Haruskah suatu saat nanti orang-orang Bali tidak ubahnya monyet-monyet di Pulaki?
Methirta Yatra atau mengunjungi tempat-tempat suci untuk sembahyang sambil menapaki kesadaran sebagai mahluk ciptaan-Nya, Minggu 8 Mei lalu terasa begitu spesial. Bukan karena mendapat anugrah berupa benda ataupun pawisik tetapi karena tirta yatra kali ini menemani para lansia di lingkungan Banjar saya.
Mereka ini adalah kelompok lansia yang aktif mengikuti senam lansia dan juga latihan yoga plus meditasi. Kegiatan ini rutin dua kali dalam seminggu. Setiap Kamis sore dan Minggu sore. Tempatnya di balai Banjar Tengah Sesetan, Denpasar. Tidak semua lansia ikut. Paling tidak ada 35 lansia rajin hadir dari 90-an yang terdaftar. Saya kebetulan ikut menjadi pendamping untuk kegiatan senam yoga dan meditasinya.
Menurut saya, kegiatan olah raga dua kali seminggu itu ternyata memberikan dampak sangat bagus. Setidak-tidaknya pada tirta yatra kali ini.
Kami berangkat dengan menggunakan dua bus pariwisata. Selain lansia, beberapa anggota PKK dan sekehe santi juga ikut serta. Tentunya mereka ini masih jauh lebih muda dan sehat dibanding para lansia.
Hasil akhirnya, dalam perjalanan selama 15 jam itu, dari lima orang yang muntah, tidak ada satu pun lansia. Semuanya lansia justru tetap bugar dan bisa tersenyum ketika sampai kembali di banjar tenagh pukul 21.35 Wita.
Minggu pagi itu, hujan dengan guntur sepertinya menguji semangat para lansia untuk berangkat tirta yatra. Syukur hujan tidak terlalu lama. Pukul 7.30 Wita saya lihat semua lansia sudah berkumpul di balai banjar. Lengkap dengan tas bekalnya masing-masing.
Kepala lingkungan yang bertindak sebagai penanggung jawab kegiatan hanya menyediakan trasportasi.
Teror Tangga
Kali ini jalur yang dipilih adalah arah barat, journey to the west. Target pertama, pura Rambut Siwi di sisi timur kota Negara, Jembrana, sekitar 2 jam dari Denpasar. Pura ini populer karena merupakan salah satu dari enam pura utama di Bali.
Selain itu, pura ini juga tempat persinggahan bagi para pengendara Hindu yang akan menuju tanah Jawa ataupun datang dari tanah Jawa. Berhenti sejenak memohon keselamatan dan tak jarang melepas penat sambil menambah perbekalan.
Karena menggunakan bus, rombongan harus masuk dari areal parkir terbawah. Para lansia yang melihat tingginya tangga menuju pura sempat menarik nafas panjang. Maklum, beberapa ada yang memiliki riwayat sesak nafas dan beberapa lainnya memiliki masalah pada kaki-kaki yang mulai renta.
“Sing pegat angkihan we, menek?” atau “ Nyidang batis we ked meduur?” itulah pertanyaan mereka. Maksudnya, tidak putus nanti nafasnya? Juga, bisa tidak kaki dipakai naik.
Saya hanya bisa bilang, “Adeng-adeng gen menek we. Yen kenyel nak dadi negak!”. Artinya, hati-hati saja. Kalau capek boleh berhenti.
Rupanya, pura-pura besar di Bali hanya bagi mereka yang sehat dan kuat saja. Pikiran saya mengingat tangga Pura Besakih, Lempuyang dan Uluwatu. Melihat kaki-kaki renta yang telah menopang tubuh lebih dari 65-70 tahun, dalam pola kehidupan yang tidak sehat, jelas terlihat tangga-tangga dari batu hitam yang mahal dan mewah merupakan teror bagi mata-mata yang mulai rabun itu.
Syukurlah semua rombongan bisa memasuki areal pura. Meskipun dua tiga lansia harus dipapah. Dan hal pertama yang mereka lakukan ketika sampai di depan pura adalah mencari tempat duduk teduh. Kami sampai di sini pukul 11.30 untuk melepas lelah dan mengatur napas.
