Oleh Ida Gede Panaraga
1
Kisah singkat ini adalah catatan Alfred Russel Wallace ketika melakukan riset di Lombok. Tentang bagaimana orang Bali berkuasa dan mengelola Kerajaan Lombok. Bagaimana bisa menjadi sangat kaya dan bagaimana pula sebuah pulau Islam dikuasai minoritas Bali.Selama 200 tahun, Kerajaan Lombok dipimpin keturunan Raja Karangasem, Bali.
Alfred Russel Wallace mengisahkan bagaimana Raja Anak Agung punya kiat jitu memberantas korupsi yang dilakukan abdi kerajaan dan para Wedana. Mereka menyelewengkan pajak padi dan pembagian kerajaan saat musim panen tiba.
Seperti kita ketahui bahwa padilah hasil utama yang menghidupi Lombok di zaman itu.
Awalnya, raja muda ini terus saja heran dengan laporan bendaharanya yang menyebutkan jumlah padi yang disetor pada musim panen terus menurun. Padahal kualitas panen setiap tahun terus membaik dan hampir tidak ada gagal panen dikerajaannya.
Setelah tim investigasi rahasia turun maka diketahui, padi-padi tersebut banyak diselewengkan karena birokrasi pengumpulan padi dari para petani penggarap demikian panjang. Para pejabatnya semakin kaya namun jumlah yang disetor ke negara semakin menyusut.
Para kepala kampung yang mengumpulkan padi dari petani sering mengambil sejumlah bagian dari jumlah yang disetorkan. Alasannya para pejabat desa ini harus menunjukkan kewibawaan dengan menunjukkan isi lumbung mereka lebih dari penduduk lainnya.
Demikian halnya saat beras padi tersebut dikirim ke Wedana, jumlahnya semakin menurun karena Wedana juga mengambil jatah. Tak berhenti di sini para pangeran sebagai pengumpul terakhir sebelum diserahkan ke gudang kerajaan juga tak mau ketinggalan untuk korupsi bergilir.
Raja tahu bawahaannya korupsi. Namun ia kesulitan untuk membuktikan lantaran tidak mempunyai data berapa jumlah penduduk secara keseluruhan. Maksudnya, jika raja mengetahui jumlah penduduk maka jumlah padi yang harus disetorkan ke negara akan terlihat jelas dengan cara menghitung kewajiban perpenduduk dikali jumlah penduduk tersebut.
Karena itu raja ingin melaksanakan cacah jiwa (sensus penduduk). Namun, pertanyaannya bagaimana agar para aparat pemerintahan yang ditugaskan untuk menghitung tidak tahu bahwa tujuan sensus ini untuk menghitung jumlah yang mereka korupsi setiap musim padi.
Hampir sepekan raja berpikir keras mengenai strategi sensus ini agar bisa berjalan secara rahasia. Raja terlihat murung dan hanya mengurung diri dalam istana. Raja yang murung dan lesu membuat seisi istana gundah, hingga tersiar kabar bahwa raja terkena guna-guna.
Semua orang saling curiga. Pendeta dan para orang pintar juga ikut mencari siapa gerangan yang berani meneluh sang raja.
Saking tingginya kecurigaan, seorang nakhoda kapal asal Irlandia yang kebetulan memiliki tampang sangar hampir menjadi korban. Karena tampilannya yang menyeramkan itu ia ditangkap karena dikira tukang sihir. Ia, nyaris ditusuk dengan keris.
Beruntung setelah menjelaskan kepada raja bahwa ia, hanya seorang nakHoda kapal yang hendak mengangkut beras dari pelabuhan nyawanya selamat. Ia, diperkenankan kembali ke Ampenan, namun kapalnya belum diizinkan berlayar.
Dalam kebingungannya, ahirnya ide cemerlang muncul: Raja mengumpulkan semua pejabat, pendeta dan pangeran di Mataram.
“Selama beberapa hari hatiku sangat sakit, tetapi aku tidak tahu sebabnya. Akan tetapi sekarang kesusuahan itu hilang karena aku telah bermimpi. Semalam Roh Gunung Agung muncul dihadapanku dan berkata agar aku pergi ke puncak gunung (Gunung Rinjani),” kata Raja.
“Kalian semua boleh menyertaiku hingga mendekati puncak. Tapi kemudian aku harus mendaki sendiri dan Roh Agung akan muncul di hadapanku. Ia akan mengatakan sesuatu yang penting bagiku, bagi kalian penduduk pulau ini. Sekarang pergilah ke seluruh pulau. Selain itu tiap kampung harus menyediakan tenaga untuk merambah (membuat) jalan agar kita dapat melewati hutan dan naik ke puncak gunung,” Raja melanjutkan.
