Tim Ekspedisi Indonesia Biru singgah di Bali.
Mereka, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Parta, sedang tur mereka keliling Indonesia. Membawa nama Ekspedisi Indonesia Biru, videografer dan fotografer ini mengendarai sepeda motor berkeliling Indonesia.
Sloka Institute dan Forum Film Maker Bali bersama Kumpul Coworking Space menggelar Diskusi Merekam Laku Indonesia Biru di Kumpul Coworking Space Sabtu lalu. Film Samin vs Semen adalah film karya Dandhy Laksono dan Ucok Parta yang menjadi bagian dari Ekspedisi Indonesia Biru.
Diskusi dihadiri sekitar 25 orang dari berbagai kalangan dan profesi. Kegiatan dimulai dengan pemutaran Film Samin vs Semen. Sebagai pembuka, terekam lewat kamera drone kontradiksi antara pemandangan hamparan sawah di Kabupaten Pati dan Rembang. Hamparan sawah hijau di daerah Pati sedangkan tanah di Rembang tampak gundul dan bekas galian.
Film dokumenter ini menceritakan tentang perjuangan penganut ajaran Samin dalam menolak rencana pembangunan pabrik semen di Jawa Tengah. Warga penganut ajaran Samin tinggal di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Rencananya PT. Semen Gresik dan Indocement Grup akan membangun pabrik di wilayah mereka.
Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang memegang teguh warisan nenek moyang. Paham Sedulur Sikep warisan leluhur mengajarkan mereka untuk menjaga kelangsungan hidup bagi anak cucu. Mereka memiliki kepercayaan bahwa untuk bertahan hidup adalah dengan bertani. Mereka pantang berdagang.
Perjuangan Film ini mengambil latar belakang di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Pati dan Rembang (Jawa Tengah), serta di Kabupetan Tuban (Jawa Timur). Tahun 2006 lalu, PT.
Semen Gresik berencana membangun pabrik semen di Pati. Berkat kegigihan perjuangan orang-orang Samin menolak pabrik semen di wilayah mereka, tahun 2009 mereka menang dalam gugatan di PTUN. Orang Samin menolak karena mereka memiliki prinsip pembangunan pabrik semen bisa mengancam pertanian dan sumber mata air mereka.
Kalah dari orang-orang Samin, PT. Semen Gresik mundur dari Pati dan pindah ke Rembang. Dalam film ini juga diceritakan bagaimana kondisi Rembang pasca pembangunan pabrik semen. Orang-orang Samin pun menuju desa tetangga untuk berbagi pengalaman bagaimana mereka bersatu mempertahankan agar wilayah mereka tidak dibangun pabrik semen.
Selain itu dalam film yang berdurasi 39:26 detik ini, Dandhy Laksono dan Ucok memperlihatkan bagaimana kaum perempuan desa memiliki semangat menentang demi memperjuangkan tanahnya.
“Kami tak butuh pabrik semen, tapi kami butuh air dan pangan. Mending krisis semen daripada krisis pangan,” ujar perempuan Samin yang menjadi salah satu tokoh dalam film ini.
Bagi mereka jika pabrik semen dibangun, maka mereka akan kehilangan berhektar-hektar lahan sawah. Kehilangan berhektar-hektar sawah, berarti kehilangan sumber kehidupan. Air dan tanah sangat berarti bagi mereka. Film Samin vs Semen dikerjakan Dandhy Laksono dan Ucok Parta kurang lebih selama 2 bulan.
Dandhy Laksono Dwi Laksono memang kerap membuat film dokumenter yang berani. Sebut saja film dokumenter Alkinemokiye. Film ini menunjukkan bagaimana Dandhy Laksono berani memperlihatkan realita eksploitasi PT Freeport di Papua dan gejolak yang terjadi saat para buruh Freeport berdemonstrasi dan menuntut upah mereka.
Diskusi Dalam diskusi sekitar 1,5 jam usai nonton bareng, Dandhy Laksono mengungkapkan sepanjang pembuatan film ini, warga yang pro pendirian pabrik semen tidak satu pun bersedia diambil gambar.