Selesai bersembahyang, saatnya tantangan baru menunggu. Menuruni tangga. Bagiku tentu bukan masalah, tetapi bagi para lansia ini, menuruni tangga adalah masalah. Sama susahnya dengan naik. Kakinya harus turun, menapaki satu anak tangga ke anak tangga yang berikutnya, perlu perjuangan. Menahan agar badannya tidak meluncur ke bawah. Saling berpegangan menjadi solusinya.
Rombongan menikmati makan siang, dari bekal masing-masing, di areal parkir. Lumayan untuk melepas lelah. Ada rasa bangga dan syukur ketika melihat wajah-wajah tua, tersenyum dalam canda mereka. Ah, semoga Hyang Khalik memberi saya waktu sepanjang mereka. Tentunya dengan tubuh yang lebih sehat. 🙂
Demo Mahasiswa
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan menuju kuburan Jaya Prana, di daerah Teluk Terima di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), sekitar 3,5 jam dari Denpasar. Tempat ini populer karena legenda Jaya Prana yang hidup di tengah-tengah masyarakat Bali.
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai perjalanannya. Maklum, perut kenyang dan saat-saat mata ngantuk. Saya terbangun lima menit sebelum lokasi. Lebih dari satu jam rupanya aku tertidur.
Segerombolan monyet terlihat menatap rombongan ketika kami berkumpul di depan jalan masuk menuju tempat sembahyang. Menurut informasi dari salah satu petugas, jarak makam Jaya Prana dari sisi jalan itu sekitar 400 meter.
Saya pun bertanya-tanya. Akankah para lansia, kakek nenek dan bibi saya bisa sampai? Beberapa dari mereka berinisiatif mencari dahan kayu untuk tongkat, penyangga dalam perjalanan. Dan beberapa lansia sempat harus duduk menarik nafas di tengah perjalanan. Akhirnya semua bisa sampai dan bersembahyang di makam Jaya Prana.
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju Pura Pemuteran di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Lokasi pura ini sangat nyaman bagi para lansia. Parkir yang sangat dekat dan pancuran air hangat untuk membasuh muka, kaki dan tangan di areal pura membuat para peserta merasa lebih segar dan tidak terlalu menguras tenaga mereka. Jalan dan tangga tidak menjadi terror!
Oya, jarak dari makam Jaya Prana ke pura Pemutaran ini tidak terlalu jauh, kurang dari 20 menit berkendaraan.
Dari Pemuteran perjalanan dilanjutkan menuju pura Pulaki. Di daerah Pulaki, Buleleng. Tidak terlalu jauh dari Pemuteran, sekitar 10 menit berkendaraan. Baru turun dari bus, rombongan sudah disambut monyet-monyet mendekat.
Kami semua sudah diingatkan sebelumnya untuk berhati-hati di Pulaki. Barang-barang lebih banyak kami biarkan di dalam bus. Monyet-monyet di sini terkenal dengan gerakannya yang cepat dalam mengambil barang yang di bawa pengunjung.
Saya tidak berani mengeluarkan kamera melihat tatapan-tatapan monyet-monyet yang seperti mengincar. Salah satu peserta rombongan pendamping dari PKK banjar yang membawa Mie Gelas terdiam ketika seekor monyet besar mengambil gelasnya. Tidak ada perlawanan sama sekali. Mirip kalau kita dipalak preman sangar.
Awas lho, kalau teriak! Mungkin begitulah arti tatapan mata si monyet sambil memerlihatkan gigi-giginya.
Akhirnya semua rombongan tiba di areal dalam pura untuk bersembahyang. Saya tersenyum saja ketika melihat tempat menghaturkan banten dikelilingi jala dari kawat. Mirip kerangkeng. Dengan ranta-rantai dan gemboknya. Saya tidak ingat betul kapan tempat banten ada kerangkengnya itu dibuat. Maklum sudah lebih dari 20 tahun tidak pernah bersembahyang di pura ini. Paling hanya lewat ataupun kalau mampir tidak pernah ikut bersembahyang. Lebih senang melihat orang-orang yang terkaget-kaget ketika diloncati monyet.
Ketika rombongan sudah menaruh banten di “kerangkeng” dan duduk untuk mulai persembahyangan, baru saya sadar kalau rombongan ini dikawal beberapa pengayah pura yang membawa kayu. Ya, mirip para polisi mengamankan demo mahasiswa. Hanya saja bukan rombongan kami yang menjadi obyek pengamanan itu. Para monyetlah yang dijaga agar tidak mengganggu kami. Wuih terasa jadi pejabat saja!!!
