• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Sunday, October 26, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Bali dan Rasisme yang Mengakar

I Ngurah Suryawan by I Ngurah Suryawan
3 September 2025
in Kabar Baru, Kolom Matan Ai, Opini, Politik
0 0
0

Kemarahan ini bukan sekadar soal “isu politik sesaat”. Ia akumulasi. Bertahun-tahun. Lapisan demi lapisan. Dari dapur yang makin lapar, dari anak-anak muda yang tidak punya kerja, dari pedagang kecil yang dihantam razia, dari orang tua yang mati dalam antrian rumah sakit.

Di bawah, rakyat mengantri. Di atas, pesta tak berhenti. Uang dihambur-hamburkan. Gaji pejabat dikerek naik, tunjangan ditambah, fasilitas diperluas. Seakan negeri ini hanya ada untuk memberi kenyamanan bagi segelintir elite. Nurani telah kebas.

(Toto Raharjo, “Peguasa Kaget Melihat Api yang Disulutnya”, 30 Agustus 2025).

Amarah rakyat sudah meluap. Beberapa peristiwa terakhir yang mempertontokan banalitas kekuasaan dan centeng-centengnya menyulut kemarahan itu. Tingkah polah kekuasaan yang rakus dan merampas kedaulatan rakyat sudah terakumulasi begitu lama. Kemarahan menjadi bara yang mencari salurannya. Cara pandang kekuasaan menganggap ini anarkisme.

Tapi, dari sisi rakyat, inilah cara mereka merebut kembali kedaulatannya. Seperti yang dengan sangat menyengat disampaikan oleh Toto Raharjo (2025) bahwa rakyat tidak percaya lagi pada siapa pun karena terlalu sering ditipu oleh elite politik, oleh wakil yang tak pernah mewakili, oleh partai yang hanya menjadi garong anggaran. Rakyat marah karena setelah sekian lama ditahan, direpresi, diabaikan, bahkan dihinakan.1

Aksi demontrasi akibat akumulasi kemarahan rakyat terhadap jalannya pemerintahan juga berlangsung di Bali pada 30 Agustus 2025. Aliansi masyarakat sipil yang merupakan gabungan dari mahasiswa dan buruh, pengemudi ojek online (ojol), dan berbagai elemen rakyat sipil lainnya tergabung dalam Aliansi Bali tidak Diam.

Aliansi Bali tidak Diam mengajukan 33 tuntutan dalam aksi demonstrasinya diantaranya adalah: Bubarkan DPR RI; Menuntut Reformasi Total Polri dan bentuk Badan Independen Pengawas Polri; Makzulkan Prabowo-Gibran; Pemberhentian anggaran tunjangan dan redistribusi kekayaan Polri dan DPR kepada rakyat yang membutuhkan;

Perhatikan kesejahteraan rakyat, Atensi penyalahgunaan pajak; Adili para polisi pembunuh dan penabrak serta yang melakukan kekerasan terhadap massa aksi yang mengakibatkan kematian; pecat dari institusi, hukum seberat-beratnya, serta menuntut transparansi terhadap proses hukum yang ada; Polri harus bertanggung jawab atas kematian dan terlukanya para korban secara penuh yang merupakan massa aksi; Pecat pimpinan Polri yang gagal dalam menjalankan tugas dalam mengamankan massa aksi;

Bebaskan dan hentikan kriminalisasi terhadap para tahanan politik termasuk para demonstran, petani, buruh, kelompok rentan, dan pejuang adat; Segera sahkan RUU Perampasan Aset; Kembalikan 6 kendaraan beserta surat kendaraan milik IWS dan adili 10 personel Polres Klungkung seadil-adilnya; Tuntaskan dan adili para pelaku kasus pelanggaran HAM berat;