Tersebarlah kabar bahwa raja akan mendaki gunung. Seluruh desa yang akan dilalui bergotong royong menyiapkan jalan yang akan dilalui iring-iringan sang raja. Bukit diratakan, jurang dibuatkan jembatan dan semua penduduk melibatkan diri dalam misi besar ini.
Sementara itu para pejabat mempersiapkan membagi rute menjadi beberapa etape. Dalam setiap ahir etape sebuah lokasi peristirahatan untuk raja dibangun berserta perlengkapan lainnya. Setelah persiapan dirasa cukup para pangeran, pendeta dan pejabat menghadap raja untuk mengabarkan persiapan.
“Sapi-sapi terbaik dipotong. Dagingnya kemudian diasinkan dan dijemur. Cabai dan ubi jalar dikumpulkan, buah pohon pinang diambil dan daun sirih diikat dalam berkas. Tiap-tiap orang mengisi kantung tembakau dan kotak sirihnya sampai penuh sehingga tak kekurangan bahan menyirih selama perjalanan. Bahan-bahan makanan dikirim sehari sebelum perjalanan,” ujar Wallace menggambarkan sibuknya rakyat mempersiapkan perjalanan sang raja.
Hari yang ditentukan tiba. Masyarakat yang ingin ikut telah datang di sekitar istana sejak semalam. Raja berangkat dengan sebuah kuda besar yang tinggi. Tanpa sanggurdi dan pelana, raja tetap berwibawa di atas kain cerah yang melapisi punggung kuda. Sementara para pejabat lebih rendah dan masyarakat lainnya harus menesuaikan mengendarai kuda lebih pendek. Sementara pengiring memanjang di belakang berjalan kaki sambil memikul perlengkapan.
Di setiap kampung yang dilalui, masyarakat menunduk memberi hormat pada iring-iringan ini. Di semua tempat yang akan menjadi penginapan raja, warga telah membangun sebuah balai-balai dari bambu sebagai tempat peristirahatan lengkap dengan dapur umum sarana lainnya.
Hari kedua, rombongan ini telah sampai di perkampungan terakhir yang berbatasan dengan hutan. Pada hari keempat raja telah berada di pelawangan. Ia, kemudian mendaki puncak diiringi para pendeta dan pangeran yang terlihat letih. Terkadang mereka harus ditandu para pengiring untuk melanjutkan perjalanan.
Dalam belaian angin pagi Raja dan sejumlah kecil pengiring hampir tiba di puncak. Ia, meminta para pejabat yang menyertai menunggu di tempat. Raja naik ke puncak yang hanya berjarak beberapa puluh meter ditemani ajudan dalam jarak beberapa meter saja.
Lama raja menyendiri di puncak gunung hingga bocah pengiringnya tertidur. Cukup lama sang raja berada di sana. Sementara para pendeta dan punggawa lain yang menunggu di kejauhan, bertanya-tanya apa gerangan yang disampaikan Roh Agung kepada raja.
Beberapa saat kemudian raja turun dari puncak bukit dengan air muka serius, selayaknya orang yang baru menerima kabar yang maha penting. Dia tak berkata apapun, dan meminta semua pengiring untuk menemaninya pulang.
Hari-hari itu tak ada yang paling ditunggu selain apa gerangan titah sang roh agung kepada raja. Ini menjadi perbincangan hangat, di pasar, langgar, pura hingga alun-alun kota dan persawahan. Semua menunggu pengumuman dari raja.
Tiga hari kemudian, Raja mengumpulkan para pendeta, pejabat dan pangeran. Inilah saatnya perintah dari Roh Agung itu di sebarkan. Di hadapan mereka yang telah hadir, Raja mengatakan:
“O Raja! Banyak wabah penyakit dan bencana akan melanda bumi, melanda manusia, melanda kuda dan melanda ternak. Akan tetapi karena aku tahu kau dan rakyatmu mematuhiku serta telah datang mendaki gunungku yang agung aku akan memberitahu cara menghindar dari malapetaka itu,” kata raja.
Semua yang hadir masih berdebar-debar apa gerangan cara untuk menghindar dari malapetaka ini.
Setelah diam sejenak, raja kemudian memberitahukan bahwa Roh Agung meminta untuk dibuatkan 12 bilah keris. Bahan keris itu terbuat dari jarum sesuai dengan jumlah penduduk disetiap desa.
Maka setiap kepala desa harus mengumpulkan jarum sesuai dengan jumlah yang dipimpinnya. Kelak jika ada desa yang terkena wabah penyakit, sebuah keris itu akan dikirim ke desa tersebut sebagai penangkal. Namun, kata raja menegaskan, jika jumlah jarum yang dikumpulkan untuk membuat keris itu sesuai dengan jumlah penduduk kris ini akan menolak bala. Dan sebaliknya jika jumlah jarum tersebut kurang wabah akan semakin menggila.
