Sepenggal cerita dari ulang tahun pertama Rumah Belajar Autis Sarwahita.
…… Aku dia dan mereka
Memang gila memang beda
Tak perlu berpura-pura
Memang begini adanya….
“Jika kami bersama – SID”
BEDA kata tepat buat suara Mohammad Aden Hadi dan keyboardnya.
Beda karena lagu ini dinyanyikan seorang remaja autistik saat HUT pertama Rumah Belajar Autis Sarwahita dan HUT ke-11 Yayasan Peduli Autisme Bali di gedung Nari Graha, Renon, Denpasar.
Aden tak sendiri. Di barisan anak-anak Sarwahita yang bernyanyi ada Gung Wah, Egi, Nina dan Anna. Mereka pun unjuk kebisaan menari India, Jai Ho. Di barisan penari lebih muda ada Dimas, Udin, Arsa dan Nanda. Mereka menari Gopala. Ada pula Vidya, Sumerjaya, Gus Adit, Excel, Maxi serta Marvel yang bergoyang Waka Waka.
Di tahun pertama Sarwahita, jumlah siswa dari “sekolah” di bawah Yayasan Peduli Autisme Bali memang terus bertambah. Bahkan ada beberapa anak di daftar tunggu.
Yayasan ini semula menangani anak-anak dengan spektrum autistik. Namun, dalam perkembangannya banyak permintaan orang tua untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus lain.
Kesehariannya, Sarwahita memberikan pendidikan akademis seperti membaca, menulis, dan menghitung (calistung) serta kegiatan non akademis seperti ketrampilan, kesenian dan olahraga yang didasari pembinaan kemandirian anak.
Soal kemandirian inilah yang ditekankan saat acara HUT kali ini. Baik saat unjuk kebisaan dalam nyanyi dan tari, maupun saat mereka mengikuti lomba mewarnai, melukis dan berkreasi dengan clay. Anak-anak dengan segala bentuk kebutuhan khususnya mengerjakan segala sesuatunya seorang diri.
Tak hanya itu. Dengan tema “Mandiri berkreasi dengan sahabat”, lomba dan pertunjukan juga menggandeng anak-anak lain yang tidak berkebutuhan khusus. Selain ditujukan untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anak-anak berkebutuhan khusus, mengembangkan sikap empati untuk anak lainnya, juga dimaksudkan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekitar.
Hal unik tampak saat anak-anak berkebutuhan khusus bersemangat lomba tanpa diembel-embeli keharusan untuk menang. Sementara anak-anak kategori umum jelas banyak disisipi pesan sponsor dari orang tua yang mendampingi.
Beberapa juri yang baru pertama kali terlibat mengaku tersentuh dengan kreasi dan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus baik dari Sarwahita maupun pusat terapi lainnya seperti Pradnyagama, Madania dan beberapa SLB di kota Denpasar.
“Pengalaman yang membuat saya merinding dan selalu bersyukur,” tutur Citta Mayasari juri dance kategori umum; saat menyaksikan lomba berlangsung.
Tak hanya juri. Agung Indrawati, ibunda Gung Wah yang menyanyikan lagu Cakra Khan merasa bangga campur haru saat menyaksikan penampilan anaknya yang bak artis penyanyi di panggung.
Demikian juga Bonny Dewayanti, ibunda Aden yang terharu dan tak menyangka putra sulungnya bisa menang lomba melukis, lanjut dengan menyanyi sambil main keyboard serta menari di hari yang sama.
Ya., hari itu 1 Mei 2015, kesadaran bahwa bila anak-anak berkebutuhan khusus diberi kesempatan untuk unjuk kemampuan diri mereka, mereka pun bisa seperti anak-anak lainnya.
Semangat ya untuk semua orang tua..terapis dan tentu anak-anak.
Yuk berlatih. Kerja keras lagi. Bersama-sama hadapi tantangan untuk mandiri di masa depan. [b]
Tulisan Ivy Sudjana, ibunda Arsa Bintang Candra yang bangga kalau Arsa hari itu senang dan semangat ikut lomba clay, mewarnai dan tampil di tarian Gopala dan Waka Waka.
Foto-foto Gogon Journey Seni di Hari Libur.