Kembalikan independensi KPK; Cabut UU Cipta Kerja, UU TNI; Tolak pengesahan RKUHAP; Cabut Peraturan Bupati Badung Nomor 11 Tahun 2025 tentang NJOP PBB P2; Hapus kebijakan kenaikan pajak yang tidak masuk akal; Perkuat fungsi dan wewenang Kompolnas sesuai UU Kepolisian; Hentikan perampasan lahan dan penggusuran ruang hidup; Hapus praktik outsourcing dan upah murah; Bentuk satgas PHK untuk awasi PHK yang tidak sesuai aturan; Pangkas beban pajak buruh dengan menaikkan PTKP dan menghapus pajak-pajak seperti pajak pesangon, THR, JHT, dan penghasilan tidak kena pajak; Hapus diskriminasi pajak pekerja perempuan menikah; Terapkan sistem pengupahan yang adil bagi pekerja sawit; Tegakkan aturan K3 untuk pekerja tambang;

Sahkan aturan Internasional tentang perlindungan pekerja dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja sesuai Konvensi ILO; Sahkan 3 RUU, diantaranya RUU Ketenagakerjaan Baru yang menggantikan aturan-aturan di Omnibus Law, RUU PPRT untuk memperjelas status dan melindungi PRT, dan RUU Pemilu untuk sistem Pemilu 2029 yang lebih baik; Hentikan komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan; Hapus pasal karet, yakni pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE; Tolak RUU Polri; Hentikan proyek-proyek pembangunan yang tidak partisipatif dan merugikan masyarakat; Bentuk sistem manajemen sampah di Bali yang kondusif. 2

Seperti aksi-aksi di wilayah lainnya, demontrasi di Bali juga berbuntut ketegangan dan aksi kekerasan. Aksi yang disebut anarkis ini, kemudian ditambahkan oleh Presiden Prabowo Subianto mengarah kepada makar dan terorisme inilah yang diperbincangkan ke permukaan dan memperkeruh situasi. Substansi dan akar permasalahan demonstrasi dan kemarahan rakyat menjadi tenggelam. Pemerintah gagal atau berpura-pura gagal memahami penyebab kemarahan rakyat, yang sebenarnya salah satu sumber masalahnya adalah mereka sendiri (pemerintah/eksekutif).

Situasi pun bergulir cepat dan respon pemerintah untuk membatalkan tunjangan anggota DPR, pembatasan kunjungan kerja ke luar negeri, dan partai politik yang “menonaktifkan” anggotanya yang rumahnya diamuk massa sejatinya tidak menjawab akar permasalahan. Borok menganga akibat berkelidannya serangkaian kebijakan yang membuat amarah rakyat menggunung dan pada akhirnya meledak.3 Tidak terkecuali di Bali.

Akar Rasisme Bali

Saya (kembali) tersentak mendengar lontaran pernyataan bahwa kalau “orang asli Bali” tidak mau membuat kekacauan dan keributan dalam demonstrasi yang berlangsung 30 Agustus 2025 lalu. Pernyataan ini secara langsung menyatakan bahwa demontrasi dilakukan oleh “orang luar Bali”. Pernyataan “orang asli Bali” dan “orang luar Bali” tentu sangat problematik. Tapi kita dengan sangat mudah menangkap bahwa sasaran pernyataan ini adalah pemilahan ras sehingga menjadi sangat rasis.

Sentimen rasial tersebut mengerucut kepada tudingan bahwa aksi demontrasi di Bali dilakukan dominan oleh “orang luar Bali”. Meskipun ber-KTP Bali, tapi namanya tidak “asli Bali”. Dua pernyataan sentimen rasial yang meresahkan ini di antaranya dari Gubernur Bali I Wayan Koster yang mengungkapkan bahwa, “Saya mendapat informasi dari 25 orang yang diamankan hanya tiga yang ber-KTP Bali, yang lainnya bukan, berarti ini kan sudah disusupi, kalau disusupi melebar dia, eskalasinya meluas kan kita jadi rugi semua,” ujarnya.4

Pihak kepolisian tidak ketinggalan. Karo Ops Polda Bali, Kombes Pol Soelistijono juga menyatakan, “…ada 130 orang yang diamankan dari kemarin sampai dengan pagi dini hari. Kalau kita lihat, data nama itu, memang KTP-nya sebagian besar banyak sudah di Bali, tapi bukan orang Bali yang banyak. Karena kita semua yakin kalau yang asli dari Bali tidak mau membuat kekacauan, keributan, di Provinsi Bali. Ya, ini fakta setelah kita lihat dari data yang diamankan oleh jajaran, selain oleh Brimob dan sekarang dilakukan pemeriksaan oleh jajaran Reserse, KTP-nya Bali tapi faktanya mereka bukan orang Bali kalau kita lihat namanya.” ujarnya. 5

