
Gubernur Bali, Wayan Koster, mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah pada Rabu, 2 April 2025. Dalam SE tersebut diberlakukan pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai pada berbagai lingkup, mulai dari kantor pemerintah, kantor swasta, desa, pelaku usaha, lembaga pendidikan, pasar, hingga tempat ibadah.
Regulasi ini tidak sepenuhnya baru karena pada tahun sebelumnya juga terdapat berbagai regulasi serupa, seperti Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018, Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019, Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020, dan aturan turunan lainnya. Hal baru adalah “Setiap lembaga usaha dilarang memproduksi, distribusi, dan memasok air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari satu liter di Bali.” Namun, apakah ini akan berjalan?
Sejak tahun 2019, Pemerintah Provinsi Bali dengan gencar melarang penggunaan plastik sekali pakai melalui Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP). Hasilnya, minimarket dan supermarket tidak lagi menyediakan kantong belanja berupa plastik kepada pembeli. Hingga saat ini pun kantong belanja tergantikan dengan tas kain yang dapat digunakan berulang-ulang. Namun, hanya sampai di situ. Pelaksananya hanya minimarket dan supermarket, sedangkan beberapa pelaku usaha kecil masih menyediakan plastik sekali pakai.
Selain pembatasan PSP, Surat Edaran terbaru juga mengatur tentang pengelolaan sampah berbasis sumber. Sebelumnya, regulasi mengenai hal ini tercantum pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Secara garis besar Pergub tersebut mengatur mengenai pemilahan sampah, pemanfaatan sampah, pengangkutan sampah, dan pengelolaan sampah.
Pelaksanaan pengelolaan sampah berbeda-beda di setiap daerah. Misalnya, Pemerintah Kota Denpasar baru menegaskan pemilahan sampah sejak 1 Oktober 2024. Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Badung, pengelompokkan sampah untuk diangkut ke TPA baru dilaksanakan akhir tahun 2024. Padahal, dalam Pergub Bali sebelumnya ditetapkan bahwa sampah yang diangkut hanya sampah residu.
Berikut perbandingan Surat Edaran Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah dengan peraturan sebelumnya (Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2019):
- Membentuk unit pengelola sampah berbasis sumber (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Tidak menggunakan plastik sekali pakai di sekolah, instansi pemerintah, lembaga swasta, desa, dll (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Pengangkutan sampah ke TPA hanya mengangkut sampah residu (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Tiap desa membuat awig-awig atau perarem (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Menerapkan sistem reuse dan refill (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Melakukan pemilahan sampah (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Pengolahan sampah organik berbasis sumber (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Setiap orang dilarang membuang sampah sisa upakara ke media lingkungan (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Setiap lembaga usaha dilarang memproduksi air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 (satu) liter di wilayah Provinsi Bali (regulasi baru)
- Setiap distributor/pemasok dilarang mendistribusikan produk/minuman kemasan plastik sekali pakai di wilayah Provinsi Bali (regulasi baru)
- Setiap pelaku usaha/kegiatan di wilayah Provinsi Bali dilarang menyediakan plastik sekali pakai (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
- Memberikan penghargaan (sudah ada pada peraturan sebelumnya)
Hal yang baru dalam Gerakan Bali Bersih Sampah hanya larangan produksi dan distribusi air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari satu liter di wilayah Provinsi Bali. Dalam wawancaranya dengan Tirto.id, Koster menyebutkan bahwa produk minuman dengan volume satu liter ke bawah hanya diperbolehkan menggunakan botol kaca atau kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Rachmat Hidayat menyebutkan bahwa dirinya masih mempelajari lebih dalam terkait larangan tersebut. Secara garis besar, Rachmat menyebutkan bahwa Aspadin mendukung semangat Pemprov Bali dalam mewujudkan Bali bersih.
“Nah, cuma terkait SE ini memang akan berdampak sangat luas di dalam industri, baik itu industri AMDK-nya sendiri, baik itu industri perdagangannya atau industri yang lain. Mau itu restoran, mau itu warung, semua pasti akan terdampak. Jadi secara ekonomi tentu pasti akan terdampak,” ungkap Rachmat.
Rachmat menyebutkan bahwa pelarangan produksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter ini perlu didiskusikan lebih lanjut karena akan berdampak secara luas. Pihak DPD Aspadin Bali – Nusa Tenggara tengah mengajukan permohonan audiensi kepada Pemprov Bali terkait SE tersebut.
Meski mendukung semangat Pemprov Bali, Rachmat pesimis dengan aturan ini. “Kalau tidak ada produksi di bawah satu liter itu, apakah nanti permasalahan sampah akan bisa diatasi?” ujar Rachmat.
Rachmat mengambil contoh Jepang yang disebut-sebut sebagai salah satu negara terbersih di dunia. Pelaku usaha di Jepang membuat segala macam bentuk minuman kemasan plastik berbagai bentuk. “Orang Jepang termasuk konsumen yang tinggi ya untuk minuman kemasan. Apakah di Jepang melarang produksi? Tidak. Apakah melarang penjualan itu? Tidak. Berarti problem-nya kan bukan diproduksi dan dikonsumsi, tapi problem-nya di pengelolaan,” ungkap Rachmat.
Larangan produksi dan distribusi AMDK di bawah satu liter menjadi hal baru di Indonesia. Pasalnya, Pemprov Bali merupakan satu-satunya yang mengeluarkan larangan terkait hal ini. Larangan tersebut jika dilaksankan tanpa pengelolaan sampah yang benar pun akan sia-sia. Berkaca dari aturan-aturan sebelumnya yang sekadar hitam di atas putih tanpa adanya keberlanjutan.
Pelaksanaan SE tersebut paling lambat dilakukan 1 Januari 2026. Kabarnya, Pemprov Bali akan melakukan pertemuan dan audiensi dengan pelaku usaha AMDK di Bali untuk pelaksanaan Gerakan Bali Bersih Sampah.
Terkait pengelolaan sampah botol atau kemasan, menurut Cayur Yudha Hariani dari PPLH Bali, paling penting memastikan produsen menarik kemasannya sebagai tanggung jawab perusahaan. Jadi, setiap produsen produk sekali ulang harus memastikan mengelola sampahnya. Menurutnya hal penting saat ini adalah menegakkan regulasi-regulasi sebelumnya yang sudah banyak di Bali namun belum diimplementasikan.
kampungbet