Gung Wah, remaja autistik menyanyi untuk Putri, pengidap thalassemia.
Senyum Putri, remaja perempuan ini tak pernah lepas. Ia sedang menunggu tersedianya empat kantong darah untuk rutinitasnya sejak bayi, transfuse. Tangan kirinya memegang dua boneka jari berbentuk binatang.
Boneka-boneka jari ini dijahit tangan oleh anak-anak dan pendamping mereka di Sanggar Belajar Autis Sarwahita Yayasan Peduli Autism Bali selama beberapa pekan.
“Ayo Gung Wah, kamu kan senang lagu Naff. Coba nyanyikan untuk mereka,” ajak Bunda Ratih pekan lalu.
Lalu Gung Wah menyanyikan utuh dua lagu dengan suara keras. Pasien anak-anak bertepuk tangan mengapresiasi. Gung Wah diajak bersalaman dengan semua pasien. “Cepat sembuh ya,” ujar Gung Wah dan Arsa yang kebagian berkeliling menghibur.
Para pendamping terlihat sangat bahagia melihat anak didiknya berusaha sepenuh hati berbagi keriangan. “Kami tak banyak berlatih untuk persiapan, tapi mereka luar biasa,” seru Ratih berkali-kali.
Sedikitnya ada 80 pasang boneka yang dibuat untuk diberikan pada pasien anak-anak di RSUP Sanglah. Pusat kegiatan mendongeng dan membagikan boneka jari ini dipusatkan di Sal Pudak. Ruang perawatan yang selalu penuh dengan puluhan anak-anak terapi kanker, tumor, dan thalassemia.
Selama sekitar satu jam, enam anak-anak autistik didampingi konselornya ini membacakan cerita, menyanyi lagu yang digemarinya, dan bersalaman dengan temannya yang sedang sakit. Mereka sangat sopan dan tertib.
Para konselor berhasil mengajak anak-anak sekolah yang berlokasi di Jl Ahmad Yani Denpasar ini berinteraksi dengan penghuni Sal Pudah dengan cara mereka sendiri.
Ketika masuk sal, rombongan berkoordinasi dengan Kepala Ruangan Sal Pudak untuk diarahkan bagaimana sebaiknya kegiatan berlangsung. Ada dua kelompok pasien anak, pertama mereka yang diizinkan keluar dari tempat tidur dan yang tidak.
Untuk kelompok pertama, kegiatan dilakukan di Ruang Bermain yang biasanya menjadi tempat belajar dari Yayasan Kasih Anak Kanker Bali. Sedikitnya ada lima pasien dengan kanker yang masih mengenakan infus digendong oleh keluarganya. Belum mulai dongeng, mereka sudah tertawa melihat boneka-boneka jari berbagai bentuk seperti binatang, tumbuhan, rumah, dan lainnya.
Anak-anak Sanggar Belajar Autis Sarwahita membagi diri menjadi dua kelompok juga. Sebagian mendongeng dan menyanyi dari satu kamar ke kamar lain.
Dalam sal yang pasiennya tergantung pada jaminan kesehatan nasional ini, tiap hari adalah perjuangan. Putri dan Lov adalah dua anak perempuan yang bersahabat karena tiap dua opname beberapa hari tergantung kesediaan darah dan kondisi fisik.
Ada juga Dimas, anak laki-laki sekitar lima tahun yang tiap hari meringis menahan sakit karena tumor di perut. Sebagian besar adalah anak-anak pengidap kanker yang tak pernah sebentar menginap di rumah sakit.
Kegiatan tahunan ini difasilitasi Narasi Bori, komunitas yang senang membuat boneka jari untuk edukasi. Figur-figur boneka jari atau bori ini disesuaikan dengan konteks edukasinya. Misal pernah membuat Sasa, sebuah boneka yang diberikan pada penyandang disabilitas yang sedang bersiap mencari kerja.
Sahabat Saya (Sasa) diharapkan menjadi simbol semangat dan dukungan yang dibantu Bali Export Development Organization (BEDO).
Kemudian ada juga seperangkat bori untuk mengampanyekan pendidikan kesehatan reproduksi dan kampanye pecegahan pelecehan seksual yang digunakan AyoUbud dalam sebuah sesi di Bali Spirit Festival.
“Tak perlu pintar menjahit di Narasi Bori, yang penting mau berbagi,” kata Madia Debya, mentor tiap workshop dan pegiat komunitas ini.
Ia diundang Sarwahita untuk mengajar cara membuat bori dan kemudian anak-anak ini sangat bersemangat sehingga terkumpul begitu banyak bori untuk disumbangkan. Jadilah bori dari dan untuk anak special. [b]