Berbagai postingan di media sosial dan hiruk-pikuk komentar menyebutkan bahwa bertindak anarkis bukanlah sifat alami orang Bali. Jikapun orang Bali melakukan aksi protes pasti akan “bernuansa seni budaya Bali”. Sentimen rasial ini tidak hanya bersliweran di sosial media, tapi juga merasuki institusi pemerintahan dan kepolisian dalam melihat aksi demonstrasi di Bali pada 30 Agustus 2025 lalu. Bagi saya ini persoalan besar meski bukan hal baru yang dilakukan dalam menstigmatisasi gerakan sosial di Bali.

Stigmatisasi rasial dalam gerakan sosial di Bali memiliki sejarah yang panjang. Aksi-aksi demonstrasi mahasiswa pada masa Orde Baru, yang mengkritik rakusnya investasi pariwisata merebut ruang-ruang kehidupan masyarakat Bali, sering dicap sudah disusupi “kepentingan luar”, diotaki “nak Jawa”, atau dianggap bukan aspirasi murni rakyat Bali.

Sentimen rasisme ini merujuk kepada banyaknya pentolan aktvis dan mahasiswa yang berasal dari luar Bali yang berteriak protes. Wacana yang biasanya digunakan adalah “nak Jawa” yang bikin rusuh Bali. Para “pendatang” tidak ingin Bali aman, atau “para pengacau pariwisata”. Sentimen rasial tersebut semakin menebal saat terjadi dua kali peristiwa Bom Bali yang mengasah kewasapaan terhadap para pendatang dan pada sisi lain memperkuat benteng Bali dari pengaruh negatif yang (dianggap hanya) datang dari luar Bali.

Pandangan yang mengkerangkai stigma rasial ini sebenarnya merendahkan daya berpikir kritis orang Bali sendiri. Jika yang melakukan stigma rasial ini mengaku dirinya orang Bali, mereka sebenarnya juga merendahkan kedaulatanya dirinya sendiri untuk mempergunakan akal budinya mempelajari sejarah Bali, membuka pandangan yang beragam dalam kemanusiaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah “mengubah” dirinya sendiri melalui rentang panjang pembelajaran tersebut.

Saya melihat akar rasisme dan tumbuh suburnya di Bali, salah satunya ditopang oleh pandangan kulturalisme yang kuat mengakar dalam dunia berpikir orang Bali dan dilegitimasi oleh kaum cerdik pandainya. Pandangan ini kurang lebih berargumen bahwa individu (orang Bali) ditentukan oleh budayanya, sehingga budaya tersebut membentuk sebuah kesatuan organik yang utuh dan tertutup, sehingga individu tidak dapat meninggalkan budayanya, tapi hanya bisa merealisasikan dirinya di dalam budayanya.

Pandangan kulturalisme yang telah mengakar dan menjangkiti sebagian besar para budayawan, tokoh adat, akademisi, aktivis, para kelas menengah pencinta Bali yang romantik ini terang saja mengabaikan perspektif agensi yang memperhatikan “daya ubah” yang dilakukan oleh orang Bali sendiri dalam kerangka menafsirkan kebudayaannya yang terus berubah.

Agensi melihat bahwa orang Bali adalah subyek yang memiliki kedaulatan untuk mereproduksi pengetahuan dan menafsirkannya, serta melakukan berbagai aksi-aksi secara pribadi dan kolektif untuk mengejawantahkan apa yang menjadi perspektif dan imajinasinya, yang bisa jadi melampaui naungan kebudayaannya.

Jika kita melacak lebih jauh, akar kulturalisme dibentuk oleh rezim pengetahuan kolonial terhadap Bali. Pandangan kulturalisme ini diawali dengan pembentukan wacana dan citra Bali yang harmonis, damai, dan apolitis melalui Baliseering atau Balinisasi (mem-bali-kan Bali). Baliseering dilakukan oleh Belanda di era kolonialisme dengan tujuan menjaga kebudayaan Bali dari pengaruh kebudayaan luar yang dianggap mengancam keotentikan budaya Bali. Proses Balinisasi juga turut berkontribusi terhadap proses depolitisasi dan harmonisasi masyarakat Bali.