Ekpedisi Indonesia Biru menurut Dandhy Laksono Laksono merupakan adaptasi dari Ekonomi Biru. Ekonomi Biru yang dimaksud bukanlah “biru” yang terkait dengan aspek maritim di Indonesia. Ekonomi Biru adalah konsep yang dipopulerkan oleh Gunter Pauli.
Menurut Dandhy Ekonomi Biru yang dimaksud adalah sebuah konsep tentang kehidupan sosial berkeadilan secara ekonomi, arif dalam budaya, dan lestari bagi lingkungan.
Dandhy pun mencontohkan pada film Samin vs Semen. “Kearifan lokal orang Samin adalah pantang berdagang. Hanya bertani. Saat zaman Orde Baru 4 desa tenggelam untuk membangun waduk. Setelah 30 tahun waduk rusak. Sementara sekarang mau membangun pabrik semen,” ujarnya.
Menurutnya tata ruang negara harusnya berkelanjutan. Tidak ada interaksi antara pemerintah dan rakyat. Film dokumenter menjadi salah satu sarana dalam menjembatani antara pemerintah dan rakyat. Hal terpenting dalam film dokumenter adalah konten dan pesannya bisa sampai melalui penyajian audio dan video.
Dwitra J. Ariana alias Dadap, filmmaker asal Bali juga berbagi cerita dalam diskusi. Dadap beranggapan bahwa bagaimana video bisa merekam kearifan lokal adalah dengan melibatkan warga desa sebagai pembuat film dokumenter tersebut. Mereka bisa mengetahui permasalahan yang terjadi di desanya dan mampu mendokumentasikannya melalui video.
“Selama 3,5 bulan di sebuah desa di Flores, saya bersama warga desa sudah membuat 13 video dokumenter. Warga desa bahkan sudah mengenal Facebook tetapi mereka belum bisa menggunakan teknologi untuk hal yang berguna,” ungkapnya.
Konteks Bali Dengan sub tema “Ketidakadilan dimulai dari ketidakpedulian. Membiarkan warga berjuang sendiri atau tak menyuarakan mereka yang berdaya dengan kearifan lokalnya,” nampaknya relevan dengan pesan yang ingin disampaikan Dandhy Laksono dan Ucok Parta lewat Ekspedisi Indonesia Biru.
Tak hanya sekadar singgah di Bali, Dandhy Laksono dan Ucok pun merekam kehidupan Desa Tenganan Pegringsingan. Sebuah desa yang kuat dengan kearifan lokal di tengah pesatnya pariwisata modern di Bali.
Sukma Arida, akademisi yang hadir dalam diskusi ini berkomentar terkait substansi film. “Kalau di Bali musuh kita banyak dan berjamaah. Misalnya fenomena berkurangnya lahan pertanian di Bali. Ada mafia developer, antara Subak dan tukang kavling tanah. Saya rasa tidak sampai 10 tahun sawah di Bali selatan akan habis. Bagaimana realita perdebatan antara petani tua dan anaknya untuk menjual tanah,” komentarnya.
Realita permasalahan di Bali juga diungkapkan oleh Agung Widi dari Kalimajari. Masalah petani kakao di Jembrana misalnya dan petani rumput laut di sekitar Pantai Pandawa yang tak bisa lagi membudidayakan rumput laut karena aktivitas pariwisata.
“Saya setuju film sangat efektif sebagai media inspirasi. Sangat terinspirasi dengan film Samin vs Semen,” ucapnya.
Menurut Dandhy Laksono Laksono terdapat media ignorance yang hanya mengejar rating, sistem sosial yang sudah rusak dimana orang tua di desa kini bukan value guard. Selain itu kaum intelektual yang berkhianat dan sistem sosial dalam masyarakat adat akan hancur lebih dulu.
Melalui film Samin vs Semen ini tergambar inspirasi kehidupan orang-orang Samin yang memegang teguh Sedulur Sikep. Sebagai bentuk penghormatan tinggi terhadap alam yang memberikan mereka berkah berupa tanah, air dan pangan. [b]
mantab nih pelajaran hikmah yg didapat dari film samin vs semen