Made Wiliani bergabung dalam aksi massa Selasa kemarin di Denpasar.
Ibu rumah tangga tersebut memakai kebaya ala perempuan Bali. Kepalanya berisi pita putih dengan tulisan hitam, Bali Tolak Reklamasi. Wiliani warga Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung.
Bersama lebih dari 1.000 orang dia bergabung dalam aksi Forum Rakyat Bali Menolak Reklamasi (ForBali). Mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 51 tahun 2014.
Sejak sekitar pukul 9 pagi WITA, Wiliani sudah di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar. Sekitar 30 menit kemudian, dia ikut berjalan kaki bersama massa aksi. Sesekali dia ikut berteriak, “Tolak Reklamasi!”. Suaranya menyatu dengan gemuruh suara ribuan warga yang ikut aksi.
“Saya tidak ingin pulau saya tenggelam karena pembangunan pariwisata yang tidak terkontrol,” katanya di sela aksi.
Bersama massa dalam barisan, Wiliani mengelilingi lapangan terluas di Denpasar ini. Massa berhenti sekitar 30 menit di depan Bank Artha Graha Denpasar. Bank ini milik taipan Tomy Winata, pemilik PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang akan membangun fasilitas mewah di Teluk Benoa.
Satu per satu juru bicara aksi berorasi. Ada perwakilan warga, mahasiswa, maupun ForBali. Tiga puluh menit kemudian, massa melanjutkan aksi di kantor Gubernur Bali, berjarak sekitar 300 meter dari tempat pertama.
Dalam aksinya, massa yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) ini menuntut agar SBY membatalkan Perpres pengganti Perpres no 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) tersebut.
“Pemerintah SBY telah membohongi rakyat Bali dengan menandatangani Perpres no 51 tahun 2014 secara diam-diam. Karena itu harus tuntut agar SBY membatalkan Pepres tersebut,” teriak Koordinator Lapangan aksi dari atas mobil pikap.
Sekitar seribu peserta aksi berteriak dengan membalas, “Tolak!”.
Menambah Gairah
Massa yang sebagian besar anak-anak muda tersebut datang dari beragam latar belakang. Ada mahasiswa, musisi, aktivis, warga adat, ibu rumah tangga, orang disabel, dan bahkan anak-anak. Mereka membawa berbagai poster, spanduk, maupun perangkat aksi lain berisi penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.
Ada yang berpakaian adat, beralmamater kampus, juga berpakaian ala anak punk. Di belakang massa, puluhan orang berpakaian adat Bali madya (santai) membawa gamelan. Mereka memainkan musik tradisional Bali dalam irama cepat sehingga menambah gairah suasana aksi demonstrasi.
Musik ini saling mengisi dengan irama lain yang dibawakan musisi-musisi Bali seperti The Hydrant, Bull Head, dan lain-lain. Band-band indie ini memaikan ketipung, ukulele dan gitar sambil bernyanyi, “Sayang Bali, tolak reklamasi. Sayang Bali, kita dibohongi. Rusak bumi dan anak negeri..”
Di akhir aksinya, ForBali membacakan tiga pernyataan sikap di depan kantor Gubernur Bali.
Pertama, menuntut SBY untuk membatalkan dan mencabut Perpres no 51 Th 2014 dan memberlakukan Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita.
Kedua, menuntut SBY untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali selatan.
Ketiga, menuntut SBY di masa akhir jabatannya untuk tidak mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak termasuk kebijakan reklamasi Teluk Benoa.
Babak Baru
Aksi massa hari ini menjadi semacam babak baru dalam perjuangan ForBali menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Babak baru tersebut mulai setelah pada 31 Mei lalu, SBY mengeluarkan Pepres no 51 tahun 2014.
Dalam perpres ini, terdapat perubahan wilayah pelestarian dan pemanfaatan. Teluk Benoa yang dalam Perpres 45 tahun 2011 termasuk zona L3 atau konservasi, kini masuk dalam zona P atau penyangga.
Namun, meskipun termasuk dalam zona penyangga, masih ada kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan di zona ini. Misalnya untuk kegiatan kelautan, perikanan, pariwisata, pengembangan ekonomi, dan dan pemukiman.
“Secara tidak langsung, perubahan status tersebut telah membuka karpet merah bagi investor yang akan mereklamasi Teluk Benoa Bali,” kata Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali Suriadi Darmoko.
Menurut Sudarmoko, pembuatan Perpres No 51 tahun 2014 ini dilakukan oleh SBY secara sembunyi-sembunyi. “Buktinya, pembahasan untuk perubahan status kawasan dilakukan tanpa melibatkan pihak yang menolak rencana reklamasi,” kata Moko.
Perpres yang diubah secara diam-diam itu kemudian disahkan akhir Mei lalu.