Masifnya agenda pariwisata di era Orde Baru kemudian membuat masyarakat Bali secara tidak langsung dipaksa untuk memfokuskan, memperelok, memoles diri demi mendukung ‘wajah’ pariwisata di Bali yang hingga kini menjadi sektor utama (leading sector) bagi perekonomian Bali. Budaya sehari-hari masyarakat Bali dijadikan ‘objek’ yang bisa diperjualbelikan. Budaya dikomodifikasi habis-habisan. Masyarakat pun turut difungsikan sebagai “penjamu turis” belaka (touristification process). 6

Moda ekonomi pariwisata selain menjadikan budaya sebagai ‘objek’ yang diperjualbelikan juga mereproduksi wacana rasisme, selain tentunya ketimpangan sosial ekonomi, dan munculnya para elit Bali yang elitis dan oligarkis. Kita tentu belum lupa papan pengumuman di gang-gang perumahan bertuliskan “Pemulung dilarang Masuk” untuk mengantisipasi para pemulung yang kebanyakan dari para migran yang dianggap sering mencuri. Pasca Bom Bali, kita mungkin masih ingat bagaimana desa adat dengan gencar menggelar sweeping (pemeriksaan) penduduk pendatang. Kita juga melihat bagaimana perlakukan “berbeda” pelayan pariwisata dengan toris (wisatawan asing) dengan wisatawan domestik atau para migran yang bekerja pada sektor informal dan kelas bawah.

Demi kepentingan pariwisata, wacana rasisme bergerak liar menstigma berbagai kalangan yang dianggap merusak citra pariwisata Bali. Tapi pada sisi lain, pariwisata menciptakan kelas menengah dan lapisan para elit lokal yang “menyusu” pada bisnis pariwisata sekaligus akan mati-matian menjaga agar terus berekspansi menghabiskan tanah Bali. Sirkuit kapital ini akan terus berputar.

Refleksi

Rasisme yang mengakar kuat dalam merespon gerakan sosial kritis di Bali hari ini bagi saya terjebak dalam kerangka pandangan eksotis terhadap Bali. Pariwisata menggunakan pandangan esensialis ini untuk mengakumulasi keuntungan. Tapi pandangan dominan tentang Bali yang apolitis tidak (pernah) berubah. Pariwisata mengelabui terjadinya banyak hal, utamanya ketimpangan dan pengarahan homogenisasi moda ekonomi di Bali. Pariwisata (seolah-olah) menjadi satu-satunya pondasi ekonomi tersebut yang sejatinya menyingkirkan moda ekonomi lain.

Rasisme yang mengakar kuat di Bali menjadi pertanda kita diajak berefleksi untuk mempertajam jnana (pengetahuan) dalam melawan rasisme sekaligus mengembangkan pengetahuan alternatif tentang Bali. Bagi saya, analisis kebudayaan Bali perlu dipertajam dan diberi infus perspektif ekonomi politik sekaligus kelas sosial. Pandangan ini sering disingkirkan karena dianggap sebagai “analisis kiri” yang tidak memperhatikan keseimbangan, harmoni, modernitas, dan kemajuan. Atau sering dianggap tidak cocok melihat masyarakat Bali yang harmonis.

Bagi saya, kita telah menyingkirikan analisis ekonomi politik dan kelas sosial, yang hilang pasca pembantaian massal 1965 di Bali dalam mengakumulasi pengetahuan tentang Bali. Implikasinya sangat besar mempengaruhi cara berpikir dan sikap orang Bali saat ini. Pandangan orang Bali yang harmonis, cinta damai, berbudaya adilihung, sekaligus apolitis inilah yang dipompa terus-menerus untuk mempertebal rasisme. Kita kemudian luput melihat gambar besar struktur ekonomi global yang wajahnya kita lihat bernama pariwisata menciptakan ketimpangan ekonomi dan kelas sosial yang sayangnya tidak memandang ras.

