Almarhum Mari Nabeshima, perempuan Jepang yang meninggal usia 38 tahun ini mewarisi dokumentasi dan kajian soal tembang Bali. Buku berjudul Cecangkriman, Tembang Pelindung Jiwa Raga.
Satu eksemplar buku yang mengulas hasil disertasi Mari tentang tembang Bali ini diterima Wakil Gubernur Bali AA Puspayoga untuk diserahkan pada seorang balita pria. “Sebagai symbol harapan agar warisan tetulis ini bermanfaat bagi generasi Bali,” ujar I Kadek Suardana, seniman dan suami Mari.
Selain Wagub juga hadir Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra dan puluhan kolega serta sahabat seniman, budayawan, dan penyair.
Commemoration ini juga dirangkaikan dengan apresiasi budaya seperti music selonding, gender, piano klasik, dan repertoar music yang diciptakan Mari bersama suaminya untuk teater musical Sri Tanjung. Inilah pementasan besar terakhir yang diikuti Mari sebelum meninggal pada 4 Juli tahun lalu karena demam berdarah.
Salah satu repertoar Sri Tanjung yang dipentaskan malam itu adalah gending Rumaksa ing Wengi dari Ni Nyoman Candri. Diiringi music selonding dari Arti Foundation, gubahan yang dipentaskan mengiringi pentas Sri Tanjung.
Setelah itu nada selonding, dilanjutkan dengan Gender wayang, sebuah instrumen yang sangat digemari Mari. Dibawakan oleh guru, sahabat dan muridnya yakni Bapak Koichi Minagawa, Yayoi Horikawa, Atshushi Ozawa , dan Ketut Sukayana. Nama terakhir adalah anak Bapa Lonceng, guru gender Mari.
Etnomusikolog Prof Dr I Made Bandem yang mengulas buku Mari ini mengatakan buku ini adalah jejak dari revitalisasi tembang Bali yang mulai dilupakan. Cecangkriman, seperti judul hasil penelitian Mari disebutnya memiliki aspek magis dan kekuatan Bali. “Inti masalah yang dikaji Mari dalam disertasinya adalah penyatuan mikro dan makrokosmos. Kalau digabungkan menciptakan energi atau taksu dalam bentuk tembang,” kata Bandem yang hadir mengulas buku itu.
Dalam buku yang diterbitkan Arti Foundation, lembaga seni dan budaya yang didirikan suaminya Kadek Suardana dan sejumlah tokoh lainnya ini, Mari memaparkan kehebatan Cecangkriman yang memiliki kandungan sastra penuh makna.
Objek yang diminati Mari adalah kidung, seuah pelantunan keagamaan di Bali. Sejak 1999 Ia memulai riset mengenai gaya pelantunan kidung dan pada 2004 merampungkan disertasi tentang Kidung di Bali. Ia mendapat bimbingand ari sejumlah musikolog terkemuka Jepang untuk riset ini seperti Prof Dr Geni’chi Tsuge dan Prof Yukio Uemura, dan lainnya.
Disebutkan, penelitian ilmiah mengenai seni vocal dan pelantunan Bali sangat terbatas jumlahnya dibanding soal gamelan. Penelitian klasik soal kidung pernah dibuat oleh Adrian Vickers, yang juga dikutip dalam buku ini. Mari menambahkan risetnya lebih ilmiah soal seni vocal dan tembang Bali.
Tembang ini dilantunkan turun temurun oleh orang Bali untuk melindungi bayi dan anak-anak dari kekuatan jahat. Mari mencermati suara dan ucapan tembang ini yang berperan sebagai jimat dan kekuatannya berkomunikasi dengan sesuatu yg bersifat supranatural seperti dewa dan roh jahat.
“Buku karya Mari ini mengingatkan tembang Bali yang langka dan ditinggalkan pewarisnya ini sanggup menjadi pelindung manusia dari marabahaya,” tambah Bandem.
Dewa Palguna, akademisi dan pendiri Arti Foundation menyatakan warisan Mari Nabeshima sangat berharga bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan Bali. Konser dan commemoration ini diberi judul “Saga-Ta” yakni Saga, tempat kelahiran almarhum Nabeshima di Jepang tahun 1972 dan Ta-Tainsiat, tempat kelahiran suaminya di Kota Denpasar. “Saga-Ta akan diingat sebagai proses berkesenian Mari yang abadi. Ia tinggal dan berkarya bersama warga Banjar Taensiat hingga meninggal,” kata Palguna.
Selain seni music Bali, konser ini juga diisi solo piano oleh Chie Ishimoto membawakan karya Claude Debussy Estampes. Selain itu ada pertunjukkan violin oleh Jane Tateno dan piano oleh Maho Nabeshima.
Mari melewatkan masa kecilnya di Australia, lalu kuliah S1 studi musikologi di Tokyo University of Arts. Ia kemudian menerima beasiswa untuk mendalami tabuh dan tari Bali di Institut Seni Indonesia lalu menempuh studi doctor dan phd di Tokyo lagi hingga membuat kajian tembang Bali.
Ia lalu menikah dengan Kadek Suardana, seorang seniman dan produser seni sekaligus pimpinan Arti Foundation. Infeksi demam berdarah tak disangka merenggut Mari. Jenazahnya diupacarai dengan ritual Bali termasuk ngaben.
Mari cakap memainkan gamelan Bali dan menguasai berbagai jenis tari. Hasil penelitian berbahasa Jepang ini aslinya ditulis dalam huruf Kanji kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Yoko Namura.
“Setidaknya ada kenangan yang ditinggalkan Mari untuk generasi muda Bali,” kata Kadek Suardana tersenyum.