusia Indonesia yang majemuk, menghormati perbedaan.
Bagi Men Coblong, tahun baru adalah waktunya mengevaluasi masa lalu yang sudah dijalani 50 tahun lebih. Seolah hiruk-pikuk, karut-marut masa lalu menguap begitu saja, masa depan yang terus jadi prioritas. Begitu biasanya orang kebanyakan memikirkan pergantian tahun. Men Coblong menarik nafas, rasanya tidak masuk akal juga membangun masa depan dengan melupakan masa lalu?
Men Coblong mengatur menit alat treadmilnya, pagi ini terpaksa olahraga dilalui di rumah dengan jalan pelan-pelan di treadmil selama 30 menit. Sebetulnya Men Coblong agak tidak suka jika harus olahraga di rumah. Terasa monoton, karena tidak bisa memandang beragam pohon-pohon di sepanjang trotoar. Mencium harum batang pohon, juga bau daun-dan lembab.
Biasanya Men Coblong cukup mengitari lapangan Renon Bajra Sandi satu-dua putaran cukuplah, sambil menutup kuping dengan headset. Benar-benar kemewahan yang sangat murah, karena tubuh-pikiran segar, murah pula. Hanya bayar ongkos parkir mobil, Rp 2.000.
Ah, sesungguhnya jika mau dan niat ada, sesungguhnya tidak ada persoalan yang rumit. Tapi kali ini karena hujan sejak pagi, olga pun dilakukan di rumah. Suara tukang sayur terdengar keras. Treadmil pun harus mati dulu.
Agaknya, hidup memang tidak seringan itu. Di bulan Januari ini, masih hangat suasana tahun baru tukang sayur sudah mengabarkan berita headline.
“Tahun baru, harga kebutuhan pokok juga memiliki harga baru,” teriak Mas Min, tukang sayur dengan lagaknya yang lucu.
“Harga apa lagi yang naik?” tanya seorang ibu.
“Semua harga naik,” jawab seorang ibu muda dengan wajah merengut.
“Cabe, bawang, sayur, ikan alasannya musim hujan. Panen rusak. Kata Bu Menteri, kita wajib makan ikan. Kalau tidak makan ikan akan ditenggelamkan. Bagaimana mau beli ikan? Harga ikan lebih mahal dari tahu-tempe?”
Men Coblong terdiam, bukankah ini sudah siklus. Indonesia memiliki musim hujan dan panas, cuma dua musim. Kok urusannya tidak pernah beres. Tidak ada solusi, tiap tahun persoalannya itu-itu saja. Belum lagi soal air PDAM yang “rajin” mati.
Belakangan ini komplek perumahan Men Coblong punya jadwal yang merepotkan para Ibu. Air PDAM seminggu bisa mati 2-4 kali. Pernah anak lelaki Men Coblong sedang keramas dan kepala dipenuhi sampho, air mati. Men Coblong sempat bertanya kepada petugas pencatat meteran air.
“Ada perbaikan, Bu. Pipanya kemasukan sampah, karena hujan terus menerus,” jawabnya santai. Jawaban itu terulang kembali bertahun-tahun. Jika musim kemarau, sumber mata air kering.
Tidak ada jawaban yang bisa memuaskan konsumen, padahal jika kita tidak bayar air, air pun akan diputus. Terus kalau air mati-hidup semaunya? Apa dong yang bisa dilakukan konsumen seperti Men Coblong? Protes kemana? Kalau protes apakah akan menyelesaikan masalah?
Belum tuntas urusan satu, muncul lagi urusan yang lebih genting, stok beras konon “cukup mengkhawatirkan” (baca: jangan coba-coba bilang, stok tidak ada).
“Harga beras masih terus naik hingga pekan ini sehingga pemerintah dan Perum Bulog memperluas jangkauan operasi pasar. Jika harga beras tak juga turun, pemerintah membuka opsi impor.” Begitu headline berita yang dibaca Men Coblong di koran.
“Kok bisa sih. Bukannya negara kita negara agraris? Ungkapan “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo“ merupakan suatu kalimat yang merupakan ungkapan untuk menggambarkan keadaan bumi pertiwi Indonesia. Gemah ripah loh jinawi berarti (kekayaan alam yang berlimpah) sedangkan toto tentrem karto raharjo (keadaan yang tenteram).”