1 Lebih lengkap tentang tulisan Toto Raharjo (2025) lihat: https://kenduricinta.com/penguasa-kaget-melihat-api-yang-disulutnya/ (diakses 1 September 2025).

2 Lebih lengkap tentang tuntutan aksi demontraksi Aliansi Bali tidak Diam lihat: https://www.balipost.com/news/2025/08/30/484961/Massa-Aksi-Bali-Tidak-Diam…html dan https://www.detik.com/bali/berita/d-8087628/pendemo-di-mapolda-bali-bawa-33-tuntutan-ini-daftarnya (diakses 1 September 2025).

3 BBC Indonesia membuat kronologis kebijakan serampangan yang mengundang amarah publik. Lihat: https://www.instagram.com/p/DOCsI8eE609/?img_index=1 (diakses 1 September 2025).

4 Lihat: https://www.liputan6.com/regional/read/6146916/gubernur-bali-pasca-demo-ricuh-dari-25-orang-diamankan-hanya-3-yang-ktp-bali-artinya-disusupi?page=2 (diakses 1 September 2025).

5 Lihat postingan Instagram: https://www.instagram.com/reel/DOAtaPWAaYc/ (diakses 1 September 2025).

6 Lihat: https://indoprogress.com/2019/01/bali-estetika-pariwisata-budaya-dan-jejak-kekerasan-yang-disembunyikan/ (diakses 1 September 2025).

kampungbet kampungbet kampungbet sangkarbet
Tags: Aksi di Balikolom matan airasisme
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
I Ngurah Suryawan

I Ngurah Suryawan

Putra Bali yang menjadi dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menyelesaikan Doktor dalam bidang Ilmu-ilmu Humaniora (Antropologi) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Melanjutkan penelitian pascadoktoral dalam bidang ekologi budaya dan transformasi masyarakat Marori dan Kanum di Merauke, Papua (2016 – 2017) dalam program ELDP (Endangered Languages Development Programme) SOAS London bekerja sama dengan ANU (Australian National University). Menekuni studi tentang ekologi budaya, politik identitas, genealogi kekerasan, dan gerakan sosial di tanah Papua. Penulis buku Jiwa yang Patah (2012), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015), Papua Versus Papua: Perpecahan dan Perubahan Budaya (2017).

Related Posts

Aksi di Bali: Para Relawan yang Berkorban dan Politik Identitas

Aksi di Bali: Para Relawan yang Berkorban dan Politik Identitas

30 September 2025
[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan

Tri Hita Bencana

26 September 2025
Kronologi Aksi Bali Tidak Diam

Pejabat Publik Lontarkan Narasi SARA Pasca Aksi Bali Tidak Diam

3 September 2025
AJI dan AMSI Bali Kecam Intimidasi dan Kekerasan Aparat pada Dua Wartawan Peliput Aksi

AJI dan AMSI Bali Kecam Intimidasi dan Kekerasan Aparat pada Dua Wartawan Peliput Aksi

31 August 2025
Kronologi Aksi Bali Tidak Diam

Kronologi Aksi Bali Tidak Diam

31 August 2025
[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan

Perubahan Pecalang yang Tradisionil

6 August 2025
Next Post
Apakah Kotamu Meningkatkan Kualitas Hidup? Berefleksi di Urban Social Forum Bali

Apakah Kotamu Meningkatkan Kualitas Hidup? Berefleksi di Urban Social Forum Bali

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Menjadi Pembully dari Seorang Pelaku Bullying

Menjadi Pembully dari Seorang Pelaku Bullying

24 October 2025
Bali Akan Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Lagi. Mari Berkaca dari Negara Lain Dulu.

Bali Akan Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Lagi. Mari Berkaca dari Negara Lain Dulu.

24 October 2025
Konflik di TWA Gunung Batur

Tiga Petani Menggugat Dirjen KSDAE Kementerian Kehutanan atas Penetapan Pengecualian Wajib AMDAL Proyek Leisure Park

23 October 2025
Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham: Perempuan Antara Karir dan Domestik

Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham: Perempuan Antara Karir dan Domestik

23 October 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia