Saya salut pada wanita Bali, dan wanita lainnya di muka bumi. Tanpa maksud diskriminasi gender dengan pria. Namun di banyak sistem patriarki, terkadang membuat sosok perempuan adalah si lemah yang tak punya pilihan. Kenapa demikian? sebab perempuan tidak punya hak yang sama dengan laki-laki dalam beberapa hal. Semisal hak waris.
Lalu kenapa Bali? ada banyak alasannya. Era emansipasi wanita, membuat wanita lebih berani melangkah. Ketimbang di saat era feodal, di mana wanita hanya di dapur dan di ranjang mengurusi rumah tangga. Emansipasi memberikan kesempatan pada perempuan untuk sekolah lebih tinggi, bekerja, dan banyak kesetaraan gender lainnya yang selama ini dimonopoli pria. Hal ini berdampak negatif dan positif. Negatif karena banyak wanita yang enggan berhubungan dengan pria karena merasa mandiri, lebih egois, lupa kodrat dan sebagainya. Positif, karena wanita lebih punya nilai dan harga diri yang sama dengan pria. Termasuk dalam memegang jabatan di pekerjaan, dunia politik, dan sebagainya.
Tapi di adat, emansipasi rasanya masih belum bisa diterapkan dengan pasti. Banyak adat budaya patriarki di Indonesia, yg mengekang hak wanita menjadi pemimpin dan memimpin. Di negara maju, hal itu sudah lumbrah, apalagi di tempat yg tidak dibatasi sekat konvensi adat istiadat. Emansipasi ini sejatinya membuat wanita bekerja ekstra lebih keras. Sebab saat ini, selain mengurusi rumah tangga, melahirkan anak, wanita juga kerap membantu memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Maka banyak wanita yang menjadi ibu sekaligus wanita karir. Salahkah? tentu tidak, itu pilihan dan privasi masing-masing orang.
Lalu apa hubungannya dengan wanita Bali? Ya… Saya pribadi, khusus memang angkat topi buat wanita Bali. Kenapa? Sebab selain poin di atas, wanita Bali mengemban tugas satu lagi yang tak kalah berat yaitu ikut dalam tugas adat istiadat dan budaya. Wanita Bali yang sudah menikah, otomatis menjadi krama banjar istri yang juga turun ngayah (gotong royong) jika ada kegiatan keagamaan atau adat di banjarnya. Itu wajib hukumnya. Sebab adat istiadat Bali memang demikian, dan telah berlaku turun-temurun. Bayangkan berapa banyak wanita Bali, di era modern ini yang mengemban tugas sebanyak itu.
Tentu harus diapresiasi, sebab mereka tak hanya bertaruh nyawa saat melahirkan. Tetapi kerap menjadi tulang punggung keluarga. Yang notabene seharusnya dipegang pria. Makanya saya emosi liat pria yang masih selingkuh, atau memperlakukan wanita demikian dengan tidak pantas. Pria menikahi wanita saat matang, sudah jadi. Syukur-syukur sudah berpenghasilan dan sukses. Orang tuanya melahirkan si wanita, membesarkan sampai si anak tumbuh jadi gadis cantik. Jadi jagalah istrimu dengan baik dan benar.
Kemudian di Bali, wanita yang telah menikah akan mepamit ke keluarga lajangnya (bajang). Bahkan di merajan (pura keluarga) atau leluhurnya si wanita juga pamit, untuk mengabdi di rumah si pria. Suami yang dinikahinya dan diajak menghabiskan masa tua. Di rumah bajang si wanita tidak punya hak lagi. Dan memang jarang wanita di Bali mendapatkan hak waris. Mungkin ada, itu keputusan orang tua dan keluarganya yang mungkin memang mapan dan mengerti. Beberapa bahkan tak mau menyekolahkan anaknya, karena akan diambil orang lain. Miris. Lalu di rumah si suami, tentu wanita ini tidak 100 persen punya hak. Kadang saat bertemu ipar atau keluarga yang gak well educated, jadinya di rumah kayak perang dunia terus wkwkwk.
Masalahnya jika bercerai, wanita ini tidak punya tempat yang jelas dan pasti untuk kelak menaruh Puspanya saat meninggal nanti setelah ngaben dan ngasti. Sebab tak punya merajan, atau rong telu untuk meletakkan Puspa tersebut. Kecuali keluarga bajangnya mau kembali menerimanya dengan rangkaian upacara. Dan itu tentu tidak bisa diterima semua orang. Sehingga terkadang, wanita Bali yang telah menikah dan tidak bahagia lebih memilih diam dan menerima siksaan demi tempat yang jelas saat ia meninggal kemudian.
Di sini saya salut dan angkat topi buat wanita Bali. Banyak yang fighting dan menjadi pejuang. Orang bertanya padanya, kapan sukses? kapan menikah? kapan punya anak? kapan anaknya punya adik? kapan ada anak laki-laki? dan kapan lainnya. Tanpa berpikir bagaimana psikis si wanita tersebut. Masa bodoh dengan hatinya, yang penting ke-kepo-an orang itu terpuaskan. Tak kalah mengerikan itu dilakukan sesama wanita, dan dijadikannya bahan gosip ke kuping sana, mulut sini. Semangat Wanita Bali. Kalian hebat!