Semua pangeran dan kepala desa segera menyebar mengabarkan berita luar biasa ini. Dengan cepat para kepala desa mengumpulkan jarum dalam ikatan sesuai dengan jumlah penduduk. Melihat kesigapan ini raja tersenyum simpul melihat misinya berjalan lancar.
Lalu pada satu hari yang ditentukan, jarum-jarum yang diminta telah terkumpul. Raja menerimanya sendiri kemudian mencatat jumlah jarum dari setiap sesuai dengan penduduknya. Data penduduk masing-masing akhirnya terkumpul. Jarum-jarum itu kemudian diserahkan ke empu pembuat keris untuk dilebur dan ditempa.
Tak lama setelah keris selesai musim panen tiba. Para kepala daerah dan kepala desa mengantar upeti masing-masing ke istana. Bila jumlah upeti ini hanya berkurang sedikit dari sewajarnya raja tak mengatakan apapun. Akan tetapi kalau upeti itu berkurang hingga setengah atau seperempat, maka kini raja tahu apa yang harus dikatakan pada para kepala desa yang korup itu.
“Jarum yang kamu kirim dari desamu jauh lebih banyak dari desa lain, tapi upetimu lebih sedikit dari upetinya. Kembalilah dan periksa siapa yang tidak membayar pajak,” kata raja.
Dengan strategi ini tahun-tahun berikutnya setoran upeti hasil bumi terus meninggi karena raja tau siapa yang korupsi. Dan bagi para koruptor yang tetap nekat raja memberlakukan hukuman mati.
“Raja Lombok (Anak Agung) pun menjadi kaya raya, ia menambah jumlah prajurit. Membeli perhiasan emas untuk para isterinya. Membeli kuda hitam dari orang Belanda dan mengadakan pesta-pesta besar bila anaknya lahir atau menikah. Tidak ada raja atau sultan di kalangan orang Melayu yang dapat menandingi kebesaran Raja Lombok,” kata Wallace.
Sementara untuk Keris, masyarakat tetap percaya akan tuahnya. Setiap ada bencana benda keramat ini dikeluarkan. Ia akan dikembalikan ke istana ketika wabah selesai yang diiringi dengan upacara penyelamatan. Dan jika keris tidak dapat menolak bala, mereka percaya bahwa ada kejanggalan dalam pengiriman jarum waktu proses membuat keris itu.
2
Kisah Alfred Russel Wallace di atas memberi gambaran bagaimana orang Bali berkuasa karena mitos, membangun kuasa dari raung imajinasi. Sebaliknya banyak kebangsawanan dan kebrahmanaan yang dibangun dengan mitos untuk penguatan kekuasaan di masa lalu itu sudah tidak memiliki kekuasaan lagi karena kehilangan konteksnya.
12 Keris itu bukan peninggalan kesaktian magis, tapi kesaktian pikir dan imajinasi yang mampu menggabungkan bagaimana memanfaatkan ketakutan warga pada kutukan dan sebuah sensus kependudukan dan pajak. Hari ini 12 keris dan mitos yang dibuat itu tidak lagi bisa bekerja sebagai penolak bala atau sebagai kekuatan sensus yang mengikat pajak. Semua fondasi realitas mitos dan kekuasaan yang melekat di zamannya telah berlalu dan rontok.
Begitulah, kemunduran orang Bali secara umum seiring dengan hilangnya pijakan mitos dan kecerdasaan masa silam itu, tapi pewarisnya, para bangsawan dan brahmana, masih mempercayai mitos leluhurnya itu sebagai sebuah “kebenaran historis” tidak dilihat sebagai sebuah mitos kuasa dan membangun kekuasaan di zamannya, sehingga pewarisnya hanya berbangga dengan pepesan kosong yang isinya telah membeku dalam putaran waktu.
Orang Bali banyak dan bahkan ribuan punya mitos yang tumbuh dalam sejarah Bali. Mitos itu melekat dengan orang Bali. Ia bisa kita temui dalam berbagai babad dan silsilah keluarga, ada diberbagai desa, dikisahkan ulang dalam berbagai kesempatan baik sebagai kisah pelepas lelah dan pengisi waktu ataupun dalam mimbar-mimbar pertemuan soroh (klan keluarga) dstnya.
Dulu mitos bekerja membuat orang Bali berkuasa dan berwibawa, hari ini sebaliknya, dilemahkan oleh mitos.