Monyet-monyet itu cukup cerdas juga. Mungkin benar karena masih satu jalur dengan kita kali ya. Mereka mengawasi para penjaga, menunggu mereka lengah dan bergerak mendekati kami. Alhasil, saat melakukan panca sembah, mata saya tidak bisa terpejam lama. Sebentar-sebentar saya melirik monyet di depan, di atas dan di samping. Mungkin sebagian besar rombongan seperti saya.
Dan benar saja. Begitu selesai panca sembah terakhir, seekor monyet besar sudah berada di tengah-tengah rombongan. Berjalan pelan melihat apa yang bisa diambil. Para penjaga kecolongan! Dan kami pun cukup ketakutan!
Syukur si monyet besar ini mau pergi setelah diancung-ancungkan kayu oleh para pengayah pura. Hanya canang dan kewangen dari salah satu lansia yang diambilnya.
Saya sempat merasa, inilah persembahyangan yang penuh dengan teror. Dari baru masuk, saat sembahyang hingga keluar selalu ada mata-mata yang mengawasi. Lengah sedikit barang bawaan akan berpindah tangan. Jadi teringat dengan Pasar Ular di Jakarta Utara dahulu.
Nakalnya monyet-monyet di Pulaki sudah terkenal. Kenakalan mereka tentunya ada penyebab. Salah satunya adalah berkurangnya buah-buahan di dalam hutan sehingga mereka memilih mencari makan di areal pura. Tidak adanya makanan yang memadai telah membuat monyet-monyet ini biasa melakukan barter dengan cara mengambil barang pengunjung atau orang yang bersembahyang untuk ditukar dengan pisang, buah atau kacang.
Belajar Menjambret
Kami melanjutkan persembahyangan menuju Pura Pasar Agung, Pura Melanting dan Pura Kertha Kawat. Kelakuan monyet-monyet Pulaki tadi seperti memberikan gambaran masa depan tentang Bali ini. Suatu saat nanti orang-orang Bali ini tidak ubahnya akan seperti monyet-monyet di Pulaki yang harus belajar menjambret untuk sekadar medapatkan makanan.
Setelah seluruh lahan garapan berpindah tangan, setelah semua sawah, hutan dan ladang berubah menjadi hotel dan private villa. Para pemilik hotel dan vila membayar preman-preman bersenjata untuk menjaga areal hotel dan vila dari intipan mata-mata lapar orang-orang Bali. Pekerja-pekerja hotel dan vila pun sudah didatangkan dari luar Bali, karena liburnya pasti dan lebih sedikit dibanding orang Bali yang begitu sering, tiba-tiba, harus izin karena ada kerjaan adat.
Seremonial di pura-pura pun nantinya akan diselenggarakan oleh EO-EO profesional yang waktunya bisa sewaktu-waktu sesuai dengan pesanan. Karena pengempon pura sudah tidak mampu lagi melaksanakan odalan yang hanya menghabiskan biaya besar dan menjadi tontonan gratis para toris.
Ah, sembahyang dalam teror di Pulaki telah benar-benar meneror masa depan kebalian saya!! [b]
hehehe..monyet – monyet di pulaki emang gitu. Bikin sembahyang ga konsen, tapi itulah kenyataannya. Anggap saja banten, canang, dan sebagainya yang kita haturkan sudah diterima oleh-Nya melalui monyet – monyet tersebut 🙂
ya mang 🙂 kalau sudah pasrah.. kenapa ya harus dibuatkan kerangkeng seperti itu..:)
Poinnya ada di : “Suatu saat nanti orang-orang Bali ini tidak ubahnya akan seperti monyet-monyet di Pulaki yang harus belajar menjambret untuk sekadar medapatkan makanan.”