Penerbitan Perpres 51 Tahun 2014 pada intinya menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres 45 Tahun 2011. Perpres baru ini juga mengurangi luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa “sebagian pada kawasan konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut”.
Pulau Pudut merupakan pulau kecil di Teluk Benoa yang akan menjadi bagian dari fasilitas pariwisata yang akan dibangun PT TWBI. Pulau Serangan berada di seberangnya dan masih masuk Kecamatan Denpasar Selatan.
Selain menghapus Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan, Presiden SBY melalui Perpres 51 tahun 2014 juga mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga. Akibatnya perairan Teluk Benoa dapat direklamasi oleh investor.
Salah satu pasal dalam Perpres ini bahkan menyebutkan luas wilayah yang bisa direklamasi maksimal 700 hektar, hampir sama dengan luas wilayah yang akan dibangun PT TWBI seluas sekitar 800 hektar.
“Terbitnya Perpres 51 Tahun 2014 secara terang-benderang mengakomodir kepentingan investor untuk bisa melakukan reklamasi di Teluk Benoa,” kata I Wayan Suardana, Koordinator ForBali.
“Fakta ini semakin menegaskan bahwa di bawah rezim SBY, hukum dapat dipesan untuk memenuhi ambisi investor bahkan dengan cara mengelabui rakyatnya sendiri,” tambah Gendo, panggilan akrabnya.
Menurut Gendo, perubahan status kawasan konservasi Teluk Benoa untuk mengkomodir investasi akan menjadi preseden buruk bagi status kawasan konservasi perairan lain di Indonesia.
Di sisi lain, perubahan status kawasan konservasi untuk memuluskan rencana reklamasi di kawasan perairan Teluk Benoa telah mengabaikan fakta bahwa rencana reklamasi di kawasan ini telah ditolak seluruh lapisan masyarakat Bali.
Penolakan ForBali terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa sendiri telah berlangsung sejak setahun lalu. Aliansi berbagai kelompok masyarakat sipil di Bali ini menolak rencana reklamasi di kawasan segitiga emas antara Sanur, Kuta, dan Nusa Dua yang akan dilakukan oleh PT TWBI milik Tommy Winata tersebut.
Penghancuran Bali
ForBALI adalah aliansi masyarakat sipil Bali lintas sektoral yang terdiri dari lembaga dan individu. Ada mahasiswa, aktivis LSM, seniman, pemuda, musisi, akademisi, dan individu-insividu yang peduli lingkungan hidup dan yakin bahwa reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah kebijakan penghancuran Bali.
Dalam aliansi ini antara lain ada Front Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali, Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali, Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi Teluk Benoa, WALHI Bali, Sloka Institute, Mitra Bali, PPLH Bali, PBHI Bali, Kalimajari, Yayasan Wisnu, Manikaya Kauci, Komunitas Taman 65, Komunitas Pojok, Bali Outbond Community, Penggak Men Mersi, ALL PIS, BEM Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Bali, PPMI DK Denpasar, Eco Defender, Nosstress, The Bullhead, Geekssmile, Superman Is Dead, Navicula serta komunitas dan individu yang peduli keselamatan Bali.
Ada beberapa alasan ForBali menolak reklamasi ini. Antara lain karena Teluk Benoa termasuk kawasan konservasi. Teluk Benoa termasuk dalam kawasan hutan mangrove seluas 1.373 hektar, hutan mangrove terluas di Bali. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi habitat perairan seperti ikan, padang lamun, rumput laut, terumbu karang, dan lain-lain.
Karena itulah, Teluk Benoa termasuk dalam kawasan konservasi sebelum Perpres nomor 51 tahun 2014 mengubahnya.
Selain itu, Teluk Benoa juga muara bagi lima daerah aliran sungai (DAS) di Bali selatan yaitu DAS Badung, DAS Mati, DAS Sama, DAS Bualu, dan DAS Tuban. Teluk Benoa berfungsi sebagai penampung bagi air dari kelima DAS tersebut. Maka, menurut riset Conservation International (CI), reklamasi Teluk Benoa bisa mengakibatkan banjir bagi daerah di sekitarnya seperti Tuban, Kuta, dan Suwung.
Kedonganan, desa di mana Wiliani tinggal termasuk daerah yang berisiko terkena banjir jika reklamasi Teluk Benoa jadi dilakukan.
Karena itulah, Wiliani kini turut dalam aksi menolak rencana reklamasi Teluk Benoa bersama ribuan massa ForBali. “Di daerah saya sudah terlalu penuh dengan hotel. Jika mau membangun fasilitas pariwisata baru, janganlah di Bali selatan tapi di daerah lain yang masih kosong,” kata Wiliani.
Seperti para penolak reklamasi Teluk Benoa lainnya, Wiliani mengaku tidak membenci pariwisata. Sektor ini telah memajukan pembangunan dan ekonomi Bali. Namun, dia tak ingin pariwisata mengorbankan alam seperti Teluk Benoa. [b]