Di sinilah menjadi benar adanya, karma sebuah mitos, ia akan memukul balik. Jika dulu mitos para raja dan brahamana itu bisa mengetarkan dan membuat abdi dan rakyat jelata tunduk dan tertipu, hari ini mitos-mitos yang masih diingat dan diturunkan dari generasi ke generasi dalam keluarga pembuat mitos itu memakan anak-cucunya sendiri.
Anak-cucuknya dan pewarisnya sendiri yang termakan; Lupa kalau itu sebuah mitos kuasa; Pewarisnya menerima sebagai sindrom kekuasaan, yang seakan melekat dalam darah. Tanpa kecerdasan yang cukup, anak-cucu pembuat mitos itu akan menjadi makanan mitos yang dituliskan oleh leluhur mereka sendiri. Bangga dengan mengaku keturunan dari tokoh utama, tapi kenyataannya bahwa mereka tidak punya pencapaian personal yang bisa dibanggakan.
Mereka masuk dunia masa silam, hidup di awang-awang di dunia mitos dan tidak mampu melihat realitas hari ini, melabeli kehidupan pribadinya hari ini dengan mitos usang yang tidak lagi relevan yang sudah terlalu menggelikan untuk diamini.
Manusia Bali yang melabeli dirinya dengan berbagai mitos usang dalam percakapan harian dan kehidupan sosialnya, dia sedang berusaha menyihir orang lain. Tapi pertama-tama yang ditipunya adalah dirinya sendiri, merasa berhak mendapat “privilege” serta penghormatan hanya dengan bekal masa lalu leluhurnya. Seakan penghormatan itu melekat dari lahir tanpa perlu ada pencapaian kekinian yang bisa dibanggakan sebagai manusia hari ini.
Kasus kemunduran Bali bisa kita lihat hari ini: Masih banyak seseorang bukan siapa-siapa jika dilihat personalitas dan pencapaiannya, tapi mendapat penghormatan bahasa, sosial serta keagamaan yang secara logika tidak pada tempatnya karena dikait-kaitkan dengan leluhurnya. Jika masyarakat Bali masih berprilaku berlebihan seperti ini maka sosok manusia yang hanya merasa sudah “jadi orang dengan label mitos leluhur” dan tiada pencapaian hari ini akan menjadi sosok yang merongrong keutuhan kehidupan sosial Bali sekarang. Melemahkan institusi sosial kemasyarakat Bali. Sosok-sosok semacam ini semakin banyak bergentayangan. Manusia Bali umumnya juga kepincut.
Celakanya, masih banyak rakyat jelata Bali yang kesemsem dan tertipu oleh mitos kebangsawanan dan kebrahmanaan. Mitos-mitos lapuk itu memukau dan menjerat jelata sehingga kian kehilangan percaya diri dan tertekan. Mitos-mitos itu memakan keturunan para pembuat mitos dan warganya sampai sekarang.
Mitos-mitos itu tetap saja sampai sekarang menjadi kubangan yang membuat penipu (pemakainya) dan yang tertipu terjebak dalam kubangan dalam mitos tanpa diimbangi upaya keluar untuk loncat memasuki dunia logos yang mencerahkan dan membebaskan.
Mitos-mitos itu bergentayangan dalam kehidupan orang Bali, melenakan dan membuat orang Bali lupa diri dan lupa kehidupannya hari ini, sibuk dengan mitos dan soroh serta silsilah; dalam pada itu manusia Bali kehilangan jati diri, dan terpenting Tanah Bali yang dulu dikuasai oleh orang Bali di masa lalu, hari ini terus dijarah oleh para penumpang gelap.
Orang Bali kena karma? Tidak. Hanya terlalu lama tersihir mitos-mitos usang dan kini bersambung terbujuk rayuan berhala baru.
Orang Bali perlu bangun dan cuci muka dan melihat realitas hari ini: Mitos masa silam itu kini mendapat kawan baru bernama mitos kemajuan dan berhala pertumbuhan ekonomi. Rayuan maut para investor dan maklar memakan para priyayi dan jelata. Bali kehilangan pijakan dijarah dari pesisir, pantai, teluk, dijarah sepanjang tepian sungai dan sumber-sumber airnya, persawah dikonversi menjadi perumahan, hotel dan restoran serta gunung dan tanah-tanah di desa di Bali sekarang dimiliki oleh pemiliknya baru dari antah berantah.
Apalah artinya Agama Tirtha jika telah kehilangan tanah, sumber air, sungai, pesisir dan teluk, serta berbagai kawasan yang disucikan? Orang Bali perlu bangun dan cuci muka untuk melihat kenyataan hari ini bahwa telah terjadi konversi dari cara pikir Daiwa Sampat (sifat kedewataan) ke Asuri Sampat (sifat keraksasaan) yang mencaplok Pulau Bali. [b]