100 untuk penulis.
tidak ada kata yang lebih tepat daripada kekhawatiran anda ini …
sudah saatnya mencari pemimpin dan wakil rakyat yang benar benar membawa aspirasi bali, bukan aspirasi preman
good. poin balik 100 untuk nak bali
sekalian titip nanti kalau sudah ketemu pemimpin yg kita ingini itu.. tolong tangga pura-pura besar jangan tinggi-tinggi..apalagi kemiringannya lebih dari 40 derajat
tertawa ngakak pas adegan pura pulaki soal monyet dan kerangkeng banten, dan lalu prihatin. ngakak lalu tertunduk malu. selain lansia saya juga tak pernah melihat difabel ke pura yg bertingkat di bali. Lalu soal kera, benar kita lalai memenuhi kebutuhan penjaga pura ini dengan penanaman buah tak hanya cemara. Stori yg luar biasa menggugah bli
suksma luh de..:)
wah, bener tu bli. Pura yang besar-besar sangat tidak ramah untuk orang-orang tua dan orang yang sakit, seperti pernah kena stroke misalnya. Saya pernah lihat di uluwatu.. bapak-bapak yg sepertinya kena stroke harus di papah dan menggerutu waktu naik tangga. Padahal katanya di pura tempat yg bagus untuk memohon kesembuhan, daripada ke dukun.. bagaimana mau ke pura kalau tangganya semua tinggi-tinggi 🙂
wah, sama tu kekhawatiran kita Masta…
Apa cuma saya yang menangkap pesimisme dalam tulisan diatas?
“Rupanya, pura-pura besar di Bali hanya bagi mereka yang sehat dan kuat saja. Pikiran saya mengingat tangga Pura Besakih, Lempuyang dan Uluwatu. Melihat kaki-kaki renta yang telah menopang tubuh lebih dari 65-70 tahun, dalam pola kehidupan yang tidak sehat, jelas terlihat tangga-tangga dari batu hitam yang mahal dan mewah merupakan teror bagi mata-mata yang mulai rabun itu.”
Miris saya membaca tulisan itu. Kenapa anda tidak tanya saja pada orang tua tsb : menyesalkah bersembahyang ke Pura yang tinggi-tinggi itu?? apakah itu teror bagi mereka?? apakah niat mereka bersembahyang kalah oleh ratusan tangga-tangga mewah tersebut??
Tidak ada siapapun, bahkan Tuhan, yang memaksa untuk harus datang ke Pura. Itu karena niat mereka sendiri. Saya malah kagum kepada orang-orang tua itu. Kita harusnya mencontoh niat mereka yang kuat, bukan menyalahkan lokasi Pura yang anda katakan tidak bersahabat tsb.
Lalu untuk analogi orang bali di masa depan seperti monyet, saya lagi-lagi menangkap kepesimisan (bukan kekhawatiran) Dudik, walau tulisan itu sangat menyentil (bahkan menampar) kita semua. Saya percaya masih banyak orang bali yang berpendidikan, yang akan mampu membawa bali lebih baik ke depan, yaitu generasi muda ini. Jalan yang tidak mudah bukan berarti membuat kita pesimis dan bersikap ya sudahlah.
Just my 5 cents. 🙂
Betul Tetangga, itu pesimistis sy terhadap masa depan Bali…
Sy kebetulan tidak bertanya, tetapi merekalah yang mengeluarkan “keluhan” terhadap tangga-tangga tersebut. Saat mereka menyatakan hal itu, membuat sy sadar bahwa ada realitas yg perlu kita pikirkan bersama, membuatkan akses yg lebih mudah buat para tetua kita.
Menyesal, yang pasti tidak.. kelelahan sudah pasti. Dan tangga yg ratusan memang telah banyak membuat “kita” tdk bisa mengajak nenek atau kakek kita ikut serta bersembahyang ke beberapa pura sad kahyangan jagat.. apakah anda punya kakek atau nenek yg bisa ikut ke puncak lempuyang?
entah kalau untuk analogi monyet, apakah ini sebuah kepesimisan atau bentuk kepedulian terhadap realitas yg mulai muncul..semoga tetangga pernah baca koran.. tentang pencurian pretima yg pelakunya adalh orang “kita” sendiri. Oya sy punya pendapat bahwa semakin terdidik orang itu maka semakin sulit tradisi mengikat mereka.. lihatlah kasus rentang kesucian pura.. ini bisa anda lihat di kasus pecatu/uluwatu radius kesucian pura harus di negosiasi ulang demi terjualnya tanah untuk villa, yg protes itu bukan orang yg bodoh
re : teror tangga
Pura-pura ini dibuat jauh sebelum peradaban ini menjadi osteoporosis, itu baru tangga dahulu orang mau ke besakih harus menempuh berjalan kaki selama 2 hari dua malam dan nyuwun bodag yang besarnya 3 kali ukuran badan mereka. Mereka tidak mengeluh, mereka bersyukur akhirnya bisa tangkil.