“Namun, semboyan di atas tidak lagi berlaku di negeri kita tercinta ini. Kata lagu: Orang bilang tanah kita tanah surga seperti yang tersirat dalam lagu band Koes Ploes yang berjudul “Kolam Susu”. Kail dan jala cukup menghidupimu, ikan dan udang datang menghampiri dirimu. Namun keadaan tersebut berbeda 180 derajat dengan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang,” papar anak lelaki Men Coblong mengutip kalimat-kalimat dari media sosial dengan serius sambil bernyanyi diiringi gitarnya.
Men Coblong terdiam.
“Terus orang-orang yang tidak bisa beli beras harus bagaimana? Kalau semua keperluan hidup naik? Mereka mau makan apa?” Men Coblong memoyongkan bibir ke samping menatap mata anak lelakinya.
“Pantas aku sampai hari ini belum mendengar teman-temanku bercita-cita jadi petani,” anak Men Coblong menambahkan kata-katanya.
“Jika hujan sawah kebanjiran, musim kemarau sawah kekeringan. Apa belum ada manusia Indonesia menemukan solusi untuk masalah itu, Mi?” tanya anak Men Coblong.
“Apa belum ditemukan teknologi canggih untuk membuat pertanian di Indonesia maju?” lanjut anak lelaki Men Coblong menurunkan kaca matanya menatap tajam.
Men Coblong terdiam, menatap matanya. Sambil mendengar suara tetangga di sebelah berteriak.
“Makin lama makin tidak sopan orang-orang yang berjualan di pasar. Bayangkan? Masak saya protes bahwa harga beras di media online menurut Menteri Perdagangan ditetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp 9.450. Masak satu kilo saya disuruh bayar Rp 13.000 – Rp 14.000. Kalau nggak mau dengan harga pasar saya disuruh beli di koran online. Tidak sopan sekali!” Suara perempuan tetangga Men Coblong terdengar keras.
“Wah, makin banyak orang yang tidak bisa makan, nih. Nanti ujung-ujungnya para pengambil kebijakan ramai-ramai bicara harus ada makanan alternatif. Beras diganti: ubi, singkong, ketela, dan jagung.Ngomong itu memang gampang seharusnya mereka juga dikenakan HET (Harga Eceran Tertinggi). Bagaimana mungkin mengubah makan beras jadi makan jagung? Memangnya gampang. Terus kalau rakyat nurut ikut makan jagung? Apa stok jagung cukup?” kata anak lelaki Men Coblong tertawa.
Men Coblong menarik napas, paceklik persoalan di Indonesia ini-ini saja. Belum ada peningkatan persoalan. Atau masalah berganti yang lebih baru. Apa sih yang sesungguhnya salah di negeri ini? Apa sih yang sudah selesai dan sedikit tuntas diambil oleh pengampu kebijakan?
Men Coblong mengusap peluh di dahi, tidak terasa sudah hampir 45 menit di atas treadmil. Ya, bagaimana generasi Z, yang kelahiran tahun 2000 ke atas tertarik jadi petani? Jika negara “kaya” ini dikelola seperti ini. Men Coblong turun dari treadmil. Mengusap keringat. Hujan belum juga berhenti.
“Harusnya bagaimana caranya pemerintah menggenjot negara ini dengan cara-cara menarik, biar ada teman-temanku, termasuk aku tertarik dan bercita-cita jadi petani,” anak Men Coblong berkata sedikit berteriak. Lelaki kecil itu, calon manusia Indonesia yang lahir tahun 2001, yang kelak ikut mengurus carut-marut negeri ini.
Tahun baru? Apa artinya bagi Anda? [b]
Tahun baru, apa artinya buat anda?
Apa ya?
No idea.
Beras mahal?
Kan masih ada singkong/keladi/sagu dan jagung?
Jadi bukan masalah!
Kalau mbesok nggak ada yang dimakan, nah ini baru masalah.
Jelaskan bedanya?
Musim hujan kebanyakan air, kemarau kekeringan?
Ya, belajarlah ilmu ‘nrimo’!
Rapopo kata orang.
Men Coblong you are No 1
All the best.