Makanya beberapa orang memilih untuk ke Grahadi, jalan aspal mulus, ditengah kota, mungkin ada escalator, ber-AC dan ada sofanya. haha
Optimis ataupun pesimis yang penting tidak anonim.
emank gtu kenyataannya bli saylow,masykt sekarng maunya serba prktis,tis–tis. ini efek samping dari zaman kali yang melilit.
ke pura bukannya sembhanyang, melainkan dijadikan ajang pamer segala bentuk jenis “barang” yang dimiliki, ibartkan “pura= mall”, saling beradu domba menampilakan yang serba wah…..
Saylow ganteng..betul.. pura-pura yg lokasinya sulit itu adalah produk dahulu kala, saat Bali masih sebuah pulau agraris, sedang pura produk pariwisata adalah pura Jagatnata yg ada di timur puputan, pinggir aspal juga. dan yg saylow bilang dahulu orang harus jlan kaki hngga 2 hari jg betul, alasannya sederhana mereka belum memiliki moda trasportasi seperti saat ini. Mereka juga punya solusi untuk mengatasi beratnya medan ke pura yg jauh dgn membuat sanggah pengayatan atau pesimpangan. sebuah simbolisasi untuk pura tertentu yg di taruh di merajan masing-masing (ini pemikiran yg cerdas) sehngga cukup ngayat dr sanggah di halaman rumah untuk Ida yg melinggih di Besakih contoh.
dan ide ke grahadi sepertinya sulit bagi sy u/ realisasikan untuk para lansia ini… masalahnya cuman satu budgetnya terlalu mahal 🙂
Kalimat terakhir… kerennnnnnnnnn
untuk Agus widi… sy pernah dengar jawaban untuk yg anda bilang dr pakar agama…itu adalah wujud bakti, sehingga umat hindu ingin menunjukan dan menghaturkan yg terbaik ke hadapanNya.. sehingga dipakailah baju terbaik, perhiasan terbaik dan ..mobil terbaik untuk ke pura, jadi bukan pamer ke sesama 🙂
Pakar agama mana yang ngomong begitu bli?
Saya mau ajak ke desa saya untuk mencerahkan pergunjingan para ibu-ibu.
Kalau bisa dibuat ramah untuk semua, sebaiknya ya dibuat ramah 🙂
kalau tdk salah ingat ada pak tjok rai dan pak sura. gus…tetapi itu jawaban yg bersifat akademis ketika tiang kuliah di UNHI dulu, saat diskusi memperdebatkan pura menjadi ajang pamer perhiasan… jawaban dari beliau-beliau berdua kurang lebihnya seperti ini lengkapnya “tdk ada yang salah dengan itu,itu adalah wujud bakti, sehingga umat hindu ingin menunjukan dan menghaturkan yg terbaik ke hadapanNya.. sehingga dipakailah baju terbaik, perhiasan terbaik dan haturan terbaik ..(mobil terbaik, ini tambahan dr sy) untuk ke pura. ” Dan kesimpulannya saat itu adalah semua hal yg kita lakukan yg berhubungan dgn Tuhan adalah urusan yg sangat personal. Tdk ada kata harus…coba baca cerpen bali post dua minggu kemarin kalau tdk salah tulisan wayan supartha, itu juga sangat menggelitik .. dan referensi dr cerpen itu ada pada cerita begawan penyarikan..mungkin saya saja diundang untuk ngomong ke ibu-ibunya GUs..:)
wah2 pak dudik kok menulis ini, apa masalahnya??! @ penulis : pak dudik agamanya apa sih, kok namanya ga ada titelnya, klo bukan “Hindu Bali” kami menyadari kekurangannya 🙂 @ tangga : yang bikin Beliau2 itu, ngapain pak dudik repot, tinggal kesana kalau mau, klo ga sembahyang aja di sanggah rumah, jangan2 ga punya sanggah lagi 🙂 @ monyet : pak dudik ga perlu munafiklah, itukan monyet, manusiapun dimanapun itu sekarang banyak meniru kelakuan monyet, jadi jangan menitik beratkan ke orang bali dong
I Made adi,.. sy nulis ini dulu.. krn belajar ngeblog, ngga ada masalah kok…agama saya hindu, kelahiran saya bali..lahir dan besar di sesetan. untuk tangga itu sebuah realita, dan untuk monyet silahkan baca makna yg seharusnya made pahami…